Roller Coaster Karier Sepakbola Serge Gnabry

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Roller Coaster Karier Sepakbola Serge Gnabry

London still red”, cuit seorang pemain yang baru saja mencetak 2 gol ke gawang Chelsea di Stamford Brigde, beberapa saat sebelum cuitan itu dibuat. Cuitan tersebut seolah menjadi sekuel tweet-nya empat bulan sebelumnya yang berbunyi, “London is red”. Saat itu, Ia baru saja mencetak empat gol ke gawang Tottenham Hotspur, lagi-lagi di London.

Nampaknya pria ini punya sentimen pribadi pada kota London. Siapa lagi kalau bukan Serge Gnabry yang ada dibalik cuitan di atas. Gnabry memang punya romansa bersama kota London. Bersama tim London berwarna merah, Arsenal, ia memulai karier sepakbola profesional di luar negara kelahirannya, Jerman. Wajar jika ia tetap menjadi seorang Gooners, meski masa-masa di Arsenal tak seindah yang dibayangkan. Serge Gnabry tak bisa membenci Arsenal, karena Arsenal menjadi alfa dari perjalanan sepakbola Serge Gnabry.

Serge Gnabry kembali ke tanah kelahirannya, Jerman, dan menjadi sosok sentral pada revolusi Bayern Munich dan timnas Jerman saat ini. Ia terlihat sebagai pemain yang matang, bahkan di usianya yang masih 24 tahun. Ia menjadi pemain tercepat yang mencetak 10 gol di timnas Jerman.

VIDEO: Gol-gol Bayern Munich di London



Namun bagi Gnabry, cerita ini telah ia buat bertahun-tahun sebelumnya, dan jauh lebih berat dari yang dibayangkan. Gnabry lahir di Stuttgart dari ayah yang seorang Pantai Gading dan ibu seorang Jerman. Awalnya Gnabry merupakan seorang sprinter yang mengidolai Usain Bolt dan bercita-cita menjadi sprinter nasional Jerman agar bisa menantang idolanya itu. Sayangnya Gnabry menyerah menjadi sprinter karena rekor dunia yang dicatatkan Usain Bolt tak realistis untuk dikejar.

Gnabry pun memilih sepakbola sebagai jalan hidup berikutnya. Pilihan tersebut didukung oleh ayahnya yang langsung memasukan Gnabry ke tim sepakbola. Berangkat dari tim amatir macam TSV Weissach, TSF Ditzingen, GSV Hemmingen, SpVgg Feurbach hingga Stuttgarter Kickers, Gnabry mulai menaiki panggung yang bernama sepakbola.

Saat usia 10 tahun, Gnabry sering menyaksikan turnamen junior profesional . Ia terkesima dengan satu talenta yang bernama Mesut Ozil. “Ozil merupakan pemain terbaik di turnamen itu, dan saya beruntung bisa berfoto dengannya”, ujar Gnabry. Ditempa di tim junior VfB Stuttgart, potensi Gnabry dicium oleh Peter Clark, scouting Arsenal. Mimpi untuk bermain bersama idolanya, Mesut Ozil, membawa Gnabry ke London Utara di sisi merah.

Serge sudah menerima pinangan Arsenal saat berusia 15 tahun pada tahun 2010. Ia harus menunggu satu tahun di tim junior Arsenal sebelum masuk ke tim senior karena peraturan FIFA yang melarang sebuah tim membeli pemain berusia di bawah 16 tahun. Hal ini ternyata berbuah manis bagi Gnabry. Penampilan impresif di tim junior Arsenal membuat ia langsung masuk tim utama. Di usia 17 tahun 98 hari, Serge menjadi pemain termuda kedua setelah Jack Wilshere yang membela tim senior Arsenal. Gnabry pun masuk nominasi Golden Boy di musim 2013/2014 yang langsung diganjar lima tahun kontrak bersama The Gunners.

Sayangnya, semua tak seindah yang dikisahkan atau bahkan yang diharapkan. Musim 2014/2015 menjadi salah satu musim terkelamnya karena ia harus menghabiskan satu musim bersama cedera lutut parah. Selesai berkutat dengan cedera lutut, karier Gnabry bak roller coaster. Ia sempat berada di atas pada musim 2013/2014, terjun di musim 2014/2015 karena cedera, dan di musim 2015/2016, Gnabry tak mampu mengambil posisinya di tim utama sehingga harus dipinjamkan ke West Bromwich Albion.

Hanya dua belas menit kesempatan yang diberikan Tony Pulis, manager WBA kala itu, menggambarkan betapa pahitnya perjalanan Gnabry. Bahkan Tony Pulis sempat memberikan tamparan bahwa potensi Serge Gnabry tak cukup baik sebagai pemain sepakbola. Bagi Tony Pulis, Gnabry memiliki kemampuan yang kurang baik untuk bermain di level EPL. Bermain untuk klub seperti WBA yang defensif dan mengandalkan fisik memang tak cocok bagi naluri menyerang Serge apalagi pasca cedera panjang.

Pada hakikatnya, roller coaster membawa seseorang begitu cepat ke atas maupun ke bawah. Ketika berada di posisi terbawah kariernya, ia sontak langsung dilontar ke atas. Olimpiade Rio de Janiero menjadi titik balik perjalanan kariernya dari suram menjadi cerah. Horst Hrubesch percaya akan kemampuan Serge Gnabry dan dibayar kontan oleh Serge dengan membawa tim Jerman meraih medali perak. Ia menjadi pencetak gol terbanyak turnamen saat itu.

Hrubesch mengkritik klub terdahulu Serge yang tak mampu memaksimalkan potensinya. "Dia (Gnabry) menunjukan kehebatanya kepada semua orang. Saya hanya jengkel karena klub tak mempercayai potensinya”, ujar Hrubesch. Ucapan yang terbukti dan mungkin jadi penyesalan Tony Pulis dan Arsene Wenger.

Penyesalan yang dimulai ketika menjual Gnabry ke Werder Bremen pasca gemilang di Olimpiade 2016. Kerinduan untuk berlaga di kompetisi Eropa membuat Werder Bremen mempertemukan Gnabry dengan bakat-bakat solid seperti Max Kruse, Florian Kainz dan Izet Hajrovic. Beruntung bagi Gnabry, ia mendapatkan begitu banyak kesempatan bermain dan berkembang. Meski begitu, tak mudah bagi Gnabry mengunci posisi di sayap Bremen. Ia harus bersaing dengan Florian Kainz yang seharusnya menjadi pilihan utama di sayap kiri. Namun, Kainz yang rentan cedera membuat Gnabry punya keuntungan di atas kemalangan kawan.

Gnabry langsung menunjukan “Turbo Speed”, julukan yang diberikan rekan setimnya, kecepatan yang ia miliki sebagai sprinter. Bukan hanya cepat di lapangan, ia juga cepat belajar, beradaptasi dan cepat menunjukan bakat alaminya. Paruh musim perdana di Werder Bremen ia tutup dengan catatan 10 gol. Secepat itu pula ia mencuri perhatian Joachim Low, pelatih timnas Jerman kala itu. Berkat rekomendasi Mesut Ozil dan Per Mertesacker, Low memanggil Gnabry untuk menjalani debut timnas senior kala menghadapi San Marino.

Tak ada debut yang indah selain mencetak gol, bukan hanya satu, melainkan tiga. Hat-trick yang memperkenalkan Serge Gnabry sebagai salah satu aset Jerman. Namun sekali lagi, kecemerlangan musim 2016/2017 di Bremen bukan tanpa hambatan. roller coster itu kembali, Gnabry mengalami cedera lutut, lagi. membuatnya absen di banyak laga usai paruh musim.

Tapi itu tak menghalangi Bayern Munich yang mulai mengintai bakatnya. Semua akan Bayern Munich pada akhirnya. Bagaimana pun mayoritas bakat hebat Bundesliga akan berlabuh ke Bayern, termasuk Serge Gnabry. Bayern tengah berevolusi kala itu, dan menyiapkan pengganti duet sayap legendaris mereka, Arjen Robben dan Frank Ribery yang memasuki penghujung karier. Serge didapuk sebagai penerima tongkat estafet Robben dan Ribery. Langkah pertama menempa Gnabry ialah meminjamkannya ke tim lain guna mendapatkan kesempatan bermain.

Hoffenheim menjadi persinggahan Gnabry, dan Hoffenheim menjadi tempat yang tepat untuk memperlayak diri. Beruntung bagi Gnabry karena saat itu ia dipertemukan dengan Julian Nagelsmann yang dijuluki “Menschenfanger” karena mampu mengoptimalkan kualitas individu dengan menginspirasi para pemain untuk mampu mencapai level terbaiknya.

Meski mengawali musim dengan tidak baik, disingkirkan Liverpool di play-off UCL, tak menghalangi Hoffenheim dan Gnabry tampil impresif di Bundesliga. Peran Gnabry begitu sentral dalam permainan pressing Hoffenheim. Nagelsmann mampu mengoptimalkan kecepatan Gnabry dengan membiarkan Gnabry berkreasi dan mengeksploitasi sisi sayap lawan. Hoffenheim Nagelsmann dikenal dengan serangan balik yang cepat dan mematikan, dan tak ada pemain yang lebih baik dari Gnabry untuk memulai serangan kilat itu. “Turbo Speed”, dengan sedikit sentuhan mengecoh, membuat Gnabry mampu meninggalkan lawan beberapa langkah. Kolaborasi Nagelsmann dan Gnabry menjadikan Hoffenheim berada di peringkatt ketiga musim 2017/2018, lolos ke UCL untuk pertama kali sepanjang sejarah klub, dan menjadi tim terproduktif kedua setelah Bayern dengan 66 gol di mana Gnabry terlibat 18 diantaranya.

Ketika Bayern memanggil, ia sudah siap untuk berbakti. Pengalamannya membela empat tim di dua liga terbaik dunia menjadikannya matang dan layak sebagai penerus Arjen Robben dan Frank Ribery. Kesediaan dan kemampuannya untuk ditempatkan di berbagai posisi membuat ia menjadi pemain favorit pelatih, termasuk Niko Kovac yang kala itu menukangi Bayern.

Terbiasa merana karena cedera dan tak menjadi pilihan utama, membuat mental bertandingnya semakin kuat. Hal yang ia tunjukan kala bermain pada laga besar, seperti saat Jerman bertemu musuh abadi mereka, Belanda dalam Kualifikasi Euro 2020. Gnabry mencetak gol kedua Jerman yang membawa timnya mengalahkan Belanda 3-2. Selain itu, dalam laga bertajuk “Der Klassiker”, Bayern versus Borussia Dortmund, Gnabry juga mencetak gol keempat Bayern serta menyiapkan gol kelima Bayern yang dicetak Lewandowski.

Musim 2018/2019 ia tutup dengan 13 gol, satu gelar Bundesliga, satu gelar DFB Pokal dan gelar pemain terbaik Bayern musim itu atas namanya. Serge Gnabry menjadi sosok penting bagi revolusi Bayern dan juga dalam rangka pemenuhan dahaga UCL mereka yang telah berjalan tujuh tahun.

Kini semua jerih payah dan kesabaran membawa Serge Gnabry menuju siklus puncak dalam kariernya, hal yang mungkin tidak terbayangkan olehnya bisa sampai di titik ini jika melihat lima tahun kariernya di Inggris. Fase pertama karier sepakbolanya telah dilalui, tugas pada fase itu telah dijalankan dengan baik, menjadi sabar dan kerja keras sebagai pemain muda. Ia pun telah membalaskan dendam dengan menang di London atas Spurs dan Chelsea menggunakan warna merah, meski milik Bayern.

Sekarang Serge sedang memasuki fase kedua dalam perjalanan sepakbola miliknya, yaitu upaya menjadi pemain kelas dunia, dan dia sudah berada di jalur yang tepat. Kisah yang menginspirasi bagaimana para pemain muda menikmati roller coaster karier sepakbola, kerja keras dan kesabaran. Karena sesungguhnya jawaban Tuhan atas permintaan manusia itu hanya dua, “IYA” dan “TUNGGU”, bukan begitu Serge?

Komentar