Dari Pelabuhan ke Pelabuhan

Cerita

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Dari Pelabuhan ke Pelabuhan

Lanjutan dari halaman sebelumnya

Kebetulan, satu tahun kemudian, klub asal kota Liverpool, Liverpool Football Club, berkesempatan untuk menjamu klub asal Manchester, Manchester United (dulu masih bernama Newton Heath), untuk pertama kalinya di Stadion Anfield. Hasil akhir 7-1 untuk kemenangan tuan rumah seakan menjadi penegasan bahwa kota Liverpool belum sepenuhnya kalah terhadap Manchester, setidaknya di atas lapangan hijau.

Persaingan Lintas Era dan Lintas Lapangan

Kota Liverpool harus menunggu hingga tahun 1960-an sebelum namanya kembali ke permukaan dunia berkat dua faktor. Yang pertama adalah kepopuleran The Beatles. Mereka sukses mengangkat martabat kota Liverpool, menjadi ibukota dunia urusan musik dan mode. Yang kedua adalah keberhasilan Liverpool mendobrak lapisan elite klub-klub Inggris dengan menjuarai dua titel Liga Inggris berkat duet manajer Bill Shankly dan asistennya, Bob Paisley.

Manchester United, di bawah asuhan manajer Sir Matt Busby, juga sebenarnya menjuarai Liga Inggris sebanyak dua kali. Mereka bahkan menjadi klub Inggris pertama yang menjuarai Liga Champions pada 1968. Tetapi, kesuksesan itu hanya seringan kapas jika dibandingkan trofi-trofi prestisius yang diraih Liverpool di tahun 1970-an hingga 1980-an.

Tepat di pengujung musim 1889/90, total ada 4 trofi Liga Champions, 2 Piala UEFA, 1 Piala Super Eropa, 18 Liga Inggris, 5 Piala FA, dan 5 Piala Liga Inggris terpajang di lemari kaca Liverpool.

Para suporter The Reds pun tak mau kalah mentereng. Mereka ingin kembali menjadi pusat perhatian dunia seperti era sebelum revolusi industri; salah satunya adalah dengan menonjolkan gaya berbusana. Alih-alih menggunakan seragam klub sebagai identitas, mereka memilih untuk mengenakan baju dan jaket bermerek ke tribun. Gaya ini kemudian diadopsi oleh hampir seluruh suporter di Inggris, dan lahirlah sub-kultur casual.

Yang tidak disadari oleh kota Liverpool adalah mereka akan kembali merasakan perlawanan luar biasa hebat dari Manchester ketika memasuki tahun 1990-an. Tentunya dalam bentuk berbeda dibandingkan revolusi industri karena pelabuhan Manchester sendiri sudah ditutup pada 1982 akibat tak sanggup mengakomodasi ukuran kargo yang semakin besar.

Sir Alex Ferguson, yang ditunjuk sebagai manajer Manchester United pada 1986, adalah dalang utamanya (juga Oasis dan The Stone Roses dalam konteks musik).

Baca juga: The Beatles FC

“Tantangan terbesar saya adalah menyingkirkan Liverpool dari takhtanya,” ucap Ferguson suatu ketika. “Bagi saya, (melawan) Liverpool akan selalu menjadi sebuah laga derbi. Ketika saya tiba, mereka adalah raja Inggris. Mereka menjuarai empat titel Liga Champions dan cukup banyak Liga Inggris. Target saya adalah untuk (membawa tim) bermain bagus melawan mereka dan mencoba membalikkan situasi.”

Pernyataan Ferguson itu memantik kembali uap-uap kebencian antara kedua kota. Terlebih, cita-cita tersebut benar-benar direalisasikan olehnya. Pada saat pensiun pada 2013, takhta klub terbaik dalam sejarah Liga Inggris telah menjadi milik Manchester United dengan 20 titel juara. Perolehan trofi Liverpool sendiri masih tetap sama seperti ketika Manchester United baru mempunyai 7 titel, yakni 18 titel.

Dalam perjalanan selama 27 tahun itu, tensi tinggi kerap terjadi antara pemain. Tekel-tekel keras sudah pasti berterbangan dan kartu merah selalu siap sedia untuk diacungkan. Salah satu contohnya adalah ketika Patrice Evra mengklaim Luis Suarez mengeluarkan kata-kata rasis dalam laga antara Liverpool vs Manchester United di Anfield pada 15 Oktober 2011. FA memutuskan bahwa Suarez bersalah dan menjatuhkan sanksi sebanyak 8 pertandingan kepada sang penyerang Liverpool.

Ketika tiba gilirannya Liverpool bertandang ke markas Manchester United, Stadion Old Trafford, pada 11 Februari 2012, Suarez tak mau menjabat Evra. Seusai laga, Evra pun merayakan kemenangan Manchester United dengan skor 2-1 itu secara sengaja di depan Suarez, dan hampir menimbulkan perkelahian antar pemain.

Tentu saja, para pemain ke-12 masing-masing tim juga kerap bertikai, baik secara verbal maupun fisik. Yang teranyar (dan diketahui oleh media) adalah ketika mereka adu jotos dalam laga leg kedua Liga Europa di Old Trafford pada 17 Maret 2016.

Tak Selalu Berselisih

Bagaimanapun, perlu diketahui bahwa Manchester United dan Liverpool tidaklah selalu soal perselisihan. Ketika skuat Manchester United mengalami kecelakaan pesawat di bandara Munich pada 1958 (yang menewaskan 7 pemain), manajer Liverpool menawarkan lima pemain pinjaman.

Paddy Crerand, legenda Manchester United yang kini bekerja sebagai komentator di TV klub, menceritakan bahwa ia dan rekan-rekannya kerap menyaksikan Liverpool bertanding di saat senggang. “Kami berdiri di (tribun) The Kop . Saya tidak ingat berapa kali saya menyaksikan Liverpool di balik gawang itu. Para Scousers terkadang mengejek kami, tetapi tetap lucu,” jelas Crerand seperti dikutip dari The Guardian.

“Ketika Liverpool menghadapi Leeds United di final Piala FA pada 1965, saya menyaksikannya secara langsung bersama Noel Cantwell, Denis Law, dan Maurice Setters. Setelahnya, kami mengirim sebuah telegram untuk mengucapkan selamat kepada Bill Shankly,” lanjut Crerand. “Kami (pemain Manchester United dan Liverpool) sering pergi bersama. Saya lupa seberapa sering Ian St. John dan istrinya menginap di rumah saya.”

Crerand merupakan bagian dari skuat kemenangan Manchester United di Liga Champions pada 1968. Ketika itu, Liverpool Echo menuliskan bahwa “sepakbola Britania Raya patut berbangga atas tim United yang memberikan segalanya demi mempersembahkan trofi yang diinginkan Matt Busby lebih dari apapun. United melalui perjalanan yang sangat panjang untuk bisa berada di puncak (sepakbola) Eropa, tidak akan ada yang membenci mereka karena menjadi klub pertama yang melakukannya.”

Setelah Manchester United menang 2-1 atas Liverpool pada final Piala FA 1977, para suporter Manchester United memberikan dukungan kepada Liverpool, yang akan bermain di final Liga Champions pertama klub, secara terbuka.

Satu fakta lain yang (mungkin) paling mengejutkan terkait relasi antara kedua tim ini adalah empat pemain Liverpool dan tiga pemain Manchester United pernah melakukan pengaturan skor agar klub terakhir terhindar dari degradasi pada 1915. Ketujuh pemain tersebut mendapatkan sanksi larangan bermain dari FA.

Rivalitas Hasil Manipulasi Komersialisme

Di luar urusan sepakbola, Mancunian dan Scousers sebenarnya lebih memiliki banyak kemiripan. Mereka sama-sama memiliki tradisi radikalisme yang dibanggakan dalam melawan elite-elite kota London, terutama melalui politik dan serikat buruh.

Dalam sebuah laporan yang ditulis sejarawan lokal bernama Tony Flynn tentang sejarah Cross Lane di Salford, diungkapkan bahwa para Scousers sebenarnya kerap memadati daerah tersebut setiap Sabtu malam di tahun 1950-an dan 1960-an untuk minum bir, mendengarkan live music, dan nonton di bioskop. Mancunian pun tak segan untuk pergi ke Liverpool demi mendapatkan kesenangan serupa.

Jika kemudian rivalitas gengsi antara kedua warga kota itu memuncak di sepakbola, maka bukan tidak mungkin itu sebenarnya hanyalah manipulasi komersialisme. Sementara itu, pelabuhan-pelabuhan di kota Liverpool dan Manchester yang dahulu diperas habis oleh para kelas menengah dapat tetap tertawa, mengenang zaman kejayaannya masing-masing.

Komentar