Makna Tersingkirnya Man City dan Barcelona

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Makna Tersingkirnya Man City dan Barcelona

Tersingkirnya Manchester City dan Barcelona pada babak perempat final Liga Champions 2017/18 ini memastikan dua hal. Pertama, kumpulan pemain bintang beserta pelatih terbaik belum tentu memenangkan kejuaraan. Kedua, memiliki pemain terbaik dunia (Lionel Messi) tak menjamin keberhasilan sebuah tim.

Dari kedua hal di atas, ada satu hal lagi yang menurut saya perlu lagi ditegaskan: sebuah pertandingan sepakbola dimenangkan oleh strategi pelatih sebuah tim yang berhasil.

Kita runut ke belakang. Jika kita berbicara kesebelasan besar, dalam hal ini kesebelasan top Eropa, maka kesebelasan tersebut dihuni oleh banyak pemain bintang atau yang juga kerap disebut pemain kelas dunia. Nah pelabelan ini sebenarnya kerap mendiskreditkan peran pelatih bagi sebagian banyak orang.

Anda pasti tidak asing dengan kalimat, "Bayern kalau dilatih siapa pun pasti juara Bundesliga..." atau "Anak kecil pun bisa juara kalau ngelatih Real Madrid..." atau "Nenek-nenek pun kalau ngelatih tim kayak PSG bisa juara." Jose Mourinho ketika menangani Madrid (2011/12), juga Pep Guardiola ketika menangani Bayern, adalah contoh pelatih yang pernah `diremehkan` dengan kalimat seperti di atas; kualitas taktikal mereka dilupakan karena banyak orang menganggap kualitas pemain mereka yang paling menentukan.

***

Keberhasilan AS Roma menyingkirkan Barcelona menjadi comeback terbaik sepakbola dalam satu dekade terakhir. Setelah menang 4-1 pada leg pertama, pasti tak sedikit yang menganggap Barca auto-win pada leg kedua. Bahkan laga ini pun, yang dianggap tidak akan menarik lagi, pada akhirnya tidak disiarkan lagi seperti pada pertemuan pertama oleh tv swasta kita.

Secara komposisi, pemain AS Roma memang kalah dari Barca. Barca punya Messi. Belum lagi pemain lain seperti Luis Suarez, Sergio Busquets, Jordi Alba, dan Gerard Pique yang merupakan para pemain terbaik pada posisinya masing-masing. Belum lagi perbandingan performa Roma dan Barca di masing-masing liga yang menunjukkan Barca lebih superior.

Begitu juga pada laga Manchester City vs Liverpool. Sejak leg pertama, City dijagokan karena performa liga mereka yang impresif pada musim ini. City juga telah menghabiskan banyak uang untuk menciptakan skuat yang diinginkan Pep Guardiola. Maka dari itu City punya banyak alasan untuk bisa menyingkirkan Liverpool.

Tapi pada kenyataannya fakta berbicara lain. City dan Barca tak berdaya. Bahkan City mati kutu pada kedua leg; berbeda dengan Barca yang baru dikejutkan Roma pada leg kedua. Tapi ini sekali lagi menunjukkan bagaimana pentingnya peran pelatih dalam mengupayakan sebuah hasil akhir, tidak semata-mata karena kualitas pemain saja.

Barca tampil buruk pada leg kedua sehingga kalah 0-3 (dan kalah agregat dari Roma bukan sekadar karena mereka bermain tanpa karakter, tanpa semangat, atau bermain jelek. Begitu juga City kalah 1-2 pada leg kedua bukan semata karena kurang hoki atau kurang beruntung (saya paling tidak suka dengan frasa ini) pada babak pertama.

Setiap pertandingan bisa dimenangi karena keberhasilan sebuah strategi. Itu juga yang terjadi pada kekalahan Barca dan City. Kualitas pemain mereka boleh unggul dibanding lawan. Tapi ketika itu tak berbarengan dengan strategi yang tepat, kualitas pemain pun tidak ada apa-apanya.

Roma mendominasi pada leg kedua kemarin. Ini terjadi karena pelatih mereka, Eusebio Di Francesco, tak lagi kerdil seperti pada leg pertama. Di Camp Nou, Roma memungut asa mencetak gol dari remah-remah serangan Barca yang gagal melalui transisi bertahan ke menyerang. Tapi di kandang sendiri Roma berhasil mengurung Barca lewat skema yang berbeda, dengan terus melancarkan high pressing pada pemain belakang Barca. Perubahan pola dari 4-3-3 ke 3-5-2 pun melandasi permainan agresif Roma.

Hasilnya Barca tak nyaman menguasai bola. Pada laga tersebut, skuat asuhan Ernesto Valverde ini https://twitter.com/ASRomaData">mencatatkan persentase long ball tertinggi dan persentase akurasi operan terendah pada Liga Champions musim ini. Jika biasanya akurasi operan Barca di atas 85%, pada leg kedua melawan Roma kemarin hanya 76% saja. Kemudian umpan jauh yang biasanya di bawah 8%, di leg kedua meningkat hampir mendekati 17,5%. Itulah kenapa Barca bermain buruk alias tidak bisa memainkan permainan terbaiknya sebagaimana yang sudah mereka tunjukkan sepanjang musim ini.

Begitu juga yang terjadi di Etihad Stadium. City jelas luar biasa pada babak pertama. Peluang demi peluang mereka ciptakan. Tapi strategi manajer Liverpool, Juergen Klopp, yang dengan tepat menurunkan para gelandang (termasuk Roberto Firmino dan Sadio Mane) untuk berada di kotak penalti ketika City menyerang melalui kedua sayap berhasil memaksa para pemain City terus melepaskan tembakan jarak jauh. Tak ada umpan-umpan cutback yang biasanya jadi ciri khas City mengoyak jala lawan.

Strategi tersebut dibarengi dengan pola serangan balik Liverpool yang tepat. Mohamed Salah ditinggalkan sendirian. Lantas saat serangan balik, hanya Oxlade-Chamberlain gelandang yang bertugas menjadi jembatan pada Firmino, Salah dan Mane. Skema ini berhasil meluluhlantahkan transisi menyerang ke bertahan City dari 3-1-4-2 ke 4-4-2.

***

Sepakbola adalah permainan kesebelasan, bukan individu. Bagaimana sebuah kesebelasan bermain dan memenangkan pertandingan, itu semua ada di tangan pelatih. Pelatih lah yang membuat sistem tersebut berjalan ketika pertandingan berjalan. Termasuk respons di tengah pertandingan terhadap perubahan strategi lawan.

Karena itu juga saya bukan tipikal orang yang memercayai DNA Eropa apalah-apalah. Pendukung Liverpool boleh bilang timnya lebih punya DNA Eropa dibanding City. Tapi ternyata Barca yang merajai Liga Champions satu dekade terakhir tidak ada apa-apanya di hadapan Roma. (Soal DNA Eropa ini akan saya bahas pada artikel berikutnya.)

Yang jelas, sekali lagi, strategi pelatih adalah aspek yang paling menentukan kemenangan sebuah kesebelasan. Di Francesco dan Klopp menegaskan bahwa pendekatan strategi yang tepat bisa mendobrak stigma kesebelasan favorit atau diunggulkan. Tapi ini juga harusnya tidak mengartikan bahwa Valverde pelatih yang tidak kompeten untuk Barca atau Pep yang gagal meski punya skuat mewah.

Soal hasil akhir ini, jika ditarik lebih jauh, soal pelatih ini, antara Di Francesco vs Valverde dan Pep vs Klopp, seharusnya tidak terlalu aneh. Pada kenyataannya, musim lalu Di Francesco yang masih melatih Sassuolo melawan Valverde yang masih melatih Athletic Bilbao berakhir dengan 3-0 dan 2-3, jika diagregatkan Di Francesco menang 5-3. Sementara itu Klopp menjadi pelatih yang paling sering menaklukkan Pep; 8 kali dari 14 pertemuan.

Meskipun begitu, tersingkirnya Man City dan Barca pun tidak menutup fakta bahwa kedua kesebelasan ini merupakan kesebelasan yang tampil luar biasa pada musim ini. Karena di liga yang berjalan ketat dan panjang kedua kesebelasan paling konsisten berada di posisi puncak dan semakin dekat dengan gelar juara. Sementara untuk Roma dan Liverpool, masih ada tantangan berat di hadapan mereka yang bisa membuat keberhasilan menyingkirkan City dan Barca ini hanya menjadi cerita indah tanpa piala. Piala adalah ukuran keberhasilan pelatih, bukan?

baca juga: Roma Bangkit dari Reruntuhan

Komentar