Mengingat Kenangan Indah Persebaya Surabaya 13 Tahun Silam

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Mengingat Kenangan Indah Persebaya Surabaya 13 Tahun Silam

Peluang antara juara dan degradasi di kompetisi sepakbola Indonesia itu beda-beda tipis. Ada kesebelasan yang langsung juara setelah promosi, begitu juga sebaliknya.

Perjalanan seperti itulah yang pernah dialami Persebaya Surabaya. Kesebelasan berjuluk Bajul Ijo tersebut langsung menjadi juara Liga Indonesia 2004 meski saat iru mereka berstatus tim promosi. Prestasi itu menjadikan Persebaya sebagai kesebelasan kedua yang langsung juara setelah promosi. Sebelumnya, prestasi itu yang diukir Persik Kediri pada Liga Indonesia 2003.

Gelar Liga Indonesia 2004 menjadikan Persebaya sebagai kesebelasan pertama yang meraih dua gelar juara sejak Liga Indonesia, atau setelah digabungnya kesebelasan jebolan Perserikatan dengan Galatama. Tapi mereka langsung menjadi kesebelasan kedua yang menyusul PSIS Semarang dengan cerita menyedihkan; yaitu langsung degradasi pada musim 2005 setelah menjuarai Liga Indonesia sebelumnya. Tapi tulisan ini bukan ingin menceritakan perjalanan sedih dari Persebaya. Lebih baik mengenang bagaimana ketika Persebaya langsung menjadi juara kedua kalinya setelah promosi ke Liga Indonesia 2004.

Raihan prestasi tersebut begitu dramatis karena situasi Persebaya di papan atas klasemen berada di antara hidup dan mati. Ketika itu Persebaya yang berada di peringkat dua sama-sama mengoleksi 58 poin dengan PSM Makassar di peringkat tiga. Hanya saja Persebaya unggul selisih delapan gol dari PSM. Sementara posisi pertama ditempati Persija dengan raihan 60 poin.

Artinya, ada tiga kandidat juara pada saat itu antara Persebaya, PSM dan Persija yang sedang memimpin klasemen sementara. Persebaya pun harus ditempatkan di dalam situasi hidup dan mati dalam pengejaran juara karena harus menghadapi Persija di Gelora 10 November pada 23 Desember 2004.

Di sisi lain, PSM juga menjamu PSMS Medan di Stadion Mattoanging. Maka dari itu kemenangan dari Persija adalah harga mati bagi Persebaya agar mendapatkan juara. Pertandingan yang menentukan itu pun dimulai dan sekitar 30 ribu pendukung Persebaya yang dikenal Bonek sudah membanjiri Gelora 10 November.

Pertandingan harus tertunda sekitar satu setengah jam karena hujan deras. Pertandingan pun akhirnya dimulai dan skuat Persebaya yang akan bermain sudah diumumkan. Pada waktu itu Persebaya dihuni campuran antara pemain berlabel tim nasional Indonesia dengan pesepakbola asing berkualitas.

Hendro Kartiko adalah penjaga gawang Persebaya berlabel timnas Indonesia yang tidak tergantikan. Ia dilindungi bek cekatan Bejo Sugiantoro dan Chairil Anwar yang terkenal keras karena pada saat itu mengisi posisi Mursyid Effendi. Sugiantoro dan Chairil pun semakin kuat karena didampingi bek asing besar dari Cile, yaitu Leonardo Gutierrez.

Gutierrez menjadi tembok besar Persebaya sehingga meringankan tugas Sugiantoro maupun Chairil. Mereka bertiga juga tidak terlalu repot diserang karena dua bek sayap Persebaya, yaitu Anang Ma`ruf dan Mat Halil memiliki kecepatan tinggi untuk transisi bertahan saat itu.

Dua bek sayap itu cukup membantu tiga gelandang sentral yang dilakoni Danilo Fernando, Uston Nawawi dan Ricardo Ramos. Mereka semua bertugas memberikan suplai bola kepada duet Christian Carrasco dan Kurniawan Dwi Yulianto di lini depan. Sementara nakhoda mereka adalah mantan pemainnya yang mencicipi gelar Liga Indonesia 1996/1997, yaitu Jacksen F. Tiago.

Tunggu, Masih Ada Satu Menit Lagi!

Di sisi lapangan, Jacksen terlihat cukup tegang. Pelatih asal Brasil itu pun tidak berhenti memberikan arahan kepada Halil dkk. Tapi ekspresi kesenangan Jacksen langsung pecah ketika pertandingan baru berjalan lima menit karena gol yang dicetak Danilo.

Danilo berhasil menemukan ruang untuk menendang bola di depan kotak penalti Persija. Padahal saat itu Danilo sedang dikerumuni para pemain Persija yang hendak merebut bola darinya. Gol itu menjadi satu-satunya yang terjadi selama babak pertama.

Kemudian Persija bisa menyamakan kedudukan melalui gol bunuh diri Halil. Tapi pada akhirnya Luciano de Silva menjadi penentu kemenangan sekaligus juara Persebaya setelah sundulannya menjebol gawang yang dijaga Syamsidar. Puluhan ribu Bonek kembali membuat Gelora 10 November bergemuruh. Bahkan ada beberapa yang mencoba masuk ke dalam lapangan karena merasa juara sudah di depan mata.

Namun pada akhirnya situasi sudah tidak terbendung lagi ketika wasit Aeng Suharlan meniupkan peluit akhir laga. Ribuan Bonek memenuhi lapangan bercampur dengan seluruh elemen skuat Persebaya. Tapi pada saat itu pengeras suara mencoba menenangkan isi stadion, "tunggu dulu Bonek, masih ada satu menit lagi!" ucapnya.

Memang pada saat itu PSM masih bertanding dengan PSMS di Stadion Mattoanging dan satu menit tersisa adalah waktu yang tersisa pada laga tersebut. PSM pun memenangkan pertandingan itu dengan skor 2-1. Tapi kemenangan PSM tak berarti apa-apa karena Persebaya unggul selisih delapan gol sehingga resmi menjadi juara Liga Indonesia 2004.

Gelar juara Persebaya semakin spesial bagi Jacksen karena ia merasakan juara sebagai pelatih maupun pemain. Sebagai pemain, Jacksen membawa Persebaya juara pada 1996/1997.

***

Saat ini Persebaya baru promosi dari Liga 2 Indonesia 2017 dengan status juara setelah mengalahkan PSMS di final. Raihan itu mengingatkan perjalanan Persebaya menuju Liga Indonesia 2004 yang berakhir menjadi juara. Musim depan memang masih belum menjamin Persebaya kan langsung menjadi juara seperti 13 tahun silam, meskipun Persebaya tampil hebat dalam pencapaian promosi musim ini.

Tapi tidak ada salahnya ketika promosinya Persebaya sekarang memunculkan kembali kenangan pada 2003 sampai 2004 lalu. Persebaya sendiri memang selalu memiliki kenangan untuk dirindukan. Tidak hanya bagi Bonek, melainkan bagi hampir seluruh penikmat sepakbola Indonesia atas prestasi dan sejarahnya.

Komentar