Kante yang Rendah Hati dengan Kontribusi Tinggi

Cerita

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kante yang Rendah Hati dengan Kontribusi Tinggi

Adalah benar bahwa N’Golo Kante tampil kurang maksimal di pertandingan final Piala Dunia 2018. Di menit ke-55, Didier Deschamps menggantinya dengan Steven N’zonzi. Akan tetapi terlepas dari itu, peran Kante untuk Perancis selama pergelaran Piala Dunia tetaplah besar. Mungkin Perancis tak akan sampai final jika lini tengah mereka tak dikawal oleh Kante.

Bersama Antoine Griezmann, Raphael Varane, dan Lucas Hernandez, Kante merupakan pemain yang selalu diturunkan Deschamps di setiap pertandingan selama Piala Dunia. Hal itu cukup untuk menunjukkan vitalnya peran Kante di lini tengah Les Bleus.

Sebagai gelandang bertahan, Kante merupakan pemain yang paling banyak melakukan intersep dibandingkan rekan-rekan satu timnya—rata-rata 2,9 kali per pertandingan. Daya jelajah yang tinggi juga menjadi keunggulan Kante dalam meredam setiap serangan lawan di tengah lapangan.

Saking tingginya daya jelajah pemain keturunan Mali itu, Marcel Desailly sampai berkelakar dengan berkata: “Jika 70 persen bumi ditutupi oleh air, maka sisanya akan ditutupi oleh N’Golo Kante.”

Mengingat kontribusi besar yang telah diberikannya untuk Perancis itu, sewajarnya Kante bisa mendapat giliran kedua atau ketiga untuk mencicipi bagaimana rasanya merangkul trofi Piala Dunia, saat Perancis melakukan seremoni perayaan. Namun kenyataannya tidak demikian.

Setelah sang kapten, Hugo Lloris, mengangkat trofi tinggi-tinggi, ia menyerahkannya kepada Olivier Giroud. Benjamin Mendy kemudian menjadi orang ketiga yang memegang dan mencium trofi Piala Dunia. Kante, sementara itu, tak terlihat di mana keberadannya.

Tubuhnya yang relatif pendek (dengan tinggi 1,68 meter), membuatnya tertutupi oleh kerumunan rekan satu timnya. Kante baru mulai terlihat ketika tensi perayaan sudah menurun. Ia berdiri di dekat Steven N’Zonzi.

Sadar bahwa sedari tadi Kante belum memegang trofi, N’Zonzi kemudian mengambil trofi itu dari Florian Thauvin dan menyerahkannya kepada Kante. Trofi itu diterima Kante dengan sedikit gugup. Kemudian ia dipersilakan oleh teman-temannya untuk berfoto bersama trofi yang menjadi dambaan setiap pesepakbola itu.

Kante pun berpose sambil mengangkat jempol tangan kirinya. Senyum mengembang dari bibirnya, namun kesan kaku tak dapat disembunyikannya.

Di balik penampilannya yang memukau di atas lapangan, Kante adalah sosok pendiam dan pemalu. Andai saja N’Zonzi tak ingat bahwa Kante belum mendapat giliran memegang trofi, mungkin Kante tak akan pernah mendapat gilirannya malam itu. Karena untuk sekadar minta izin saja, lidahnya akan kelu.

Sifat yang Sudah Dimiliki Sejak Dahulu

Kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte, punya postur yang relatif pendek. Tinggi badan yang berkisar 1,69 meter, membuatnya mendapat julukkan “Kopral Kecil”. Semasa zaman Napoleon, pernah timbul sebuah stereotip yang meyakini bahwa orang pendek akan selalu mencari kompensasi untuk menutupi kekurangan fisiknya. Bentuk kompensasi itu bisa berupa-rupa macamnya. Dari mulai berperilaku agresif, sombong, merasa diri paling jago, dan lain-lain.

Namun sebuah pengecapan atau stereotip—terhadap hal apa pun itu—selalu cenderung lebih banyak salahnya daripada benarnya. Sebab apa yang berlaku untuk sebagian, belum tentu berlaku untuk keseluruhan. Stereotip bahwa orang pendek cenderung suka bertingkah berlebihan untuk mendapat perhatian, juga tidak terbukti pada diri N’Golo Kante.

Sifat rendah hati yang kemudian tercermin dalam pembawaannya yang pendiam dan pemalu, sudah ada dalam diri Kante jauh sebelum ia menjadi bintang seperti saat ini. Itu artinya, Kante tidak pernah coba merendah untuk meninggi. Ia tidak sedang berpura-pura rendah hati di tengah kepopulerannya, hanya untuk semakin mendapat respek dan puja-puji dari banyak orang. Memang seperti itulah adanya Kante.

Eric Vandenablee, rekan satu tim Kante saat masih membela tim divisi enam Liga Perancis, Boulogne, bercerita bahwa Kante sebenarnya tak pernah bercita-cita menjadi pemain bintang. Kante hanya berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik pada pekerjaan yang ditekuninya.

“N’Golo tak pernah bercita-cita menjadi pemain bintang,” ujarnya kepada FourFourTwo. “Bahkan hari ini ia (Kante) tidak terganggu dengan ketenaran yang dimilikinya. Ia hanya ingin melakukan yang terbaik.”

Vandenabeele juga ingat ketika pada suatu hari, ia menyaksikan pertandingan Liga Champions bersama Kante. Vandenabeele kemudian berkata, “Kamu akan main di sana suatu hari nanti.” Kante menanggapinya dengan senyum malu-malu sambil berkata, “Tidak mungkin. Tidak akan ada kesempatan.”

Selama bermain untuk tim amatir Boulogne itu, Kante lebih memilih menghabiskan waktunya dengan belajar daripada pergi ke klub malam usai berlatih. Saat itu, Kante menempuh studi akuntansi dan berhasil meraih gelar diploma.

“Kante tidak banyak bersosialisasi. Ia lebih suka menyendiri, dan jarang pergi ke pesta,” kenang Vandaneblee.

Pernyataan itu diamini oleh Tomasz Bzymek, pelatih JS Suresnes—sebuah tim amatir lain yang pernah dibela Kante.

“Setelah latihan, Kante akan langsung kembali ke rumah. Ia tidak pergi ke pesta atau jalan-jalan.”

Saat sudah menjalani karier profesional di Caen, gaya hidupnya yang tak neko-neko tetap terjaga. Dikisahkan oleh bekas pelatihnya, Piotr Wojtyna, Kante selalu datang ke tempat latihan menggunakan motor, sementara kebanyakan rekan-rekannya selalu mengendarai mobil mewah ke tempat latihan. Kante baru membeli mobil sesudah mendapat izin dari ibunya. Itu pun hanya mobil Renault bekas.

***

Banyak pesepakbola yang tak mampu mengontrol gaya hidup mereka saat sedang berada di puncak karier. Tak jarang hal itu berimbas kepada percepatan redupnya karier si pemain yang bersangkutan.

Kante adalah pengecualian. Sifatnya yang bersahaja dan tidak neko-neko akan membuat kariernya yang cerah saat ini, semakin benderang di masa depan.

Komentar