Penentu Karier Pesepakbola

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Penentu Karier Pesepakbola

Menjadi pesepakbola merupakan cita-cita banyak orang. Ketenaran dan kekayaan pada umumnya menjadi tujuan akhir para pemilik mimpi sebagai pesepakbola. Tak ada hal yang lebih menyenangkan selain melakukan pekerjaan yang kita cintai dan dibayar dengan harga tinggi, salah satunya sepakbola.

Banyak para pemain yang memang mencintai olahraga ini hingga menjadikannya sarana untuk mengangkat derajat hidup.

Gaji besar dan ketenaran yang ditawarkan mungkin berbanding lurus dengan resiko yang harus dijalani oleh siapapun yang bermimpi ingin menjadi pemain sepakbola sukses.

VIDEO: Bedah keuangan pemain sepakbola bareng Jouska ID



Bahkan resiko ini sudah dirasakan sejak pertama kali para pemain menjatuhkan pilihan hidup sebagai pesepakbola, yaitu hilangnya masa muda. Bayangkan jika mereka memulai menekuni sepakbola dari usia 10 tahun, artinya ada 2/3 dari hidupnya mengabdi bagi sepakbola.

Hal tersebut merupakan awal dan salah satu dari sekian resiko yang harus dijalani sebagai pesepakbola, karena setelah itu, mereka akan dihadapkan berbagai resiko yang kapanpun dapat merenggut karir sepakbolanya.

Cedera Sumber Malapetaka

Sepakbola merupakan olahraga fisik, sehingga benturan tak dapat dihindari, bahkan dengan resiko cedera parah sekalipun. Cedera adalah momok yang menakutkan bagi pesepakbola, mulai dari lecet ringan, hingga patah tulang.

Tak jarang pula banyak pesepakbola yang mengakhiri karier sepakbolanya atas alasan cedera, bahkan banyak pesepakbola yang harus mengubur impian menjadi pemain top karena cedera.

Nama-nama seperti Alexandre Pato dan Michael Owen merupakan talenta luar biasa, sayang, cedera panjang dan kambuhan membuat mereka gagal mencapai performa terbaiknya. Alexandre Pato dan Owen merupakan contoh bagaimana klub tidak diharapkan untuk memforsir pemain mudanya. Pato dan Owen sama-sama memulai karier profesionalnya di usia 17 tahun dan mereka langsung melakukan pertandingan reguler secara penuh.

Setelah memukau AC Milan lewat penampilan apik bersama Internacional, Pato bergabung ke San Siro. Pato langsung mengukir sukses di 4 musim awalnya bersama AC Milan. Dari musim 2007/2008 hingga 2010/2011, ia menjadi andalan Rossoneri dengan mencetak tidak kurang dari 50 gol dalam 102 penampilan. Artinya ia memainkan rata-rata 25-30 pertandingan semusim

Michael Owen lebih parah lagi, setelah memperkenalkan bakatnya kepada dunia lewat gol solo run ke gawang Argentina di Piala Dunia 1998, Owen menjalani setidaknya 40 pertandingan dalam semusim. Pada usia emasnya, mereka justru lebih akrab dengan meja operasi dibanding mengangkat trofi.

Bagi pemain remaja yang fisiknya sedang tumbuh dan belum optimal, ini memiliki resiko cedera yang besar. Tak heran jika kedua pemain ini meredup bahkan di usia emasnya.

Selain Pato dan Owen, ada nama-nama pemain yang harus gantung sepatu di usia emas akibat cedera yang berkepanjangan. Yang paling diingat adalah Marco van Basten, Sebastian Deisler dan Owen Hargreaves. Nama pertama adalah penyerang yang bisa saja menjadi yang terbaik di masanya. Tiga Ballon d`Or, satu gelar pemain terbaik FIFA dan 277 gol dari 373 kali berlaga menggambarkan betapa ganasnya van Basten. Sayang, cedera ankle yang ia alami di musim terakhir bersama Ajax sebelum bergabung dengan AC Milan tak kunjung hilang. Hingga akhirnya Marco van Basten mengakhiri perjalanan sebagai pemain sepakbola di usia 30 tahun.

Sebastian Deisler lebih muda lagi dalam mengakhiri karier sepakbolanya. Ia digadang-gadang akan menjadi sosok sentral di lini tengah timnas Jerman. Namun, ia harus mengakhiri karier sepakbolanya di usia 27 tahun. Keputusan yang sangat disayangkan itu diambilnya akibat cedera ligamen lutut berkepanjangan serta beberapa cedera lainnya. Selain faktor tersebut, ia juga terjerat depresi akibat kejadian yang menimpanya tersebut.

Nama terakhir adalah nama yang tak bisa dipisahkan dari kata cedera, yaitu Owen Hargreaves. Hargreaves mempesona saat kemunculannya di laga besar Semifinal Liga Champions 2001, kala berseragam Bayern Munich. Menggantikan peran sang Kapten, Stefan Effenberg, saat menghadapi Real Madrid, Hargreaves menunjukan performa yang luar biasa. Atas penampilan apiknya di laga semifinal, ia kembali bermain pada laga puncak menghadapi Valencia, laga yang berakhir manis dengan Bayern keluar sebagai juara.

Sayangnya, saat menginjak usia emas, Hargreaves yang pindah ke MU, mulai akrab dengan meja operasi. Ia menghabiskan 3 musim di MU hanya untuk memulihkan kondisi fisiknya.

Selama berseragam Man United, Hargreaves mengalami robek otot paha, robek otot betis, bermasalah pada otot aduktor (otot yang berpangkal di tulang panggul dan menempel di tulang paha), dan bermasalah dengan lututnya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk gantung sepatu saat usia 31 tahun.

Cedera dan sepakbola mungkin ditakdirkan sepaket, sehingga para pemain harus hati-hati jika karier sepakbolanya dihancurkan oleh cedera.

Perangai Buruk Buat Terpuruk

Sepakbola tak melulu soal bakat dan talenta, butuh kerja keras dan disiplin tinggi. Cristiano Ronaldo mungkin merupakan contoh sempurna bagaimana talenta jika dilakukan dengan disiplin tinggi hasilnya akan luar biasa. Banyak pemain bertalenta, namun memiliki tindakan indisipliner maupun tingkah “badung” sehingga potensinya tak keluar secara optimal, bahkan membuat kariernya hancur.

Salah satu nama yang tak dapat dikesampingkan untuk menjelaskan bagaimana disiplin menentukan kesuksesan adalah Ravel Morrison. Pria lulusan akademi Manchester ini disebut Wayne Rooney sebagai pemain terbaik di angkatannya, bahkan melebihi Paul Pogba dan Jesse Lingard yang memang teman seangkatannya.

Alih-alih fokus pada pengembangan karir sepakbolanya, ia Ravel Morrison justru lebih sering bertindak kriminal. Bak preman, Ravel pernah mengintimidasi seorang anak di jalanan, ia juga pernah ketahuan mencuri peralatan di ruang ganti termasuk sepatu rekan-rekannya. Ravel juga sempat menjadi tertuduh atas hilangnya jam tangan Rio Ferdinand. Bukannya berubah, saat membela QPR, ia kepergok sedang merokok dan mabuk-mabukan.

Mungkin Ravel Morrison masih punya kesempatan untuk memperbaiki kariernya, namun tidak bagi pemain-pemain yang kariernya hancur akibat alkohol. Sebut saja George Best, Paul Gascoigne dan Adriano. Mereka adalah pemain top pada masanya, namun harus mengakhiri karier sepakbola karena kecanduan alkohol yang berimbas pada sifat tempramen. Adapula Diego Maradona dan Adrian Mutu yang harus rela mengakhiri karier sepakbola karena kasus dopping.

Tindakan indisipliner lain yang dapat mempengaruhi karier pesepakbola ialah kecanduan berjudi. Phil Bardsley contohnya, ia pernah dipecat dari Sunderland karena kasus judi. Paolo Di Canio yang saat itu menukangi The Black Cats mengetahuinya dan langsung memecat Bardsley.

Faktor Lain Membunuh Karier Pemain

Masih banyak lagi faktor-faktor yang mempengaruhi perjalanan karier seorang pesepakbola. Selain faktor cedera dan disiplin, adapula faktor ekspektasi media yang memberikan tekanan pada pesepakbola.

Dalam artikel Pandit “Pemain Muda dan Ekspektasi Media” menyebutkan, pemain sepakbola adalah salah satu profesi yang mendapatkan tekanan dari massa yang sangat besar. Ditambah saat ini sorotan berbagai media membuat tekanan yang mereka alami semakin besar. Hal ini membuat pemain sepakbola sangat rentan mengalami kecemasan-kecemasan. Berlaku pula bagi para pemain muda yang sering diberikan label “The Next…” membuat dirinya tertekan dan tidak sedikit pemain muda berbakat yang harus gagal dalam kariernya akibat tidak bisa menghadapi tekanan media.

Lebih parahnya lagi, tekanan ini membuat beberapa pemain sepakbola mencoba bukan hanya mengakhiri kariernya namun juga mengakhiri hidupnya. Seperti yang dilakukan Robert Enke, Andreas Biermann, hingga Garry Speed.

Adapula sanksi-sanksi yang berpotensi diberikan kepada para pemain yang dapat mempengaruhi karier sepakbolanya. Seperti saat Joey Barton yang dihukum larangan bermain 18 bulan karena tersandung kasus judi, dan Diego Maradona yang dihukum 15 bulan larangan bermain karena kasus dopping. Bahkan hukuman terakhir yang diterima Maradona berperan mengakhiri karier sepakbolanya

Karier sepakbola memang tak hanya ditentukan di tiap 2x45 menit yang mereka jalani. Lebih jauh dari itu, banyak faktor yang mempengaruhi keberlangsungan karier seorang pesepakbola. Menurut thepfa.com, karier ideal pesepakbola itu pada umumnya dalam rentang 17-35 tahun, artinya ada durasi 18 tahun masa bakti sebagai pesepakbola. Namun bisa saja faktor-faktor yang disebutkan di atas dapat merusak kondisi ideal tersebut yang memaksa pesepakbola mencari alternatif untuk bertahan hidup.

Sudah saatnya kini para pesepakbola mula memikirkan kehidupannya dalam jangka yang lebih panjang. Kontrak besar serta bonus yang diraih saat ini tidak menjamin kesejahteraan mereka hingga masa tua. Pemain sepakbola harus mulai sadar untuk melakukan perencanaan finansial sehingga bisa mengatur keuangannya secara lebih bijak.

Pandit Football akan meluncurkan program baru bernama Pandit Talk. Program yang dapat disaksikan di kanal youtube Pandit Football ini akan membahas perencanaan finansial pemain sepakbola untuk kesejahteraan masa depan para pemain sepakbola. Diskusi ini akan mengundang financial advisor dari Jouska Indonesia yang akan membedah kondisi keuangan pemain sepakbola agar bisa mencapai kesejahteraan jangka panjang.

Komentar