Kebangkitan Bonucci di San Siro

Cerita

by redaksi

Kebangkitan Bonucci di San Siro

Kedatangan Leonardo Bonucci ke San Siro pada jendela transfer musim panas 2017 lalu disambut penuh suka cita oleh para pendukung AC Milan. Maklum, Bonucci berstatus sebagai pilar penting di lini belakang Juventus dalam tujuh musim terakhir.

Bonucci juga menjadi sosok sentral yang berkontribusi besar dalam kesuksesan Juventus menjuarai Serie A dalam enam musim beruntun (2011/12—2016/17). Ketangguhannya mengawal pertahanan yang dipadukan dengan kemampuannya mengalirkan bola, membuat Bonucci dianggap sebagai salah satu bek terbaik dunia saat ini.

Memegang status sebagai bek terbaik dunia, tak ayal membuat partisan Milan melambungkan harapan besar kepada Bonucci bisa berkontribusi mengembalikan kejayaan Rossoneri yang lama hilang. Apalagi, situasinya kala itu Milan memang tengah merancang proyek besar untuk mengembalikan kejayaan mereka.

Melalui gelontoran dana besar yang disuntikkan oleh pemilik barunya, Yonghong Li, Milan bergerak aktif di jendela transfer musim panas dengan mendatangkan 11 pemain baru, yang salah satunya adalah Bonucci.

Tapi, ekspektasi tak berbuah nyata. Penampilan Bonucci bersama Milan justru menuai banyak kritik. Performanya dianggap telah menurun, hingga tak sebaik kala masih berseragam Juventus. Lebih parah, karena Milan malah terseok, bahkan sempat tersungkur hingga posisi ke-11 di klasemen sementara Serie A 2017/18.

Manajer legendaris Italia, Fabio Capello, sempat memberikan pandangannya terkait permainan Bonucci di Milan. Menurutnya, Bonucci adalah pemain bertahan yang tidak bisa bertahan. Bersama Milan, Bonucci kerap tampil dalam formasi 4-3-3, yang memang menjadi andalan Vincenzo Montella yang kala itu masih menjadi manajer Milan. Capello memandang bahwa Bonucci tak cocok dengan skema empat bek sejajar.

“Bonucci adalah bek Italia terbaik bila bola ada di kakinya, faktanya dia adalah satu dari tiga bek terbaik di dunia. Masalah terbesarnya adalah: dia adalah bek yang tak bisa bertahan. Ia memiliki situasi ideal di Juventus saat ia bermain sebagai sweeper. Dia sempurna ketika bermain dengan tiga bek, tapi tidak bila bermain dengan empat bek," kata Capello, dilansir dari Football Italia.

Pandangan Capello tidak sepenuhnya salah lantaran ketika masih di Juve, Bonucci memang bersinar dengan skema tiga bek sejajar. Melalui formasi dasar 3-5-2, bersama Andrea Barzagli dan Giorgio Chiellini, Bonucci mampu menjadikan lini pertahanan Juve menjadi sangat solid.

Perannya dalam skema tiga bek ini pun cukup sentral. Ia menjadi pemain yang ditempatkan di tengah. Namun Bonucci mendapatkan tugas lebih dari Conte. Ia diwajibkan bisa bermain laiknya seorang regista atau deep-lying playmaker. Ini untuk mengantisipasi Pirlo yang mulai sering dikawal lawan.

Dan ternyata Bonucci memainkan perannya dengan baik. Bahkan dari tahun ke tahun, ia seolah menjadi bek yang merangkap sebagai gelandang pengatur serangan. Ketika Pirlo hengkang pun kebutuhan akan pengatur serangan dari belakang dapat diisi dengan baik olehnya.

Bahkan ketika akhirnya Conte pergi dan posisinya digantikan Massimiliano Allegri, Bonucci malah semakin menunjukkan kualitasnya. Hal ini dikarenakan permainan Allegri lebih banyak menguasai bola ketimbang Conte. Apalagi pada awal kedatangannya, Allegri menggunakan formasi dasar tanpa pemain sayap, yaitu 4-3-1-2. Namun perlahan-lahan, Allegri bisa memoles 3-5-2, bahkan 4-2-3-1, dengan Bonucci sebagai poros utama serangan timnya.

Kebangkitan Bonucci

Sebenarnya, untuk memaksimalkan peran Bonucci, Montella sempat mengubah formasi dari 4-3-3 ke 3-5-2. Namun, performa Milan dan Bonucci tak kunjung membaik setelah perubahan tersebut. Hingga akhirnya, Montella pun terdepak pada November 2017. Posisi Montella digantikan Gennaro Gattuso.

Meski Gattuso tak punya banyak pengalaman melatih, namun kehadirannya membawa angin perubahan. Gattuso membawa Milan perlahan bangkit dari keterpurukan. Bahkan di awal tahun 2018, legenda Milan itu mampu membawa Rossoneri melakoni 12 pertandingan tanpa terkalahkan. Milan perlahan merangkak hingga saat ini mencapai posisi ke-7 di klasemen sementara Serie A 2017/18.

Kehadiran Gattuso juga ternyata mampu membuat penampilan Bonucci mengalami peningkatan signifikan, meski dengan skema empat bek sejajar. Salah satu perubahan yang dilakukan Gattuso saat menukangi Milan adalah mengubah penggunaan formasi dasar 3-5-2 ke 4-3-3, Bonucci pun tetap diandalkan dalam formasi tersebut.

Peningkatakan signifikan Bonucci juga tak dimungkiri terjadi karena kejelian Gattuso memilih duet bagi Bonucci di lini pertahanan. Biasanya, Bonucci diduetkan bersama Musacchio. Namun duet tersebut dirasa kurang pas, karena Milan lebih banyak kebobolan. Hingga akhirnya, Gattuso menemukan komposisi susunan pemain terbaik Milan sejak mengalahkan FC Internazionale Milan di Coppa Italia.

Pada laga tersebut Gattuso melihat kokohnya duet pertahanan Milan yang digalang Bonucci dan Alessio Romagnoli. Intinya, Gatusso berhasil memadukan ketangguhan Romagnoli dalam bertahan dengan Bonucci yang punya kemampuan mengalirkan bola dengan baik. Bahkan ketika Romagnoli saat ini mengalami cedera, Gatusso tetap jeli memilih pasangan yang tepat bagi Bonucci di sektor pertahanan. Sosok pengganti itu bukan Musacchio, tapi Cristian Zapata.

"Awalnya saya heran mengapa saya memutuskan pindah ke Milan. Pertunjukan saya di lapangan bukanlah hasil karya Bonucci yang sesungguhnya, karena mentalitas bisa mengubah segalanya,” kata Bonucci, mengomentari kebangkitannya.

“Kemudian saya berhasil berkonsentrasi lagi untuk bekerja keras, lebih memikirkan diri sendiri daripada segala hal yang terjadi di sekitar dan mencoba membangun kepercayaan diri saya. Saya menggunakan kekuatan diri sendiri untuk yakin pada pilihan yang telah saya buat dan sekarang saya sangat termotivasi.”

Dari pernyataan di atas, bisa disimpulkan bahwa selain kejelian Gatusso, kebangkitan Bonucci juga dikarenakan pembawaan karakter dirinya sebagai pesepakbola bermental baja dan punya kepercayaan diri tinggi. Melalui karakter tersebut, Bonucci lihai mengatasi tekanan dan kritikan yang dialamatkan kepadanya.

Bagi Bonucci, tekanan adalah hal yang biasa dalam perjalanan kariernya. Bahkan, ketika kali pertama merumput bersama Juve ia pun sama mendapat tekanan karena performanya yang tak sesuai harapan. Bahkan pada 2014 terungkap bahwa ketika di Treviso ia memiliki pelatih khusus untuk meningkatkan mentalnya. Hal ini terungkap lewat status Facebook pelatih mentalnya, Alberto Ferrarrini.

“Selama bertahun-tahun saya membawa Bonucci ke sebuah basement. Di ruangan paling bawah, yang sangat gelap,” tulis Ferrarrini, dikutip dari Guardian. “Di sana, saya menghinanya. Saya mengumpatnya. Ia harus tahan itu. Jika ia tak tahan, biasanya ia mulai memandangi saya, maka saya langsung memukul perutnya. Tujuannya? Saya ingin ia menang menghadapi setiap kritikan. Ia harus fokus dan jangan menghiraukan segala hal buruk tentangnya. Itulah cara saya menjadikannya sebagai seorang prajurit.”

Pengalamannya itu sangat berguna saat Juventus dilatih Conte. Conte adalah pelatih yang selalu berapi-api, memarahi setiap pemainnya, bahkan saat timnya sudah unggul.

Akan tetapi Bonucci punya pandangan lain soal Conte. Menurutnya, Conte memang ingin menjadikan para pemainnya punya mental kuat seperti prajurit, atau di Juve dikenal dengan sebutan grinta. Dan Bonucci tak masalah dengan cara Conte tersebut. “Kedatangan Conte adalah anugerah Tuhan. Di tangannya, para pemain menjadi prajurit yang sebenarnya.”

Kepribadian Bonucci ini pun banyak yang menyandingkannya dengan legenda Juventus sekaligus legenda timnas Italia, Gaetano Scirea. Scirea merupakan bek yang tenang di lini belakang, tapi juga bisa membangun serangan. Setidaknya hal ini diakui oleh mantan rekan setim Scirea, Giovanni Galli.

“Bonucci memiliki kepribadian dan ketenangan dalam menghadapi segala situasi. Ia juga bisa sangat berguna untuk serangan. Ia menguasai bola lebih banyak, dan bisa menggiring bola sendirian. Bagi saya, ia punya kualitas untuk menjadi Scirea baru.”

Komentar