Atalanta: Mitos Yang Menjadi Nyata

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Atalanta: Mitos Yang Menjadi Nyata

Sebuah mitologi Yunani berkisah ; Dewi Artemis yang murka karena Oineus, Raja Kalidon, mengabaikanya sehingga mengirimkan seekor babi besar untuk meneror, merusak pemukiman hingga membunuh penduduk Kalidon. Oineus memerintahkan para pemburu hebat di Kalidon untuk memburu Babi. Para pemburu termahsyur di Kalidon berlomba membunuh babi tersebut guna memenangkan sayembara yang dibuat Oineus.

Di antara para pemburu hebat itu, ada seorang wanita cantik, kuat dan tangguh yang memaksa ingin mengikuti perburuan. Para pemburu yang merasa kuat itu tak ingin wanita ini ikut agar tak merepotkan. Wanita yang dianggap lemah ini pada akhirnya mampu melukai babi itu meski akhirnya perannya tak pernah diapresiasi bahkan tidak diakui. Kini, kita mengetahui wanita ini bernama Atalanta.

Terinspirasi dari kisah tersebut, sebuah klub dari kota Bergamo, Italia, mengabadikan perjuangan Atalanta menjadi nama mereka, Atalanta Bergamasca Calcio. Menjadikan sosok wanita cantik dan menarik bukan hanya sebagai logo klub, tapi juga sebagai filosofi permainan. Atalanta ingin mematahkan bahwa nama Atalanta bukan hanya mitologi Yunani seperti mereka juga mematahkan mitos bahwa permainan Italia yang bertahan dan membosankan. Musim 2019/2020 adalah pembuktiannya.

VIDEO: Update informasi Serie A Italia



Atalanta di musim ini telah mencetak 70 gol dalam 25 pertandingan, yang terbanyak di Serie A. Bahkan Atalanta musim ini sudah lima kali menang dengan defisit lima gol atau lebih. Ini bukan pertama kalinya Atalanta tampil sebagai pencetak gol terbanyak Serie A, musim lalu Atalanta finish di posisi ketiga dengan gol terbanyak, 77 gol, 7 gol lebih banyak dari sang jawara, Juventus.

Bukan hanya itu saja, La Dea juga berhasil lolos ke fase knockout UCL di kesempatan pertama mereka sepanjang sejarah klub. Atalanta berhasil menghidupkan kembali aura Giuseppe Meazza yang belum pernah menang selama 7 tahun terakhir di fase gugur UCL setelah menggulung Valencia 4-1. Kemenangan dengan menggunakan warna kebanggaan Giuseppe Meazza, biru hitam, tapi bukan milik Inter, Nerazzuri-nya Atalanta.

Investasi Bernama Akademi

Antonio Percassi, Presiden Atalanta, adalah sosok yang berperan dalam pembinaan pemain muda. Tidak puas dengan keadaan akademi Atalanta, Percassi menerapkan kebijakan investasi jajaran muda di awal 1990-an. Percassi membajak Femo Farvini dari Como, pemantau bakat paling disegani di Italia kala itu. Dua dekade setelah itu, Atalanta muda memenangi 17 gelar junior, terakhir tahun lalu mereka memenangi Super Coppa Italia Primavera. Atalanta muda menjelma sebagai salah satu akademi terbaik Italia. Para pemain muda Atalanta pun berhasil dipromosikan ke tim utama dan banyak dari mereka yang bermain untuk tim raksasa Italia hingga timnas Italia.

Keberhasilan terbaru Primavera Atalanta adalah menukar Roberto Gagliardini dan Alessandro Bastoni dengan uang 60 juta Euro ke Inter Milan. Jika kita buat daftar lulusan terbaik akademi Atalanta, maka muncullah nama-nama seperti Andrea Conti, Mattia Caldara, Alberto Grassi, Giuseppe De Luca, Manolo Gabbiadini, Giacomo Bonaventura, Riccardo Montolivo, Giampaolo Pazzini, Damiano Zenoni, Cesare Natali, Alex Pinardi, Rolando Bianchi, Ivan Pelizzoli, Gianpaolo Bellini, Luciano Zauri, Alessio Tacchinardi, sampai Roberto Donadoni. Bahkan nama besar seperti Franck Kessie, Christian Vieri hingga Filippo Inzaghi pernah berseragam biru hitam milik Atalanta.

Kebijakan peminjaman pemain juga menjadi alternatif Atalanta dalam pengembangan asset muda. Paling jelas terlihat saat Atalanta meminjamkan pemain sayap, Dejan Kulusevski, ke Parma. Pemain yang akhirnya punya musim fenomenal dan dipinang oleh Juventus hamper 40 juta Euro.

Dengan investasi pemain muda seperti ini, Atalanta berhasil membeli Stadio Atleti Azzuri dan menjadi klub Italia ke-4 yang memiliki stadion pribadi setelah Juventus, Udinese dan Sassuolo. Praktis dengan memiliki stadion sendiri, Curva Nord 1907 (tifosi Atalanta) bebas berteriak menyemangati La Dea. Selain itu, dengan penjualan tiket yang langsung masuk ke kantong Atalanta, membuat neraca keuangan semakin stabil sehingga mereka tak harus terpaksa menjual pemain terbaik.

Buah Kepercayaan Pada Gasperini

Atalanta bukan fenomena satu musim semata. Gli Orobici setidaknya telah membuktikan mereka konsisten bersaing di papan atas sejak musim 2016/2017. Kehadiran Gian Piero Gasperini lah yang mengubah permainan Atalanta menjadi begitu ofensif. Namanya mencuat saat membawa Genoa dengan tim “seadanya” finish di peringkat 5 Serie A musim 2008/2009 dan mengorbitkan nama-nama seperti Thiago Motta dan Diego Milito. Namun Gasperini gagal ketika dipercaya menahkodai Inter Milan hanya dalam 5 pertandingan di tahun 2011 karena dirasa taktiknya tak cocok dengan Nerazzuri.

Lima tahun berikutnya Gasperini kembali menukangi I Nerazzuri namun bukan dari kota mode, melainkan dari Bergamo. Gasperini nyaris mengalami nasib yang sama seperti saat di Inter karena Atalanta mengalami 4 kekalahan dalam 5 laga awal Gasperini. Tapi kali ini berbeda dengan Massimo Moratti, Antonio Percassi memilih percaya dan member waktu pada Gasperini. Kepercayaan yang dibalas dengan 6 kemenangan dan 1 hasil seri di 7 laga berikutnya.

Gasperini begitu percaya diri dengan “melawan hokum gravitasi” dengan bermain begitu menyerang di tengah stereotype bertahan klub-klub Italia. Pakem 3-4-3 yang bisa beradaptasi menjadi 3-4-2-1 atau 3-4-1-2 merupakan kunci keberhasilan taktik nyentrik Gasperini. Saat kehilangan bola, para pemain Atalanta langsung melakukan counter press agar pemain lawan tak sempat melakukan build up serangan.

Atalanta tak pernah memberi waktu istirahat bagi lawannya, seolah selalu lapar memburu bola. Ketika menyerang, Atalanta memanfaatkan lebar lapangan. Mengubah aliran bola dengan umpan diagonal dari sisi yang berlawanan untuk menciptakan overload. Umpan-umpan itu dilakukan untuk membuka celah di dalam struktur pertahan lawan yang kemudian dapat dieksploitasi dan dieksekusi oleh Duván Zapata, Josip Ilicic hingga Luis Muriel.

Atalanta tak pernah peduli siapa lawan yang mereka hadapi, entah tim papan bawah atau tim raksasa sekalipun. Atalanta tak pernah takut mengambil resiko dengan bermain agresif dan menekan. Tim asuhan Gasperini terlihat acuh, seberapapun mereka kebobolan, selagi mencetak gol lebih banyak dari lawan, mereka masih bisa memenangkan pertandingan,

Untuk menunjang permainan bertenaga, Gasperini menumpuk gelandang nomor enam dan mezalla seperti Robin Gosens, Hans Hateboer, Marten de Roon dan Timothy Castagne. Lini tengah ini menjadi penopang tridente mematikan mereka, Papu Gómez Josip Ilicic dan Duván Zapata. Permainan ball possession yang diterapkan Gasperini memaksa De Roon dan Hateboer untuk mampu bertugas menjadi jembatan lini pertahanan dengan lini depan dalam memulai serangan. Selain itu mereka juga mampu menjadi benteng pertama saat Ilicic dan Papu kehilangan bola.

Papu Gómez dan Josip Ilicic juga merupakan pemain kreatif dengan dribel mumpuni. Tercatat sejak musim lalu, keduanya mampu menciptakan 100 lebih chances created dan take-ons completed. Selain itu, keduanya juga memberikan 10 assists lebih bagi Atalanta. Tak seperti tim semenjana yang menumpuk 80% pemain di area pertahanan sendiri, Gasperini justru membiarkan berlama-lama bermain dan menumpuk pemain di sepertiga pertahanan lawan Keberhasilan pendekatan taktik ini membuat kita mentolerir saat Gasperini menyebut dirinya adalah Sir Alex Ferguson dari Italia.

Atalanta Tak Lagi Sekedar Mitos

Keberhasilan investasi pemain muda, membeli dan merenovasi stadion sendiri, konsisten di 4 besar Serie A, hingga menginjakan satu kaki di perempatfinal UCL pertamanya mungkin dianggap sebagai mitos jika kita membayangkannya 5-6 tahun lalu. Saat di mana mereka hampir terdegradasi dak tak pernah diperhitungkan di Serie A.

Hal yang sama seperti yang dialami Atalanta dalam mitos Yunani yang tak pernah dianggap dan diharapkan oleh pemburu hebat untuk mengikuti perang besar. Atalanta Bergamo pun tak pernah diharapkan mengikuti panggung besar macam UCL, perebutan Scudetto yang dulu dikuasai oleh The Seven Sisters (Juventus, Milan and Inter, Roma and Lazio, Parma and Fiorentina). Kini semua mitos itu dipatahkan seolah melawan hukum gravitasi.

Kini, agresivitas dan kecantikan pemburu Atalanta dalam mitologi Yunani diejawantahkan dalam filosofi sepakbola Atalanta Bergamasca Calcio.

Komentar