Tangan-tangan yang Mengucilkan Dotchev

Cerita

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Tangan-tangan yang Mengucilkan Dotchev

Kehidupan seseorang bisa berubah ketika ia mengalami sebuah peristiwa besar. Semisal saat negaranya dilanda perang hebat, atau ketika kampung halamannya diserang wabah mematikan.

Namun dunia sungguh penuh dengan segala kemungkinan. Tak perlu peristiwa sebesar itu untuk mengubah kehidupan seseorang. Sebuah gol di pertandingan sepakbola saja ternyata mampu memutar kehidupan seseorang hingga 180 derajat. Aku berani mengatakan demikian karena aku mengalaminya secara langsung.

Segalanya tak lagi sama sejak gol itu. Sementara pembagian sejarah waktu dunia—sebelum Masehi dan setelah Masehi—berporos pada kelahiran Isa Almasih, pembagian babak kehidupanku berporos pada kelahiran gol itu.

Namaku Bogdan Dotchev. Aku lahir di Varna, Bulgaria, 26 Juni 1935.

Sebelum gol itu tercipta, hidupku begitu lekat dengan sepakbola. Pada 1960-an aku sempat bermain sebagai penyerang di sebuah klub yang berlaga di Divisi Utama Liga Bulgaria. Ketika usiaku sudah mulai menua, aku tak ingin lepas dari dunia sepakbola. Aku pun memutuskan untuk melanjutkan karier sebagai wasit.

Tepatnya pada 1977, aku dimasukkan ke dalam daftar wasit internasional FIFA. Aku bangga dengan pencapaianku. Ini artinya aku akan menjadi salah satu di antara 38 wasit yang diberangkatkan ke Spanyol untuk bertugas di Piala Dunia 1982.

Pertandingan antara Italia dan Kamerun di Grup 1 menjadi pertandingan Piala Dunia perdana yang kupimpin. Aku menyaksikan bagaimana penyerang mahsyur Kamerun, Roger Milla, bertarung dengan penjaga gawang tangguh Italia, Dino Zoff.

Tugas keduaku di Piala Dunia 1982 adalah laga besar: Italia kontra Brasil. Kali ini aku tidak bertugas sebagai wasit utama, tetapi hakim garis. Italia memenangi pertandingan itu. Trigol Paolo Rossi hanya mampu dibalas dua gol oleh Socrates dan kolega.

Selama bertugas di Spanyol 1982, aku mendengar satu nama yang cukup sering dibicarakan orang-orang: Diego Armando Maradona. seorang pemuda berbakat asal Argentina yang bermain untuk Boca Juniors. Saking berbakatnya pemuda itu, tersiar kabar Barcelona sangat tertarik meminangnya.

Isu itu terbukti bukan isapan jempol belaka. Begitu selesai tugasnya membela Argentina di Piala Dunia, Maradona pindah ke Barcelona. Nilai transfernya memecahkan rekor dunia saat itu: 5 juta paun.

Empat tahun berselang aku kembali ditugaskan memimpin beberapa pertandingan Piala Dunia 1986. Kali ini Meksiko tuan rumahnya.

Setelah bertugas sebagai wasit utama di pertandingan fase grup antara Paraguay dan Belgia aku kembali mendapat tugas di laga besar: pertandingan Argentina kontra Inggris di perempat final. Sama seperti di pertandingan besar empat tahun lalu, aku ditugaskan sebagai hakim garis di laga ini.

Di pertandingan inilah aku benar-benar melihat langsung kehebatan Maradona. Pemuda yang empat tahun lalu banyak dibicarakan orang itu kini semakin populer. Ia telah memenangi beberapa gelar bergengsi bersama Barcelona di Spanyol.

Di pertandingan melawan Inggris, beberapa kali ia menyuguhkan aksi memukau dengan meliuk-liuk melewati hadangan para pemain lawan. Posturnya yang mungil sangat membantunya untuk menyelinap di antara pemain-pemain Inggris yang tinggi menjulang.

Pertandingan berjalan lancar, setidaknya sampai turun minum. Di babak kedua lahir sebuah gol yang mematikan karierku. Tak hanya itu, gol tersebut juga mengubah seluruh kehidupanku. Pencetak gol itu tiada lain adalah Diego Maradona.

Maradona, yang menguasai bola di lapangan tengah, masuk ke area pertahanan Inggris dengan melewati tiga orang pemain. Ia kemudian mengoper kepada Jorge Valdano, namun kontrol rekannya itu tak sempurna. Bola kemudian disapu Steve Hodge, namun sapuannya mengarah kepada Maradona.

Aku kemudian melihat Maradona melompat untuk mejangkau bola dengan tangannya. Ia berhasil. Bola berakhir di gawang Peter Shilton.

Para pemain Inggris mengangkat tangan karena itu hands-ball. Aku pun melihatnya. Namun rekanku yang bertugas sebagai wasit utama, Ali Bin Nasser, mengesahkan gol itu seraya berlari ke tempat sepak mula.

Namun sembari berlari ke tengah lapangan Nasser beberapa kali menengok ke arahku. Aku merasakan betul keraguannya, tapi ia sama sekali tak menghampiriku untuk mengatakan sesuatu. Aku sangat gugup. Aku tak bisa berinisiatif menghampiri Nasser untuk mengatakan apa yang aku lihat, karena peraturan tak mengizinkan. Aku hanya bisa berkomunikasi dengan Nasser jika ia sendiri yang meminta pendapatku. Alhasil, aku mengikuti langkah Nasser kembali ke tengah lapangan.

Usai pertandingan, barulah segalanya terungkap. Melalui seorang penerjemah aku mengatakan segalanya kepada Nasser. Di hotel tempatnya menginap, Nasser melihat kembali tayangan ulang gol itu. Nasser sangat sedih atas keputusan keliru yang dibuatnya, yang mana aku juga terlibat di dalamnya.

Dunia turut geger dibuatnya. Banyak media melabeli gol itu sebagai “skandal besar abad ini”.

Sebagai salah satu orang yang terlibat di dalamnya, aku langsung terkena imbasnya.

Aku tak lagi dipercaya FIFA bertugas di Piala Dunia. Karierku sebagai wasit hancur. Yang lebih menyakitkan, aku mulai dijauhi banyak orang ketika pulang ke Bulgaria.

Alih-alih rangkulan, yang mereka berikan justru telunjuk yang diarahkan kepadaku. Beberapa dari mereka menyebutku pengkhianat bangsa. Aku seakan menjadi musuh bersama di negeriku sendiri.

Aku tak kuat menanggung semua itu. Aku memutuskan pindah ke sebuah desa kecil di Bulgaria, untuk mendinginkan kepala dan memulai kehidupan baru.

Sementara aku mengucilkan diri agar bisa hidup tenang, Nasser menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda. Tak seperti aku yang malang, kehidupan Nasser baik-baik saja setelah pertandingan itu. Ia bahkan sempat mendapatkan jabatan terpandang, sebagai Komite Teknik Sepakbola di negaranya, Tunisia.

Tak seperti aku yang menerima caci maki dari banyak orang, Nasser dengan mudah dimaafkan. Mungkin berkat dalihnya usai pertandingan yang menyebut bahwa ia sedang menjalani perawatan penyakit wasir, yang menyebabkan pandangannya sedikit terganggu.

Ketika pertandingan itu sudah lewat 15 tahun, Nasser mengeluarkan sebuah pernyataan yang seolah-olah melimpahkan seluruh kesalahan kepadaku. Ia berkata: “Usai Maradona mencetak gol, aku sempat ragu untuk beberapa saat. Tetapi aku melihat Dotchev berlari ke tengah lapangan. Karena posisi Dotchev lebih baik dariku, aku memilih untuk percaya dengan keputusannya.”

Pertama, karierku sebagai wasit hancur. Kedua, seisi negara memusuhiku. Ketiga, satu-satunya orang yang harusnya sama bertanggung jawabnya denganku, melimpahkan semua kesalahan padaku. Lengkap sudah.

Komentar