Meraih Puncak Karier Berkat Sang Ayah

Cerita

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Meraih Puncak Karier Berkat Sang Ayah

Hari itu tanggal menunjukkan 4 Maret 2016. Fiorentina menjalani pertandingan tandang melawan AS Roma dalam lanjutan Serie A 2015/16.

Menghadapi AS Roma di kandang sendiri, Fiorentina tampak kesulitan. Baru 25 menit laga berjalan, mereka sudah tertinggal dari Roma lewat gol yang dijaringkan Stephan El Shaarawy dan Mohamed Salah.

Situasi menjadi semakin suram bagi Fiorentina jelang laga berakhir. Gelandang muda berbakat yang dimiliki mereka, Matias Vecino, harus menepi dari lapangan hijau dikarenakan cedera otot yang dideritanya.

Vecino sendiri merasa kecewa ketika ia ditarik keluar. Perasaan yang wajar, mengingat sepanjang musim itu ia selalu diandalkan oleh Fiorentina di lini tengah.

Akan tetapi kekecewaan yang dirasakan Vecino seketika berubah menjadi kebahagiaan saat ia sampai di ruang ganti. Bukan karena seseorang telah memberinya nasihat yang ampuh membangkitkan semangat, melainkan karena ia mendapat sebuah kabar yang manjur mengubah suasana hatinya 180 derajat.

Telepon genggamnya berdering saat ia masuk ruang ganti. Ketika tahu telepon itu dari Tim Nasional Uruguay, Vecino segera menerimanya. Dari telepon itu ia mendapat kabar bahwa dirinya terpilih untuk memperkuat Tim Nasional Uruguay di ajang Kualifikasi Piala Dunia 2018.

Vecino senang bukan main. Mimpinya untuk bisa membela negara sendiri akhirnya terwujud. Segala kecamuk perasaan pahit yang sedari tadi bergumul dalam dadanya seketika berubah menjadi kebahagiaan. Bahkan ketika di akhir pertandingan Fiorentina kalah telak dari AS Roma dengan skor 4-1, rasa bahagia tetap bersemi dalam hati Vecino.

“Aku keluar lapangan tanpa terpengaruh oleh kekalahan yang diderita timku. Kami kalah 4-1 hari itu, namun secara pribadi aku sangat merasa bahagia berkat kabar yang baru saja aku dapatkan. Aku telah membuat satu langkah penting dalam karierku,” ujarnya seperti dikutip dari laman web FIFA.

Vecino menjalani debutnya bersama Uruguay dalam pertandingan melawan Brasil di Kualifikasi Piala Dunia 2018. Itu bukan pertandingan yang mudah, namun Vecino langsung mendapat kepercayaan dari pelatih Uruguay, Oscar Tabarez, untuk turun sejak awal laga.

Vecino tampil penuh di laga tersebut. Perannya besar dalam membawa Uruguay mengejar ketinggalan dua gol dari Brasil.

Hingga pada akhirnya Uruguay dinyatakan lolos ke Piala Dunia 2018, Matias Vecino tetap menjadi andalan di lini tengah. Ia akan memulai Piala Dunia pertamanya di Rusia pertengahan Juni nanti.

Akan tetapi sayangnya, semua pencapaian manis ini didapatkan Vecino ketika sosok sang ayah sudah tak lagi berada di sampingnya. Padahal ayahnya itulah yang telah mengenalkan sepakbola kepada Vecino.

“Apa yang paling menyakitkan dari semua ini adalah, ia [ayah] tak lagi berada di sisiku untuk melihat semuanya. Ia tentu akan sangat bahagia dengan semua pencapaianku ini,” ungkap Vecino.

***

Ayahnya, Mario Vecino, merupakan bekas pesepakbola yang pernah bermain untuk klub Liverpool F. C. di Uruguay. Ketika Vecino berusia empat tahun, ia bergabung dengan sebuah klub sepakbola anak-anak yang dilatih oleh ayahnya sendiri. Dalam melatih Vecino kecil, sang ayah tak pernah menuntutnya untuk menang. Yang terpenting bagi sang ayah untuk Vecino adalah bagaimana ia bisa selalu mempelajari hal baru dalam setiap pertandingan.

“Mario menghabiskan banyak waktu untuk mengajarkan dia [Vecino] sepakbola,” tutur ibunda Vecino, Dolly. “Dia [Mario] tak pernah menuntut Matias menang. Dia ingin anaknya bisa terus belajar.”

Sayangnya sang ayah hanya bisa melihat perkembangan sepakbola Vecino sampai usia buah hatinya menginjak 14 tahun. Mario meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas yang dialaminya.

Semua anggota keluarga Vecino sangat terpukul ketika mendengar kabar buruk itu. Adik Vecino, Nicolas, menjadi orang yang paling merasakan kehilangan. Setiap pintu rumah diketuk atau telepon berdering, Nicolas selalu mengira itu adalah ayahnya.

Kehilangan sosok kepala keluarga adalah hal yang sulit bagi mereka. Akan tetapi Dolly, tak ingin anak-anaknya larut dalam nestapa. Ia mengajak anak-anaknya untuk kembali bangkit dan meneruskan hidup.

“Malam itu aku mengumpulkan keluargaku untuk duduk bersama di sebuah meja. Aku mengatakan semuanya kepada mereka. Tetapi aku juga katakan bahwa hidup harus terus berjalan. Kami keluarga yang kuat. Kami tidak akan hanya berdiam duduk dan meratapi kesedihan,” tutur Dolly kepada The Guardian.

Vecino mengamalkan betul apa yang dinasihatkan ibunya. Ia semakin giat berlatih sepakbola. Hasilnya upayanya berbuah ketika klub asal Montevideo, Central Espanol, merekrutnya pada 2010.

Jarak antara kediaman Vecino di San Jacinto ke Montevideo—tempatnya setiap hari berlatih, adalah 41,3 kilometer. Walau jarak merentang jauh, namun Vecino yang masih berusia 19 tahun ketika itu, tak pernah mengendurkan semangat untuk berangkat latihan menggunakan kereta.

“Pernah suatu hari aku melihat ia hendak pergi berlatih sambil menggendong tas kecilnya, padahal hari itu hujan deras sedang turun,” kenang sang paman, Raul Falero. “Aku lalu bertanya kepadanya, ‘Kamu yakin latihan akan tetap dilaksanakan dengan cuaca seperti ini?’ Ia lalu menjawab, ‘Pasti selalu ada cara.’”

Kegigihannya dalam berlatih mulai membuahkan hasil ketika ia terpilih untuk memperkuat Tim Nasional Uruguay U-20, di Kejuaraan U-20 Amerika Selatan pada 2011. Di turnamen tersebut, Vecino mencetak gol penting yang membuat tim sepakbola Uruguay U-20 lolos ke Olimpiade London 2012—pertama kalinya sejak 1928. Vecino juga terpilih untuk tampil di ajang Piala Dunia U-20 yang digelar di Kolombia pada 2011.

Kiprahnya semakin menanjak ketika ia memulai karier di Eropa bersama Fiorentina pada 2013. Ia menandatangani masa bakti empat tahun bersama Fiorentina.

Vecino sempat dipinjamkan ke Cagliari kemudian Empoli pada 2014. Yang paling berkesan baginya adalah ketika bermain untuk Empoli.

Di bawah arahan Maurizio Sarri ketika itu, ia berkembang pesat dan semakin fasih bermain di posisi gelandang bertahan. Penampilannya yang memukau, sampai membuat pelatih Tim Nasional Italia saat itu, Antonio Conte, tertarik dan mengajaknya untuk pindah kewarganegaraan menjadi warga Italia agar bisa membela Gli Azzuri. Akan tetapi Vecino menampik tawaran itu. Dalam hal berkiprah untuk tim nasional, hati Vecino hanya untuk Uruguay.

“Aku tak akan merasa nyaman dan sepertinya semua tidak akan berjalan baik [jika membela Italia]. Membela tim nasional adalah tanggung jawab besar, dan jika hatimu tak ada di situ, maka semuanya tak akan berarti. Aku percaya jika aku bisa menjaga penampilan baik di atas lapangan, maka panggilan dari Uruguay akan datang dengan sendirinya,” ujarnya.

Apa yang diucapkannya itu kini telah menjadi kenyataan. Ditambah dengan penampilannya yang semakin menanjak bersama Internazionale Milan musim ini, tentunya Vecino akan menjadi pemain yang sangat berpengaruh bagi Uruguay di Piala Dunia nanti.

Dan untuk segala hal yang telah dicapainya, satu sosok yang berperan besar hingga membuatnya menjadi seperti saat ini tak lain adalah Mario Vecino—sang ayah yang namanya ia abadikan lewat tato di lengan kirinya.

Komentar