Roda Nasib FC Twente

Cerita

by Redaksi 14

Redaksi 14

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Roda Nasib FC Twente

Pada Desember 2003, seorang miliuner bernama Joop Munsterman mengakuisisi kesebelasan asal kota kelahirannya yang sedang terancam bangkrut, FC Twente. Kesebelasan yang berdiri tahun 1953 ini merupakan kontestan liga sepakbola tertinggi di Belanda, Eredivisie.

Kedatangan Munsterman meletupkan asa bahwa Twente dapat lepas dari krisis finansial serta tumbuh dan berkembang jadi kesebelasan yang semakin kompetitif. Sejak duduk sebagai chairman anyar, Munsterman berulangkali mengatakan kalau dirinya berambisi untuk menjadikan Twente sebagai kesebelasan terbaik di Negeri Kincir Angin, menyaingi triumvirat Ajax Amsterdam, Feyenoord Rotterdam, dan PSV Eindhoven.

Tak sekadar pepesan kosong, Munsterman menunjukkan usaha masifnya guna mewujudkan ambisi liar tersebut. Berbagai aspek yang ada di tubuh kesebelasan, baik teknis maupun non-teknis, dibenahi.

Hasilnya pun ciamik karena The Tukkers jadi kesebelasan yang konsisten finis di papan tengah maupun atas Eredivisie. Bahkan di musim 2009/10, Twente menggegerkan jagad sepakbola usai memenangi Eredivisie untuk kali pertama sepanjang sejarah.

Di bawah asuhan Steve McClaren dan dihuni pemain-pemain seperti Luuk de Jong, Blaise Nkufo, Bryan Ruiz, dan Miroslav Stoch, Twente sanggup mengangkangi Ajax, Feyenoord, dan PSV. Jangan pula heran kalau realita tersebut acap dicatut sebagai salah satu kisah paling inspiratif dari ajang sepakbola.

Semusim berselang, satu silverware hadir lagi di Stadion De Grolsch Veste usai The Tukkers menjuarai Piala KNVB (dahulu disebut Piala Belanda) setelah menekuk Ajax via skor ketat 3-2.

Namun nahas, dongeng indah itu gagal dilanjutkan The Tukkers buat tempo yang lama. Ambisi kelewat edan yang Munsterman usung rupanya jadi masalah yang menggerogoti eksistensi kesebelasan dari dalam.

Mismanajemen yang dilakukan Munsterman akhirnya membawa Twente berkubang dengan masalah finansial sekali lagi. Hingga di Bulan Mei 2014, asosiasi sepakbola Belanda (KNVB), memasukkan kesebelasan yang berkandang di Stadion De Grolsch Veste ini ke daftar kesebelasan yang akan pailit.

Sialnya, langkah yang dibuat Munsterman guna mengatasi problem pelik ini kelewat berisiko. Tanpa disangka, dia memilih untuk bekerjasama dengan sebuah perusahaan keuangan asal Malta, Doyen Sports, sejak 2013. Munsterman berharap Doyen Sports mampu membantu mereka keluar dari krisis finansial yang mendera.

Akan tetapi, kerjasama yang melibatkan kedua kubu tidak muncul begitu saja. Sebagai syarat, Doyen Sports mengajukan Economic Rights Participation Agreement (ERPA). Akibat dari perjanjian tersebut, Twente yang memperoleh suntikan kudu melepas hak miliknya atas sejumlah pemain kepada Doyen Sports karena perusahaan asal Malta itu punya kendali atas kebijakan klub (berdasarkan ERPA yang disepakati).

Dalam dokumen yang diungkap Football Leaks, ada tujuh penggawa The Tukkers yang saat itu ‘dilego’ ke Doyen Sports. Mereka adalah Luc Castaignos, Kyle Ebecilio, Shadrach Eghan, Younes Mokhtar, Bilal Ould-Chikh, Quincy Promes, dan Dusan Tadic. Operasi ini sendiri dikenal sebagai Third-Party Ownership (TPO) di kancah sepakbola.

Penggila sepakbola tentu ingat proses kepindahan kontroversial Javier Mascherano dan Carlos Tevez dari Corinthians ke West Ham United medio 2006 silam. Alih-alih menyetor dana kepada Corinthians sebagai biaya transfer, nominal yang dikucurkan West Ham malah diterima oleh Media Sports Investments (MSI), sebuah firma investasi bikinan Kia Joorabchian.

Sebelumnya pada 2004, MSI membeli hak pengelolaan Corinthians sebesar 51% untuk jangka waktu 10 tahun. Bersamaan dengan itu, sejumlah pemain kondang macam Carlos Alberto, Mascherano, Rafael Moura, Gustavo Nery, Nilmar, dan Tevez direkrut Timao tapi hak kepemilikan mereka ada di tangan MSI.

Layaknya hubungan Corinthians-MSI, relasi Twente-Doyen Sports juga sangat njelimet. Hal ini terjadi karena Twente-Doyen Sports memiliki berbagai klausul terkait transfer, peminjaman, pertukaran, perpanjangan kontrak, habis kontrak, opsi jual kembali ke Twente (dimiliki Doyen Sports) sampai hal-hal yang bikin Castaignos, Ebecilio, Eghan, Mokthar, Ould-Chikh, Promes, dan Tadic pensiun dini.

Sebagai contoh, Tadic (dalam hal ini kita jadikan subyek) dipinjamkan Twente ke kesebelasan lain dan nilai peminjaman itu lebih besar dari gaji si pemain sehingga The Tukkers beroleh keuntungan, maka Doyen Sports mendapat persentase dari profit biaya peminjaman itu (dihitung berdasarkan kesepakatan ERPA yang dibuat sebelumnya). Fantastisnya, besaran persentase itu dapat menembus angka 50% dari keseluruhan profit yang diperoleh Twente!

Tatkala Tadic benar-benar dijual Twente ke Southampton lewat mahar senilai 13 juta euro, Doyen Sports pun mengepulkan duit dengan jumlah lumayan karena beroleh persentase transfer sebesar 10% alias 1,3 juta euro. Hal serupa lagi-lagi diperoleh Doyen Sports ketika Castaignos, Mokhtar, Ould-Chikh, dan Promes hijrah (tentu sesuai dengan harga jual masing-masing pemain).

Apa yang dilakukan Twente ini sudah melanggar regulasi yang dibuat KNVB dan induk organisasi sepakbola dunia, FIFA. Dua entitas tersebut memang melarang keterlibatan pihak ketiga (seperti Doyen Sports, MSI, dan lain-lain) dalam mengelola sebuah kesebelasan profesional.

Third-Party Ownership (TPO) tak ubahnya perdagangan manusia dengan sepakbola sebagai arenanya. Hal ini memicu pihak asing (macam Doyen Sports dan MSI) buat mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan dari proses transfer pesepakbola”, kecam Gordon Taylor, Chief Executive Professional Football Association (PFA) seperti dilansir The Observer.

Federasi sepakbola Eropa (UEFA) dan asosiasi pesepakbola profesional dunia (FIFPro) bahkan sudah meminta European Commision untuk melarang adanya TPO di kancah sepakbola sebab itu tak ubahnya sistem perbudakan di era modern.

Gara-gara ERPA dengan Doyen Sports ini pula, Twente yang berniat mengantongi keuntungan dari transfer pemain, malah nyaris tak mendapat apa-apa.

Alhasil, situasi finansial mereka pun semakin ambruk di musim 2014/15 sehingga The Tukkers kudu memecat 18 orang stafnya, menarik keikutsertaan Jong Twente dari Eerste Divisie (divisi kedua Liga Belanda) sampai menghentikan aktivitas departemen pencari bakat. Munsterman sendiri angkat kaki dari kesebelasan secara resmi pada April 2015. Di saat bersamaan, federasi sepakbola Belanda juga menghukum Twente dengan tidak boleh berlaga di kompetisi Liga Champions atau Liga Europa UEFA selama tiga musim.

Dari kesebelasan yang hampir bangkrut lalu jadi juara Eredivisie dan akhirnya bangkrut lagi adalah gambaran nyata Twente dalam rentang satu setengah dekade pamungkas.

Gunungan masalah yang mendera The Tukkers itu mengakibatkan mereka jadi kesebelasan yang sangat tidak kompetitif sehingga finis di posisi buncit Eredivisie 2017/18 dan kini mesti ikhlas berlaga di Eerste Divisie.


Baca juga seri Football Leaks lainnya: Football Leaks Mengungkap Sisi Gelap Sepakbola

Komentar