Tak Lagi Murka

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Tak Lagi Murka

“Apalah arti sebuah nama”, tulis William Shakespeare dalam naskah drama Romeo dan Juliet. Jika sebuah nama tidak begitu berarti, apalagi sebuah julukan. Namun bagi Tim Nasional Spanyol, julukan yang disematkan kepada mereka berhubungan langsung dengan penampilan, teknik, dan gaya bermain.

Pada dekade 70-an dan 80-an Tim Nasional Spanyol terkenal karena gaya bermain langsung, menekan, dan mengandalkan kekuatan fisik. Tak jarang para pemain Timnas Spanyol tampil sradak-sruduk ketika bola tidak dalam penguasaan mereka. Hal itu membuat mereka tampak seperti banteng yang marah, sehingga publik Spanyol menjuluki timnasnya “La Furia Roja”—Si Merah yang Murka.

“Jika menengok ke masa 1980-an, jika melihat kembali cara Athletic Bilbao dan Real Sociedad bermain, ada jejak yang nyata tentang sebuah pertempuran. Mereka adalah orang-orang Spanyol yang bermain sangat keras, seolah mereka dicangkok dari era fisik sepakbola Inggris,” ujar jurnalis yang berbasis di Spanyol, Graham Hunter, kepada thesefootballtimes awal Mei lalu.

Saya coba membuktikan hal itu dengan menonton pertandingan Spanyol pada Piala Dunia 1982 melalui YouTube. Dari tiga pertandingan kualifikasi grup, Spanyol hanya mencetak sebanyak tiga gol; seluruhnya berasal dari bola mati—dua dari tendangan penalti dan satu dari sepak pojok.

Lalu datanglah sosok bernama Johan Cruyff. Pria asal Belanda itu dipercaya menukangi Barcelona pada 1988. Yang terjadi setelahnya mengubah wajah sepakbola Spanyol secara drastis.

Cruyff menerapkan gaya main sepakbola yang belum pernah ada di Spanyol. Dia mengadaptasi Total Football ala Belanda ke dalam sistem 3-4-3 yang revolusioner. Hasilnya, Barcelona meraih 11 gelar juara hanya dalam delapan musim. Tak heran, media-media menyematkan julukan “Dream Team” kepada Barcelona dan Cruyff.

“Pengaruh yang dibawa oleh Cruyff ke sepakbola Spanyol sangat besar. Ada kesadaran, kecemburuan dan kemauan untuk beradaptasi dengan kecerdasan, teknik dan retensi bola, yang bersumber dari “Dream Team” sejak 1989 dan seterusnya. Tim, pelatih, dan anak-anak muda di seluruh negeri seolah berkata, ‘begitulah cara saya ingin bermain, itulah yang saya kagumi,’” kenang Hunter yang mengaku masih sering menonton video rekaman pertandingan-pertandingan Barcelona era Cruyff.

Terinspirasi kejeniusan Cruyff, budaya sepakbola Spanyol seketika itu juga mengalami transformasi. Ada pergeseran identitas. Dari La Furia Roja menjadi La Roja saja. Para pemain Tim Nasional Spanyol mulai berani menguasai bola lebih lama. Dan saat kehilangan bola, mereka tidak lagi tampil sradak-sruduk. Tidak itu saja. Transformasi terjadi bukan hanya di lapangan, melainkan juga di luarnya.

Dalam sebuah buku berjudul, “Spain: The Inside Story of La Roja’s Historic Treble”, terdapat pengetahuan tentang bagaimana federasi sepakbola Spanyol mengaplikasikan “demam Cruyff” terhadap timnas dengan menggunakan keajaiban angka 55. Tiap bulan Juli, seorang Meléndez (sebutan untuk manajer inferior) beserta staf dan 19 pemandu bakat regional, mengadakan pertemuan untuk menyetujui daftar anak usia 14 dan 15 tahun terbaik di negara itu. Jumlahnya harus 55.

Ke-55 pemain tersebut akan dikarantina selama tiga hari setiap bulannya. Lokasinya di pemusatan latihan nasional. Hal ini memungkinkan mereka untuk belajar bagaimana cara Timnas Spanyol bermain, sekaligus membentuk mereka sebagai pemain dan sebagai manusia.

Nantinya setiap Januari, 55 anak tadi akan diseleksi menjadi 33 nama. Dengan catatan harus ada tiga pemain terbaik di setiap posisi (misalnya kiper, bek, dan striker) untuk ikut dalam turnamen kompetitif. Adapun sistem dengan “keajaiban angka 55” ini juga diduplikasi oleh kelompok lain seperti U-16, U-17, dan U-19. Konsistensi inilah yang mengakibatkan Spanyol selalu mampu mencetak pemain-pemain berkualitas.

“Pemain Spanyol akan terus-menerus ditempa terkait apa yang harus dilakukan dalam kepemilikan bola dan ketika mereka kehilangan itu. Bagaimana dan kapan harus menekan dan berapa jarak yang dibolehkan antara garis pertahanan, lini tengah, dan serangan. Porsi latihan yang cukup berat adalah saat memindahkan atau mengoper bola dengan cepat; yang berarti setiap pemain harus berhubungan dengan rekan-rekan di sekitarnya yang akan membentuk segitiga mereka sendiri. Hal itu bertujuan untuk mendapatkan keunggulan numerik dalam situasi pertandingan,” kata Hunter selaku penulis buku tersebut.

Menarik bagaimana Spanyol sangat fokus pada keunggulan numerik alias statistik dalam pertandingan. Bagi mereka, statistik itu penting alih-alih bikin pening. Maka tak heran jika Spanyol bertanding, kita akan menyaksikan angka penguasaan bola yang lebih tinggi dari lawan, jumlah operan yang lebih banyak, dan kaki-kaki yang menjelajahi area lapangan lebih luas. Semua itu dilakukan untuk keunggulan numerik yang diharapkan akan mengantarkan mereka ke hasil positif berupa kemenangan.

Ambisi sepakbola Spanyol agar selalu unggul secara statistik dalam setiap pertandingan bukan sesuatu yang dipaksakan. Bahkan hal itu seharusnya bukan menjadi ambisi lagi karena anak-anak di Spanyol memang terbiasa main dari kaki ke kaki lewat operan-operan sederhana.

“Dalam pertandingan berskala kecil atau biasa disebut futsal, anak-anak umumnya bermain dengan bola yang sangat berat. Hal ini membuat mereka tak bisa menendang jauh. Lantas, apa yang mereka lakukan? Anak-anak akan belajar untuk mengendalikan bola, menghasilkan trik-trik demi melewati hadangan teman-temannya, dan bekerja sama untuk melakukan satu-dua sentuhan,” ungkap Hunter dalam bukunya.

Pada Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, Spanyol memamerkannya. Spanyol selalu mampu mengakhiri pertandingan dengan keunggulan penguasaan bola. Para penonton yang menyaksikan langsung di stadion maupun lewat layar kaca seolah tersihir oleh olah bola yang aduhai. Akurasi operan, trik-trik mengubah arah bola, dan satu-dua sentuhan diperagakan dengan sempurna.

Namun bukan berarti lawan-lawan Spanyol tak pernah mengontrol bola. Hanya saja, ketika lawan sedang menguasai bola, yang dilakukan para pemain Spanyol adalah mempersempit ruang sehingga bola tidak bisa mengalir. Mereka tak lagi sradak-sruduk seperti banteng yang sedang marah ketika kehilangan bola. Mereka tak lagi bertindak seperti senior-senior mereka dulu.

Sejak 1995, Real Federacion Espanola de Futbol (RFEF) memprioritaskan pembinaan sepakbola tingkat tinggi, melalui program nasional. Sinergi antara federasi dengan pemerintah dilakukan demi memastikan talenta-talenta muda berbakat dari seluruh wilayah memiliki akses ke sumber daya yang diperlukan, terutama metodologi pelatihan yang berkualitas. Menerapkan kebijakan “keajaiban angka 55” jadi salah satu metode yang terbukti sukses. Dikatakan sukses karena sejak hari itu, trofi mulai berdatangan dan menghiasi kabinet RFEF.

Sejak transformasi gaya permainan dimulai pada 1995, Spanyol sudah meraih sebanyak 21 trofi. Pada kompetisi Euro U-17, Spanyol sudah melangkah ke final sebanyak 11 kali dan menang 6 kali. Di level U-19, Spanyol sudah 10 kali ke final dan hanya dua kali kalah. Di kelompok U-21, Spanyol sudah merengkuh trofi sebanyak tiga kali.

Kehebatan anak-anak muda Spanyol tidak berhenti hanya di level Eropa saja. Prestasi mereka juga menjalar ke level internasional. Pada turnamen Piala Dunia U-20, Spanyol pernah menjadi juara pada 1999. Iker Casillas dan Xavi tercatat pernah berada di dalam skuat juara waktu itu. Kedua nama itu juga yang kemudian mengantarkan Spanyol menjadi juara dunia di Afrika Selatan.

Pada Piala Dunia 2018 nanti, Spanyol datang ke Rusia dengan pelatih baru. Namun gagasan mereka tentang menguasai bola dan keunggulan numerik tetaplah sama. Sebagai orang Spanyol, Lopetegui memahami filosofi sepakbola negaranya. Tidak heran jika kemudian dia telah menghidupkan kembali tim tanpa harus memulai lagi dari awal.

Spanyol boleh dibilang gagal pada Piala Dunia 2014 di Brasil dan Euro 2016 di Prancis. Alih-alih “membuang” pemain yang tampil buruk lalu menggantinya dengan yang lebih baik, Lopetegui justru mempertahankan nama-nama yang pernah berada di titik terendah. David de Gea, Sergio Ramos, Gerard Pique, Jordi Alba, Sergio Busquets, Andres Iniesta, dan David Silva adalah tujuh pemain yang menjadi saksi tersingkirnya Spanyol di Euro 2016 oleh Italia dengan skor 2-0. Namun di bawah arahan Lopetegui, tujuh pemain itu menjelma pemain kunci pada kualifikasi Piala Dunia.

Wajar jika kemudian rumah-rumah judi kembali menjagokan Spanyol pada Piala Dunia 2018. Spanyol siap menjaga keunggulan numerik mereka sebagai upaya untuk meraih kemenangan. Mereka akan tampil dengan gaya permainan khas Spanyol yang bertumpu pada langkah-langkah kecil dan operan-operan pendek.

Komentar