Cara UEFA Hindarkan PSG dan Man City dari Hukuman Berat FFP

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Cara UEFA Hindarkan PSG dan Man City dari Hukuman Berat FFP

Baru-baru ini beredar laporan penyidikan dari media Perancis, Mediapart, dan majalah mingguan di Jerman, Der Spiegel, yang menduga Manchester City dan Paris Saint-Germain melakukan kecurangan terkait Financial Fair Play (FFP). Mendapatkan data dan dokumen dari Football Leaks, City dan PSG disebut-sebut dibantu UEFA untuk menutupi pelanggaran finansial besar-besaran sehingga lolos dari hukuman berat FFP.

Seperti kita ketahui bersama, aturan FFP dibuat dengan tujuan bukan untuk mencekik klub secara finansial, melainkan sebagai pengendali keuangan yang lebih sehat dan sepakbola Eropa yang lebih kompetitif. Secara sederhana; setiap kesebelasan Eropa tidak boleh membelanjakan lebih dari yang mereka hasilkan di musim tertentu dan defisit harus berada dalam batas 30-45 juta euro selama tiga musim.

Football Leaks membeberkan rincian pelanggaran yang dilakukan oleh Qatar Sports Investments (QSI), perusahaan yang memiliki PSG. QSI diduga telah melakukan transaksi kotor dengan menyuntikkan dana sekitar 1,8 miliar euro ke kas kesebelasan sejak pengambilalihan pada 2011 silam.

Selanjutnya dalam laporannya, Football Leaks pun mengklaim bahwa kongsi bisnis Qatar dan Abu Dhabi Sports Group telah menyuntikkan dana sekitar 4,5 miliar euro (5,1 miliar dollar AS) dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir untuk meningkatkan anggaran kesebelasan-kesebelasan yang mereka miliki. Dipastikan angka 2,7 miliar euro telah masuk ke kas City dalam kurun waktu tersebut.

Hal tersebut dilakukan untuk menutupi kerugian yang didapat oleh klub sehingga saat audit dilakukan mereka bisa terbebas dari himpitan hukuman FFP. Formatnya hampir serupa, kedua tim tersebut menggelembungkan dana sponsor (perusahaan yang terikat dengan pemilik kesebelasan).

Mantan Sekjen UEFA yang kini menjabat sebagai Presiden FIFA, Gianni Infantino, diduga mengetahui hal ini bahkan dituduh terlibat pada tindakan ilegal yang terjadi pada 2014 tersebut. Saat terendus aliran dana yang tidak sehat di kesebelasan-kesebelasan besar Eropa, senior di otoritas tertinggi sepakbola dunia ini malah menugaskan Club Financial Control Body (CFCB) —departemen UEFA yang bertugas menyelidiki pelanggaran aturan keuangan— untuk lebih agresif menyelesaikan pelanggaran FFP kesebelasan-kesebelasan miskin seperti di Rumania dan Turki.

Infantino kemudian menetapkan bahwa defisit kedua klub masih dalam batas aman atau tak melebihi batas FFP. Padahal, menurut data yang diungkap Football Leaks, penyidik dari UEFA dan auditor independen sebenarnya menemukan defisit kerugian PSG menyentuh angka 218 juta euro, sedangkan City sekitar 188 juta euro. Angka ini jelas melanggar FFP dan jika benar membuat kedua kesebelasan dihukum tak boleh berlaga di Liga Champions.

Dokumen yang menarasikan keburukan Infantino itu mengungkap, selama investigasi FFP dilangsungkan, Infantino kabarnya mengadakan pertemuan rahasia dengan para petinggi klub asal Paris dan Manchester pada berbagai kesempatan. Di sana dirinya memberikan rincian rahasia untuk mengakali proses audit, membuat sketsa saran untuk penyelesaian dengan asosiasi, dan mengajukan kompromi. Akhirnya City dan PSG "hanya dihukum" denda dan pembatasan pemain (21 pemain) di Liga Champions.

Setelahnya, Football Leaks berhasil menemukan sejumlah dokumen yang membuktikan adanya praktik ilegal tersebut. Bersama EIC, mereka meretas aktivitas surat elektronik yang dikirimkan Infantino pada chairman Man City, Khaldoon Al Mubarak.

Selain itu, kasus ini pun mencatut nama mantan Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy. Pada 2010, saat pertemuan dengan Emir Qatar Tamim Bin Hammad Al Thani, Sarkozy mengintervensi dengan mengatakan bahwa Michel Platini akan diinstruksikan untuk menghadiahkan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 jika kesebelasan ibukota Perancis itu dibeli dan saluran televisi olahraga diluncurkan di Perancis (beIN Sports). Sejalan dengan itu, PSG dibeli Abu Dhabi Group pada 2011 dan Qatar dipastikan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.

Ketika dimintai reaksi oleh Mediapart, pihak City mengaku bahwa isu tersebut bagian dari upaya merusak reputasi kesebelasan. Di lain pihak, PSG menyatakan selalu mematuhi hukum dan peraturan secara ketat dan dengan tegas menyangkal tuduhan yang dilayangkan oleh Mediapart.

“Tidak, kami tidak takut dikeluarkan dari Liga Champions setelah berita dari Mediapart itu. Kami tenang, karena kami selalu transparan,” ucap Blanc, seperti dilansir ESPN.

Pada Agustus 2017, PSG mencatatkan pembelian pemain termahal dunia dengan menebus klausul pelepasan Neymar Jr. sebesar 222 juta euro. Di bursa transfer yang sama, PSG juga memboyong Kylian Mbappe dengan status pinjaman plus mahar 45 juta euro. Mbappe dipermanenkan pada musim berikutnya dengan tambahan dana sebesar 135 juta euro.

Man City, sementara itu, total menghabiskan hampir 600 juta euro dalam tiga musim terakhir. Jika PSG dan City sebenarnya mengalami kerugian seperti yang diungkap Football Leaks (218 juta euro dan 188 juta euro), seharusnya kedua kesebelasan tersebut tidak bisa melakukan transfer besar-besaran karena kerugian mereka jauh lebih membengkak dalam tiga musim terakhir dan melampaui batas batas FFP.

Kemungkinan Hukuman yang Bisa Diterima City dan PSG

Kasus ini seolah telah sampai di persimpangan jalan antara melanjutkan investigasi atau terhenti begitu saja. Namun seiring semakin meluasnya isu ini, tekanan publik akan membesar untuk mendorong UEFA mengusut tuntas kasus ini. Apalagi beberapa pihak mulai buka suara terkait hal ini.

"Saya mengatakan dua tahun lalu kalau PSG dan Manchester City curang sehingga itu tidak mengejutkan saya sama sekali. Sangat penting untuk UEFA melakukan sesuatu yang nyata mengenai ini. Ini sesuatu yang membuat struktur sepakbola dunia tidak seimbang. Anda harus menghukum tim-tim tersebut," ujar Presiden La Liga, Javier Tebas, mengomentari isu yang beredar kepada Goal International.

"Membuat mereka absen setahun dari Liga Champions akan mengirimkan pesan bahwa peraturan tersebut harus diikuti dengan serius. Ini bukan tentang menghukum PSG secara khusus, tapi menegakkan peraturan yang kami harapkan semua orang ikuti. Jika UEFA gagal bertindak, kami akan melakukan apa yang telah kami katakan sebelumnya; meluncurkan keluhan ke komisi Eropa," tambahnya.

City dan PSG pun jika terbukti bersalah, kemungkinan besar mereka tidak bisa berkompetisi di Liga Champions. Bahkan hukumannya bisa lebih berat mengingat pada 2014 keduanya juga sudah mendapatkan hukuman gara-gara melanggar FFP.

Dalam FFP sendiri, memang tidak menutup kemungkinan hukuman larangan bermain di Liga Champions bisa diberikan. Tapi selain itu, terdapat jenis hukuman lain seperti denda, pembatasan pendaftaran pemain, sampai larangan transfer. City dan PSG bisa dihukum lebih berat karena pernah mendapatkan hukuman gara-gara melanggar FFP.

Meski begitu, ada satu penyebab mengapa PSG dan City, juga mungkin kesebelasan lain, bisa berani mengakali FFP. Rob Wilson, ahli keuangan sepakbola, dan Dr. Borja Garcia, seorang dosen dalam kebijakan olahraga dan spesialis dalam hukum Eropa mengemukakan pendapatnya lewat Goal.

“Saya pikir, apa yang akan kita temukan sekarang adalah jika tuduhan ini terbukti dan bukti secara formal terungkap, maka apa yang kita lihat adalah UEFA harus mengambil posisi yang jauh lebih kuat untuk memberikan sanksi berdasarkan aturan yang ada. Sebab Man City dan PSG punya hak untuk menentang legalitas FFP [melakukan banding],” ujar Wilson.

Dr. Borja Garcia pun sependapat dengan Wilson. “UEFA tahu bahwa FFP berada di dasar hukum yang goyah dan kemudian UEFA harus mengambil keputusan, apakah mereka akan menjatuhkan hukuman yang ringan atau memberikan penalti berat dan siap pergi ke pengadilan dan mempertahankan sistem [FFP] yang ada.”

AC Milan yang sempat terbelit kasus serupa bisa dijadikan satu referensi. Mereka dinyatakan tak boleh bermain di Liga Europa 2018/19 akibat tak mematuhi regulasi FFP khususnya poin persyaratan “breakeven”. Namun banding yang dilakukan kepada Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) dikabulkan dan mereka bisa bermain di kualifikasi Liga Europa musim ini. Ini menunjukkan adanya kelemahan dalam aturan FFP sehingga kesebelasan-kesebelasan besar bisa terhindar dari hukuman berat.

Jika kasus ini berhasil diajukan ke Komisi Eropa (Commission of The European Communities) —Badan eksekutif Uni Eropa— Borja Garcnia menambahkan bahwa denda yang didapat bisa sangat berat dibanding denda dari UEFA. “Denda di Komisi Eropa tentang masalah kebijakan dan persaingan sangat, sangat berat. (Denda) ini bisa 10 persen dari omset klub.”

“Ada beberapa denda yang sangat berat dalam sejarah Komisi Eropa, seperti yang mereka kenakan pada perusahaan Google [3.9 miliar paun] dan Microsoft [900 juta euro dan 561 juta euro]. Komisi ini memiliki kekuatan untuk menjatuhkan denda yang sangat, sangat berat, yang tidak akan melucuti Manchester City dan PSG dari gelar apapun, tetapi yang akan sangat merusak ekonomi perusahaan,” tambahnya.

Kendati demikian, kemungkinan City dan PSG dihukum tergantung pada banyak faktor, salah satunya adalah diterimanya bukti yang dikumpulkan oleh Football Leaks dan hasil investigasi lain dari UEFA. Investigasi bisa terus berjalan, tetapi tanpa bukti kuat untuk mendukung tuduhan, City dan PSG dipastikan akan aman dari hukuman.

Baca juga seri Football Leaks lainnya di artikel: Football Leaks Beberkan Sisi Gelap Sepakbola

Komentar