Ringkasan Kejar-kejaran Peringkat Liga 1 2018

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Ringkasan Kejar-kejaran Peringkat Liga 1 2018

Jarak poin yang begitu tipis dan penentuan gelar juara hingga pekan terakhir jadi narasi betapa fluktuatifnya kompetisi Liga 1 2018. Liga 1 2018 sendiri memang bisa dikatakan sebagai liga dengan kompetitif yang ketat alias liga kompetitif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "kompetitif" sendiri berarti "persaingan".

Bukti persaingan ketat Liga 1 terlihat dari persaingan papan atas dan papan bawah. Di papan atas, sebelum Persija Jakarta jadi juara, lima tim lain sempat merasakan singgah di puncak klasemen, yakni Madura United, Persipura Jayapura, Barito Putra, Persib Bandung, dan PSM Makassar.

Sementara di zona degradasi pun tak kalah menariknya. Hingga pekan ke-33, lima tim masih memiliki peluang yang sama untuk meninggalkan Liga 1 2019. Tapi itu semua hanya ringkasan betapa cepatnya naik-turun peringkat sepanjang Liga 1 2018 bergulir.

***

Meski gagal juara, dari 34 pekan berjalannya liga, PSM Makassar berhasil menjadi tim yang paling sering menempati peringkat pertama dengan 11 pekan. Wiljan Pluim cs. tercatat tak pernah terlempar dari 10 besar klasemen atau catatan terburuk PSM menempati posisi ke-7. Artinya tim Ayam Jantan dari timur ini berada di urutan pertama soal stabilitas penampilan selama gelaran Liga 1 2018.

Dalam urusan paling banyak menduduki puncak klasemen, hanya tim asuhan Mario Gomez, Persib Bandung, yang mendekati catatan tersebut dengan 8 pekan memimpin klasemen. Setelahnya Persipura Jayapura mengikuti dengan catatan 7 kali, Barito putra 4 kali, dan Madura United serta sang juara Persija Jakarta masing-masing dua kali.

Menariknya, dua kali Persija menempati peringkat pertama terjadi pada pekan ke-33 dan 34. Artinya Macan Kemayoran diibaratkan menjuarai "balapan" Liga 1 2018 ini dengan keberhasilan menyalip di tikungan terakhir. Sebelum itu, PSM Makassar dan Persib-lah yang memimpin.

Persija sebenarnya sempat menempati peringkat ke-16 musim ini. Itu terjadi pada pekan ke-12. Saat itu Persija (yang baru bermain 9 kali) baru mengumpulkan 13 poin, sementara PSM Makassar yang memuncaki klasemen sudah mengoleksi 21 poin. Sejumlah penundaan jadwal Persija terjadi lantaran keikutsertaan Persija di AFC Cup dan "bentroknya" laga Persija vs Persib dengan Hari Buruh Nasional.

Jika menghitung semua laga Persija hingga pekan ke-12, Persija mengumpulkan 17 poin (atau berjarak empat poin dengan PSM). Jadi sebenarnya Persija memang tak pernah jauh-jauh dari pemuncak klasemen. Jumlah pertandingan yang lebih sedikit jadi penyebab Persija sering terlihat berada jauh dari papan atas.

Walau begitu tingkat kompetitif Liga 1 terlihat dari jarak antara pemuncak klasemen dengan juru kunci. Saat Persib jadi juara paruh musim misalnya, Persib berhasil mengumpulkan 29 poin. Ternyata dengan PSMS Medan yang menempati posisi buncit jaraknya hanya 11 poin alias kurang dari empat kemenangan.

Jika jarak dengan posisi terakhir saja cukup dekat, maka tak heran ketika rentetan hasil negatif langsung membuat pemuncak klasemen lengser dari singgasana. Persipura sempat menempati peringkat satu setidaknya pada pekan ke-9. Namun tak meraih kemenangan pada pekan ke-10 hingga ke-14 membuat mereka langsung tergerus ke peringkat 9. Setelahnya seperti yang kita tahu Persipura sulit menang sampai akhirnya Peter Butler dipecat. Persipura akhirnya mengakhiri musim di peringkat 12.

Barito Putera juga bernasib serupa. Sempat menjadi calon juara paruh musim, Barito nyatanya mengakhiri musim di peringkat 9. Skuat asuhan Jacksen F. Thiago ini menurun performanya sejak pekan ke-21. Setelah kemenangan 3-2 atas Persebaya, Rizky Pora dan kolega meraih 5 hasil imbang plus 3 kalah sebelum akhirnya kembali meraih kemenangan di pekan ke-29.

Yang lebih nahas tentu Persib Bandung. Pada 10 laga terakhir, Persib hanya menang sekali, yakni mengalahkan Bhayangkara FC. Faktor hukuman sejumlah pemain pada laga melawan Persija di Stadion GBLA, juga diberlakukannya hukuman Persib yang tak boleh bermain di Pulau Jawa, membuat posisi puncak yang dikuasai sejak pekan 16 harus lepas. Persib akhirnya mengakhiri musim di peringkat 4. Persib juga saat itu ke puncak klasemen dan menjadi juara paruh musim atas tujuh laga tak terkalahkan sejak mengalahkan PSMS Medan (3-0) sebelum ditaklukkan Mitra Kukar (0-1) pada pekan ke-20.

"Kalahnya" Sriwijaya FC dari persaingan ketat ini juga jadi penyebab mereka harus terdegradasi ke Liga 2 musim depan. Pada pekan ke-15, mereka sebenarnya masih bertengger di posisi keempat. Tapi memang jarak mereka dengan zona degradasi saat itu hanya lima poin. Dua kekalahan pada pekan ke-16 dan 17 saja langsung menerjunkan mereka ke posisi 12. Sempat kembali naik ke peringkat 7, hanya meraih 4 kemenangan dari 16 laga terakhir tak mampu menyelamatkan mereka dari jurang degradasi. Pergantian Rahmad Darmawan ke Alfredo Vera gagal mengubah nasib Sriwijaya FC jadi lebih baik.

Para pemenang dari persaingan ketat musim ini, selain Persija, adalah Persebaya Surabaya, PSIS Semarang, Perseru Serui dan PS Tira. Khusus untuk PSIS, Perseru dan PS Tira, kemenangan persaingan mereka berbuah selamat dari degradasi.

PS Tira tercatat 12 kali berada di zona degradasi, sementara Perseru 17 kali. Pergulatan mereka di jurang degradasi ditutup dengan kemenangan di partai pamungkas. PS Tira mengalahkan Borneo, Perseru mengalahkan Persipura. Kemenangan mereka-lah yang melengserkan Sriwijaya FC dan Mitra Kukar ke Liga 2.

PSIS, sementara itu, meski tidak sampai semenegangkan hingga pekan terakhir, punya problematikanya tersendiri. Sampai pekan ke-20, hanya empat kali mereka berhasil keluar dari zona degradasi, sehingga membuat mereka berpotensi kembali ke Liga 2 musim depan. Tapi didepaknya Vincenzo Annesse dan menunjuk Jafri Sastra pada pekan ke-21 membawa angin perubahan. Tidak hanya lolos degradasi, dalam 14 pekan, Jafri Sastra juga mampu mengangkat PSIS hingga ke peringkat 10 di akhir musim. Saat Jafri pertama kali menangani PSIS, PSIS yang berada di peringkat 17 hanya berjarak tujuh poin dengan peringkat 10. Tak heran dengan 7 kemenangan dan 3 (4 kalah), jarak tersebut mampu dipangkas ketika musim berakhir.

Djajang Nurdjaman melakukan hal serupa bersama Persebaya. Sama seperti PSIS yang berstatus tim promosi, Persebaya juga sempat terseok-seok di awal musim. Tapi berkat kejeniusan pelatih asal Majalengka dalam mengubah status tim promosi yang lunglai menjadi “The Giant Killer”, Persebaya yang saat masih dilatih Alfredo Vera sempat menempati posisi 16, mampu melesat ke posisi lima di klasemen akhir. Saat Djajang mengambil alih kemudi pada pekan ke-21, Persebaya berada di posisi ke-13 dengan jarak ke peringkat lima sebesar 8 poin.

Hal-hal di atas tampaknya terjadi karena kesebelasan-kesebelasan Indonesia saat ini masih mengandalkan "poin kandang". Ada perbedaan signifikan antara penampilan kandang dan tandang di setiap kesebelasan. PSM misalnya, mengumpulkan 42 poin di kandang (tertingg) tapi hanya meraih 17 poin saat bertamu. Persija yang juara punya poin tandang tertinggi, tapi itu pun hanya berada di angka 35 poin.

Selain itu, terlepas dari cerita pahit dan manis tim, angin-anginan insting mencetak gol para penyerang pun jadi faktor tambahan. Ketika pertengahan musim mengunggulkan Fernando Rodrigues Ortega (Mitra Kukar) dan Ezechiel N’Douassel (Persib Bandung), juga Marko Simic yang berstatus top skor Piala Presiden 2018, secara mengagetkan justru David da Silva (Persebaya Surabaya) dan Aleksandar Rakic (PS TIRA) yang meramaikan persiangan top skorer jelang musim berakhir.

Aleksandari Rakic memenangkan "pertarungan" setelah mencetak lima gol pada dua laga pamungkas. Total ia mencetak 21 gol, David da Silva 20 gol. Simic mencetak 18 gol, sementara N`Douassel 17 gol. Rakic bermain untuk PS Tira, sementara David berseragam Persebaya. Walau perlu jadi catatan pula bahwa Rakic mencetak 21 gol hasil dari 34 laga. Sementara David mencetak 20 gol dari 23 kali bermain, N`douassel 17 gol dari 22 laga.

Ini artinya, dua kesebelasan yang digadang-gadang degradasi justru punya lini depan yang tajam. Kualitas lini depan kesebelasan-kesebelasan Liga 1 2018 pun bisa dibilang merata. PSMS misalnya, meski menempati posisi buncit, mereka mampu mencetak 50 gol, tertinggi ketujuh. Jumlah gol mereka hanya berselisih 10 gol dengan Persebaya yang jadi kesebelasan paling produktif musim ini. Sementara tiga kesebelasan yang paling sedikit mencetak gol diisi oleh Bhayangkara (peringkat 3), PSIS (10) dan Perseru (14).

Tapi soal kualitas pertahanan lain soal. Bahkan boleh dikatakan bahwa nasib kesebelasan Liga 1 2018 ditentukan kualitas pertahanan mereka. PSMS, Mitra Kukar dan Sriwijaya FC yang terdegradasi menghuni tiga dari empat tertinggi kebobolan. Sementara Persija jadi juara berkat jumlah kebobolan mereka paling sedikit (36 kebobolan). Bhayangkara dan Persib juga, yang konsisten di papan atas, menempati posisi kedua (39 gol) dan keempat (41) soal kebobolan paling sedikit, diselingi Perseru. PSM berada di urutan kelima dengan kebobolan 42 kali.

Karena itulah tak heran jarak antara Persija (juara) dengan PSMS (posisi terakhir) hanya 25 poin. Jika dibandingkan dengan Liga 1 2017 misalnya, jarak 25 poin merupakan jarak antara peringkat pertama dengan peringkat 10. Belum lagi jika ISC dan Liga 1 2017 membutuhkan 68 poin untuk jadi juara, musim ini Persija juara dengan 62 poin, berjarak dua kemenangan dengan dua edisi sebelumnya.

Komentar