Menua, Namun Tak Minim Asa

Cerita

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Menua, Namun Tak Minim Asa

Sejarah tercipta di Volgograd Arena. Di stadion berkapasitas 45.568 penonton itu penjaga gawang Mesir, Essam El-Hadary, tampil di ajang sepakbola paling bergengsi: Piala Dunia. El-Hadary yang sudah berusia 45 tahun pun menorehkan rekor sebagai pemain tertua yang pernah tampil di ajang empat tahunan tersebut.

Adalah benar bahwa El-Hadary baru diturunkan Hector Cuper pada pertandingan terakhir Mesir di fase grup, dan mereka sudah dipastikan tersingkir dari Piala Dunia. Mungkin sekelompok orang menganggap diturunkannya pemain veteran itu tidak lebih dari sekadar hiburan, untuk memberinya kesempatan mencicipi Piala Dunia. Akan tetapi penampilan yang ia tunjukkan sepanjang pertandingan melawan Arab Saudi sama sekali tak bisa dianggap seremeh itu.

Arab Saudi tampil lebih dominan dibanding Mesir. Total 23 percobaan tembakan dilakukan oleh mereka, sementara Mesir hanya melakukan 7 kali percobaan. El-Hadary tercatat melakukan enam penyelamatan penting terhadap tembakan-tembakan yang mengarah ke gawangnya. Lima dari enam tembakan itu bahkan dilakukan dari dalam kotak penalti Mesir. Salah satu yang terbaik adalah saat ia menggagalkan eksekusi penalti Fahad Al-Muwallad pada menit ke-41.

Namun semua penampilan baik yang ditunjukkannya itu tak berakhir manis seiring buruknya hasil pertandingan: Mesir kalah 1-2 akibat gol Salem Al-Dawsari di pengujung laga.

Di Piala Dunia pertama setelah 28 tahun absen, Mesir pulang tanpa menang sekali pun.

Tak ada yang bisa menjamin Mesir akan lolos ke Piala Dunia 2022, sebagaimana tak ada yang bisa menjamin El-Hadary masih bisa bermain untuk Mesir andai mereka lolos ke Qatar. Satu yang terjamin: El-Hadary akan terus berusaha dan berlatih keras semampunya, agar tetap bisa bermain untuk negaranya. Usianya boleh menua, namun semangat El-Hadary tak mudah reda.

***

“Aku bukan seseorang yang terlahir dengan banyak kemewahan, tetapi Tuhan memberkatiku dengan satu sifat menonjol: Dia menciptakanku sebagai orang yang rajin,” ucap El-Hadary, dikutip dari The Players Tribune.

Kisah hidup El-Hadary adalah kisah tentang kegigihan yang tak kenal lelah. Pria yang menghabiskan masa kecilnya di sebuah kota kecil bernama Kafr Al Battikh ini selalu berusaha keras untuk meraih apa yang ia inginkan.

Saat El-Hadary berusia 12 tahun, bakatnya sebagai penjaga gawang menarik perhatian sebuah klub lokal Mesir bernama Damietta SC. Tak butuh waktu lama bagi El-Hadary untuk menerima tawaran bergabung dengan tim muda Damietta.

Ada satu masalah: tempat tinggal El-Hadary di Kafr Al Battikh berjarak 7 km dari tempat berlatihnya di Kota Dimyath, dan El-Hadary tak punya cukup uang untuk biaya transportasi setiap hari. Mau tidak mau, El-Hadary harus bekerja agar bisa menghasilkan uang sendiri.

“Mulailah aku bekerja. Aku melakukan dua sampai tiga bidang pekerjaan dalam satu waktu. Pada satu waktu, aku bahkan pernah bekerja sebagai tukang kayu.”

Pengorbanannya bersitungkin dan berkeringat lebih banyak tak sia-sia. Selain bisa mengongkosi perjalanannya ke Dimyath, uang hasil kerjanya juga cukup untuk membeli sepatu sepakbola baru. El-Hadary mulai menghasilkan uang sebagai pesepakbola sejak usia 17 tahun, setelah Damietta mengangkatnya ke tim senior dan mengontraknya secara profesional.

Satu tahun berlaga di Divisi Kedua bersama Damietta, El-Hadary berhasil membawa timnya promosi ke Liga Primer Mesir. Penampilan memukaunya di bawah mistar mulai jadi perbincangan banyak orang. Tak lama berselang panggilan untuk membela Tim Nasional Mesir pun datang dari asisten pelatih timnas saat itu, Mohsen Saleh.

Bersama Tim Nasional Mesir El-Hadary sudah memenangi segalanya di level benua. Mesir dibawanya menjuarai Africa Cup of Nations tiga kali berturut-turut (2006, 2008, dan 2010). Tinggal satu yang ia dambakan namun belum kunjung ia dapatkan: membawa Mesir lolos ke Piala Dunia.

“Ayahku yang telah meninggal dunia pernah berkata bahwa ia ingin melihatku bermain di Piala Dunia,” ujarnya kepada media sepakbola Mesir, Kingfut. “Dan aku ingin membuat ayahku bangga.”

Harapan El-Hadary semakin tinggi ketika pelatih berpengalaman, Hector Cuper, datang untuk menukangi Tim Nasional Mesir pada 2015. El-Hadary mengaku langsung memiliki firasat bahwa di tangan pelatih berkebangsaan Argentina inilah Mesir akan kembali lolos ke Piala Dunia.

“Sebuah suara di dalam kepalaku langsung berkata, ‘Mungkin bersama Cuper dan semua pemain ini, Mesir akan kembali ke Piala Dunia.’”

Masalahnya, usia El-Hadary ketika Cuper datang sudah tak lagi muda—sudah 42 tahun. Alhasil harapannya terbentur kenyataan pahit: ia tak pernah lagi mendapat panggilan membela tim nasional. Di titik inilah karakter gigih El-Hadary kembali tampak.

Ia berlatih keras dan berusaha selalu menampilkan permainan terbaik bersama klub yang dibelanya, Wadi Degla. El-Hadary juga mengubah cara pandangnya menjadi seorang yang selalu lapar akan prestasi, seperti para pemain yang masih berusia 20 tahun. Semua itu berbuah manis: El-Hadary dipanggil kembali oleh Timnas Mesir.

“Tentunya bukan sebagai penjaga gawang utama, melainkan sebagai pilihan ketiga atau keempat. Tetapi aku senang,” ujarnya.

Seluruh mimpi yang telah lama mengendap dalam diri El-Hadary akhirnya menemukan bentuknya pada suatu malam di bulan Oktober 2017. Di bawah tatapan lebih dari 85 ribu pendukung Mesir yang memadati Borg El Arab Stadium, Mesir mengalahkan Kongo dengan skor 2-1 dan dengannya lolos ke Piala Dunia 2018. Gol kemenangan Mesir dicetak Mohamed Salah lewat tendangan penalti pada masa tambahan waktu babak kedua. Dramatis. Beruntungnya El-Hadary terlibat langsung dalam peristiwa yang mungkin tak akan pernah ia lupakan itu.

“Aku memanjat ke atas mistar gawang [usai gol Salah]. Dan pemandangan yang aku saksikan sejauh pandang disapukan, adalah yang terbaik. Aku sangat bangga. Aku seakan ingin meledak. Mesir sudah menunggu momen seperti ini selama 28 tahun.”

El-Hadary pun ingin penantian panjang itu menjadi berarti dengan berjanji memberikan penampilan terbaik ketika tampil di Rusia nanti. Semua dilakukan untuk membuat seluruh rakyat Mesir bangga dan berbahagia.

“Tentu Anda tak bisa memprediksi secara presisi akan seperti apa Mesir di Piala Dunia nanti. Tetapi aku berjanji bahwa kami akan berusaha sebisa mungkin untuk membuat masyarakat Mesir bangga. Mudah-mudahan ini akan jadi sebuah penantian yang berarti.”

***

Kini semua telah sama-sama tahu Mesir tak bisa berbuat banyak di Piala Dunia 2018. El-Hadary dan kawan-kawannya tersingkir tanpa mengantongi satu pun poin. Namun itu tak berarti akhir dari segalanya bagi El-Hadary.

Dengan karakter yang gigih dan selalu giat bekerja keras, kesempatan untuk bisa membawa Mesir ke Piala Dunia selanjutnya sangat terbuka. Tidak hanya itu, kesempatan El-Hadary untuk bisa turun bertanding bersama Mesir di Piala Dunia selanjutnya juga masih ada. Tak peduli walau nanti usianya sudah menginjak 49 tahun. karena seperti yang pernah ia katakan, “Umurku 45 tahun, tapi buatku ini hanya sebatas angka di atas kertas.”

Filsuf asal Denmark, Soren Kierkegaard, pernah berkata: “Life can only be understood backwards, but it must be lived forwards.” Kalimat tersebut rasanya cocok disodorkan kepada El-Hadary di usia tuanya saat ini, agar tetap bergairah dalam menjalani kariernya. Bahwa karakter El-Hadary yang di masa lalunya selalu penuh dengan semangat dan kegigihan dalam meraih mimpinya, perlu dijadikan pembelajaran untuk dirinya sendiri agar bisa menyongsong lagi mimpi masa depan: kembali tampil bersama Mesir di Piala Dunia.

Komentar