Bertahan Bukan Pilihan Fabregas

Cerita

by Redaksi 15

Redaksi 15

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Bertahan Bukan Pilihan Fabregas

Pertandingan tersisa lima menit di waktu normal. Papan ofisial pertandingan terangkat, nomor empat berwarna merah terpampang. Publik Stamford Bridge kemudian berdiri memberikan penghormatan terakhir mereka kepada Francesc Fabregas Soler. Gelandang berusia 31 tahun itu resmi mundur dari sepakbola Inggris setelah menjalani 501 pertandingan bersama Arsenal dan Chelsea. Dia dikabarkan akan berseragam Monaco.

Fabregas yang masa baktinya di Chelsea hanya menyisakan enam bulan kurang, secara terbuka memberi tahu para penggemar bahwa laga Piala FA melawan Nottingham Forest adalah yang terakhir untuk dirinya.

"500 pertandingan di sepakbola Inggris. Sepakbola terbaik serta kompetitif di dunia. Sebuah petualangan! Mencapai angka ini merupakan mimpi yang jadi kenyataan. Satu lagi hal membanggakan dari karier saya. Saya tunggu kalian semua di Stamford Bridge!" tulis Fabregas di Twitter miliknya dua hari sebelum pertandingan.

Ini bukan pertama kalinya Fabregas pergi meninggalkan sepakbola Inggris. Sekitar tujuh setengah tahun lalu, tepatnya 15 Agustus 2011, Cesc Fabregas hengkang dari Arsenal untuk pulang ke FC Barcelona. Sebuah penantian yang cukup panjang setelah saat pesta juara Piala Dunia 2010, dua kawan Fabregas, Pepe Reina dan Carles Puyol, memaksa dirinya mengenakan seragam Blaugrana.

Bedanya, kali ini Fabregas pergi tanpa melukai hati orang lain. Saat dia pindah dari Arsenal ke Barcelona, drama antara kedua kubu sering terjadi. Pada satu sisi, Fabregas sadar bahwa dia adalah seorang profesional dan harus bersikap demikian. "Saya adalah Kapten Arsenal dan seorang Gunner. Ini kesebelasan yang membentuk diri saya dewasa, sebagai pemain ataupun pribadi," katanya.

Tapi di sisi lain, rekan-rekan Fabregas di Camp Nou tahu bahwa rekan mereka pantas mendapatkan yang lebih baik. "Mereka menahan seseorang yang sudah tidak mau lagi bermain di sana. Saya tidak tahu apakah itu keputusan yang cerdik," sindir Puyol. Sempat menolak untuk bermain, Fabregas akhirnya dipulangkan ke Barcelona.

Mimpinya menjadi kenyataan. Namun, ada penyesalan yang ikut terbawa. "Saya sudah menunggu sangat lama agar hal ini (kembali ke Barcelona) terjadi. Setelah delapan tahun bersama Arsenal saya harap banyak memori indah yang ditinggalkan. Satu penyesalan dalam karir saya hanyalah tidak bisa mengangkat piala sebagai kapten Arsenal. Saya hanya memberikan satu Piala FA kepada kalian," ungkap Fabregas.

Fabregas tidak merasakan era terbaik Pep Guardiola yang memenangi enam gelar dalam satu tahun. Akan tetapi, trofi yang menjadi koleksi Fabregas tetap bertambah dengan bergabung Barcelona. Satu gelar Piala FA akhirnya dapat disandingkan dengan juara La Liga, Piala Raja, dan Piala Super Spanyol, hingga FIFA Club World Cup. Ketika Guardiola meninggalkan Camp Nou, Fabregas terpaksa ikut pergi.

"Xavi pernah membuat lelucon kepada saya. Saat kami membela Tim Nasional Spanyol, dia meminta saya pindah ke Barcelona karena dirinya merasa sudah tua, butuh pengganti. Saya datang dan dia masih bermain lima tahun kemudian, itu tidak membantu," ungkap Fabregas.

Luis Enrique yang menggantikan Guardiola masih menggunakan Xavi, Iniesta, dan Sergio Busquest sebagai trio gelandang Barcelona. Sementara Fabregas membutuhkan tempat utama. Barcelona menawarkan Arsenal untuk membeli kembali Fabregas, tapi kesempatan itu ditolak oleh The Gunners. Akhirnya, Chelsea yang dilatih Jose Mourinho datang menampung.

Bukan sekadar menampung, tapi juga mengubah Fabregas menjadi pemimpin sejati. Selama di Arsenal, Fabregas memiliki aura seperti anak emas Arsene Wenger. Pindah ke Barcelona, dirinya harus kembali ke kenyataan bahwa dia sama seperti pemain-pemain lain. Tidak lebih spesial dari Xavi, Iniesta, dan Busquest. Kembali ke Inggris membela Chelsea, Jose Mourinho memberi kepercayaan mulai dari hari pertama!

"Cara Mourinho memberikan kepercayaan kepada saya untuk menjadi pemimpin di Chelsea sejak hari pertama, itu sangatlah fantastis. Akan selalu saya ingat selamanya".

Bersama Nemanja Matic, Cesc Fabregas menjadi tumpuan di lini tengah Chelsea. Barometer permainan dan aliran bola the Blues. Musim 2014/15, Cesc Fabregas arsiteki 24 gol Chelsea di semua kompetisi dan mencetak lima dengan namanya sendiri. Akhirnya, Fabregas bisa mengangkat gelar juara Premier League. Bukan hanya sekali, tapi dua kali.

Satu trofi Premier League lainnya didapat bersama Antonio Conte. Semasa Chelsea ditangani Conte, itu meruakan masa-masa terberat Fabregas di Stamford Bridge. Dirinya sudah menunjukkan betapa krusial dan bersinar dirinya jika diberikan kepercayaan dan kebebasan seperti saat bersama Mourinho. Akan tetapi, Conte meminta Fabregas untuk lebih pasif, menjaga kedalaman lini tengah.

Fabregas tetap mendapat tempat, hanya saja harus bermain dengan gaya berbeda. Gaya yang ia akui butuh waktu untuk dipahami. "Bohong jika saya mengatakan tidak khawatir. Setiap saya mendapat kesempatan, harus ada sesuatu yang dibuktikan di sana. Saya awalnya sudah ingin pasrah dan menerima kenyataan tidak lagi jadi bagian tim ini [Chelsea]".

"Tapi setiap saya berhasil membuktikan diri, hubungan kami terbentuk menjadi lebih baik. Sekarang saya memahami filosofi Conte dan harus diakui, saya bangga akan hal itu," kata Fabregas.

Berhasil memenangkan semua gelar yang ada di Inggris, Cesc Fabregas Soler kembali ingin mencari petualangan baru. Posisinya di lini tengah Chelsea saat ini sudah sama seperti ketika membela Barcelona beberapa tahun lalu. Jika dulu Xavi yang membayangi dirinya, kini sosok itu bernama Jorginho.

Jorginho merupakan pemain andalan Maurizio Sarri sejak di Napoli. Ketika Sarri hengkang ke Chelsea, ada banyak pemain dari Kota Naples yang ingin ia bawa. Kalidou Koulibaly, Lorenzo Insigne, Dries Mertens, semua dikaitkan dengan Sarri dan Stamford Bridge. Akan tetapi, Napoli hanya mengizinkan Sarri membawa satu pemain dan dia memilih Jorginho.

Jorginho disebut-sebut sebagai pusat dari gaya permainan Maurizio Sarri. Nakhoda asal Italia itu sebenarnya juga bisa mengandalkan Fabregas sebagai pengatur ritme seperti Jorginho. Ia bahkan mengakui kemiripan kedua pemain tersebut dan ingin Fabregas bertahan.

"Kami hanya memiliki dua gelandang yang bisa menempati pos ini, Jorginho dan Fabregas. Jadi bagi saya akan menjadi masalah apabila Cesc tidak bertahan. Saya ingin dia bertahan. Saat ini sulit untuk mencari pemain seperti Fabregas di bursa transfer. Tidak sekadar ganti satu pemain dengan yang lainnya, karena secara teknis, Fabregas pemain penting," aku Sarri.

"Tapi semua adalah keputusan dia dan direksi. Saya menghargai kebijakan Chelsea yang hanya memberikan kontrak tambahan satu tahun kepada pemain di atas 30 tahun. Akan tetapi dari sisi pemain, mereka pasti sulit untuk hanya menandatangani kontrak satu tahun saat usianya sudah 31," lanjut Sarri.

Kedatangan Jorginho dan usia yang sudah tak lagi muda membuat Fabregas pergi dari Stamford Bridge, sekaligus membuka ruang untuk petualangan dan belajar ilmu baru bagi dirinya. Ia tak pernah merahasiakan keinginan untuk jadi seorang kepala pelatih atau manajer di masa depan. Setelah menghabiskan 15 tahun lebih di berbagai kesebelasan papan atas, nyaman, aman, mapan, dan ditangani pelatih berpengalaman, mungkin ia ingin melihat sisi yang berbeda.

Komentar