"Masih Rasis? Kalau Begitu Kami Tidak Akan Bermain Sepakbola"

Cerita

by Redaksi 15

Redaksi 15

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

"Masih Rasis? Kalau Begitu Kami Tidak Akan Bermain Sepakbola"

Mario Balotelli dituntut Wali Kota Verona karena dianggap mencemarkan nama baik setelah mantan penyerang Manchester City tersebut menjadi korban diskriminasi ras pada laga Hellas melawan Brescia. Nasib Balotelli kemudian semakin parah setelah Ultras Brescia menyebut pemain keturunan Ghana itu arogan dan memberi citra buruk kepada sepakbola Italia.

Gelandang Shakhtar Donetsk, Taison, mendapatkan kartu merah usai membuang bola dengan penuh amarah ke arah suporter Dynamo Kyiv yang menghina dirinya atas dasar rasial. Den Bosch, pemain yang berlaga di Eerste Divisie, atau divisi dua Liga Belanda, merasa penyerang SBV Excelsior, Ahmad Mendes Moreira, bersikap berlebihan saat mendengar "konser buruk gagak" yang sudah biasa disuarakan oleh suporter mereka.

Semua adalah bentuk tak acuh sepakbola terhadap rasisme. Padahal kesetaraan ras sudah diatur oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 1945. Melalui artikel pertama poin ketiga Piagam PBB, disebutkan bahwa “untuk sama-sama menyelesaikan masalah ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan di dunia; dan untuk menghormati hak asasi manusia tanpa melihat ras, jenis kelamin, bahasa, dan agama”.

Berbagai belahan dunia pernah mengalami masa-masa di mana satu ras dianggap lebih tinggi dibanding lainnya. Pada 21 Maret 1960, setelah polisi di Afrika Selatan membunuh 69 demonstran, PBB mencetuskan Hari Penghapusan Diskriminasi Ras. Namun, perbudakan tetap ada. Hingga akhirnya Mauritania menjadi negara terakhir yang menghapus hal tersebut pada 1981.

Sudah bertahun-tahun kesetaraan ras dikumandangkan berbagai pihak. Akan tetapi, diskriminasi masih bisa bertahan hidup. Sepakbola tidak lepas dari hal tersebut. Ketika Egy Maulana Vikri resmi dikontrak Lechia Gdansk, suporter Lech Poznan sempat membentangkan spanduk dengan unsur rasisme untuk mengkritik kebijakan transfer klub berjuluk Bia?o-Zieloni tersebut.

Kritik itu pun bisa dilihat sebagai hal yang wajar. Pasalnya, sebagian, jika bukan seluruh suporter Lechia, juga sempat menjadi bagian dari supremasi kulit putih di Polandia. Mereka bahkan sempat memasang spanduk dengan gambar Kux Kux Klan berdiri di hadapan sosok kulit hitam yang tengah berlutut.

Inggris, negara yang dikenal sebagai salah satu acuan sepakbola dunia bahkan masih memberikan contoh buruk. Ketika Raheem Sterling dan Tyrone Mings menjadi korban rasisme di Kualifikasi Piala Eropa 2020, solidaritas mungkin datang dari berbagai pihak. Tapi jauh dari lampu sorot dan gemerlap popularitas, Fleetwood Town yang bermain di League One masih dianggap menutup diri dari kesetaraan ras.

Bedasarkan laporan The Athletic, hingga 21 November 2019 The Cod Army, julukan Fleetwood, telah menggunakan 26 pemain berbeda. Semua yang dimainkan adalah pemain kulit putih, termasuk tiga yang baru tampil sebagai pemain pengganti. Sejak 2018/2019, mantan kesebelasan Jamie Vardy itu sudah mendatangkan 27 pemain pinjaman untuk tim senior mereka dan semua kulit putih. Padahal 40 persen dari pesepakbola profesional di Inggris adalah bagian dari kelompok kulit hitam, Asia, dan etnis minoritas (BAME).

Fleetwood bukan tidak pernah menggunakan pemain berkulit hitam. Legenda Newcastle United, Shola Ameobi, pernah membela The Cod Army. Namun, hal ini sangat jarang terjadi. Bahkan sepanjang musim 2018/2019, hanya satu dari 36 pemain Fleetwood yang tak berkulit putih. Ia adalah pemain asli Akademi Fleetwood, James Hill. James adalah anak dari mantan bek Preston North End, Matt Hill.

Presiden Fleetwood, Andy Piley, mengaku hal ini bukanlah sesuatu yang mereka rencanakan. “Kami sadar bahwa Fleetwood kurang memperlihatkan keberagaman dalam tim. Akan tetapi ini bukan sesuatu yang kami sengaja. Beberapa pemain kami ada yang masuk dalam BAME. Kami juga banyak membantu warga sekitar. Masalahnya, 98,8 persen dari penduduk kota ini memiliki kulit putih,” kata Piley.

“Perlu saya ingatkan juga bahwa Nathan Pond, pemegang rekor jumlah penampilan untuk klub ini memiliki keturunan kulit hitam. Ia berasal dari Karibia. Masalah kesetaraan adalah sesuatu yang kami hadapi dengan keseriusan tinggi. Jangan menilai kami dengan hanya melihat kondisi tim saat ini,” jelas Piley membela diri.

Mendengarkan pembelaan Piley, menyebut Fleetwood sebagai klub yang rasis memang berlebihan. Beda dengan ucapan Ultras Brescia dan Hellas Verona yang menyebut sikap Balotelli sebagai sesuatu yang arogan. Untungnya, perlahan Asosiasi Sepakbola Italia (FIGC) mulai menindak tegas isu rasisme di Italia. Hellas Verona sendiri juga menghukum ketua ultras mereka dengan larangan hadir di stadion selama 11 tahun.

Rasisme sudah hidup terlalu terlalu lama di dunia ini. Tentu akan butuh waktu yang jauh lebih lama lagi untuk menghapus hal tersebut. Sepakbola sebagai ‘olahraga rakyat’ memiliki kemampuan menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Sehingga kampanye anti-rasisme dalam sepakbola merupakan salah satu bentuk perlawanan untuk menjaga hak asasi manusia, terutama kesetaraan ras.

Demi menarik perhatian dunia akan hal ini, dua divisi tertinggi Belanda, Eredivisie dan Eerste Divisie, tidak akan memainkan menit pertama dalam pertandingan pekan ke-14 dan 16 divisi masing-masing. Mereka hanya akan berdiri diam sambil melemparkan pesan: “Masih rasis ? Kalau begitu kami tidak akan bermain sepakbola”.

Komentar