Fenomena Tret Tet Tet yang Melahirkan Persepsi Bonek (Bagian 4)

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Fenomena Tret Tet Tet yang Melahirkan Persepsi Bonek (Bagian 4)

Halaman kedua

Selain menggunakan kaos paketan Tret Tet Tet, para pendukung Persebaya pun disarankan memakai ikat kepala dengan bertulis nama kesebelasan tersebut. Persis seperti gambar di kaos paketan Tret Tet Tet yang disediakan Jawa Pos. Gambar wajah manusia dengan ikat kepala bertulis Persebaya itu merupakan instruksi dari Dahlan kepada pihak Jawa Pos. Ia menugaskan Muhtar sebagai desain grafis Jawa Pos waktu itu untuk membuat logo atau simbol yang akan digunakan pada baju paketan Tret Tet Tet. Dahlan menyarankan agar Muhtar membuat sketsa wajah yang merepresentasikan penuh ekspresi heroisme, layaknya rakyat Surabaya ketika melawan penjajah pada zaman dahulu.

Sketsa wajah itu dianggap sebagai simbol kebangkitan Persebaya di era perserikatan 1986/1987. Alhasil, jadilah sketsa wajah yang sampai sekarang digunakan Bonek sebagai lambang dukungan kepada Persebaya sampai saat ini. "Bonek (Surabaya) juga berani melawan sekutu pake bambu runcing dulu, makanya dicerminkan oleh ini," tutur Slamet sambil jemarinya menunjuk sketsa wajah di kaos Green Force yang dipakainya.

Kemudian barulah istilah Bonek muncul di antara bibir ke bibir pada kompetisi perserikatan musim berikutnya. Lagi-lagi istilah dari Persebaya itu muncul karena cerita-cerita laga tandang atau Tret Tet Tet.

Sejarah nama Bonek

Istilah Bonek muncul dari mulut ke mulut karena para pendukung Persebaya dari masyarakat bawah sering nekat melakukan Tret Tet Tet dengan dana yang sangat minim bahkan untuk membeli tiket transportasi umum pun tidak mampu. Namun kondisi itu tidak dipedulikan masyarakat kalangan bawah yang berpartisipasi dalam Tret Tet Tet Persebaya, toh masih ada berbagai macam truk atau mobil bak terbuka yang bisa ditumpangi, bahkan menjadi penumpang gelap di gerbong dapur, gudang, atap kereta pun sanggup dilakoni mereka.

Di sisi lain, tidak semua Bonek tidak memiliki uang untuk membayar alat transportasi. Terkadang mereka ingin merasakan sensasi bagaimana Tret Tet Tet dengan risiko tinggi seperti itu. "Dulu itu belum ada istilah Bonek, istilah Bonek itu baru muncul pada 1988/1989. Istilah ini pun sebenarnya istilah masyarakat, bukan istilah yang ditelurkan oleh Jawa Pos. Ini istilah umum, suporter Persebaya kan banyak yang berasal dari kalangan bawah, mereka itu sering nekat, naik truk dengan uang seadanya berangkat ke Senayan, berangkat ke kota lain, itulah awal munculnya istilah Bondho Nekat," jelas Slamet.

Kemudian istilah Bondho Nekat yang disingkat Bonek itu terus bermunculan di koran-koran Jawa Pos ketika merepresentasikan suporter Persebaya di dalam berita-berita yang dipublikasikan. "Bondho Nekat itu awalnya dari `Bondho` (modal), `Nekat` itu nekat. Jadi sing penting kita bermodal nekat, sudah cukup. Kalau mau dukung tim kesayangan apapun dilakukan, entah itu sampai naik truk, uangnya gak ada. Dulu kan suporter Persebaya ada yang carter pesawat, pakai mobil pribadi, tapi ada juga dari kalangan bawah, itu yang benar-benar nekat," sambung Slamet.

Sementara menurut Bejo, salah satu Bonek senior, nama Bonek mulai tertulis di tribun pada awal 2000-an, "Muncul satu gerbong anak muda yang berani menamakan Bonek," cetusnya. Bejo menambahkan bahwa keberanian penulisan nama Bonek terjadi di tengah situasi pendukung sepakbola Surabaya sedang panas.

Pada awal 2000-an, hubungan panas terjalin antara pendukung Persebaya dengan Niac Mitra Surabaya. Kedua pendukung itu sama-sama kekuatan pendukung sepakbola yang besar di Surabaya pada waktu itu. Setelah Niac Mitra bubar karena degradasi pada musim 1998/1999, hubungan panas antara pendukung mereka dengan Persebaya dibekukan Soenarto Soemoprawiro, Walikota Surabaya 1994-2002. Salah satu caranya yaitu dengan menggabungkan kedua kubu di Yayasan Suporter Persebaya.

Ketika kedua kelompok suporter itu disatukan, masih belum menggunakan nama apapun dalam eksistensi di tribun sepakbola Persebaya. Maka dari itu penggalan kata "Arek" masih digunakan oleh para pendukung Persebaya pada waktu itu. Contohnya seperti Arek Persebaya Wonokromo, Arek Persebaya Waru, dan lainnya. Arek sendiri memiliki arti asal seseorang atau panggilan akrab antar teman dalam Bahasa Surabaya.

"Pertama kali di Surabaya ada tulisan Bonek Persebaya itu tahun 2001 di Tribun Selatan (Stadion Gelora 10 November). Bonek Surabaya Arek Surabaya, Pertama kalinya. Sebelumnya Persebaya adalah tifosi (dengan nama) arek mana (sesuai daerah asal. Contoh: Arek Waru dsb)," terang Bejo, salah satu Bonek generasi tua, ketika ditemui di warung kopi kawasan Waru kawasan Kabupaten Sidoarjo.

Puzzle yang melengkapi Persebaya

Selanjutnya, Bonek terus berkembang dan bukan rahasia lagi bahwa mereka menjadi salah satu elemen penting bagi Persebaya sampai saat ini. Bonek besar karena tidak lepas dari sejarah Persebaya itu sendiri di sepakbola Jawa Timur. Pada kompetisi perserikatan, kesebelasan Jawa Timur yang dianggap cukup mapan adalah Persebaya dan Persema Malang. Ditambah dengan Niac Mitra dari kompetisi Galatama.

Namun, Persebaya dan Niac Mitra lebih dominan karena pernah menjuarai kompetisinya masing-masing. Itulah sebabnya pendukung Persebaya tersebar di seluruh Jawa Timur. Bahkan sudah banyak para pendukung Persebaya yang merantau di Jakarta.

Maka bukan tanpa alasan bahwa pendukung Persebaya tersebar di seluruh Jawa Timur maupun beberapa kota lain di Indonesia. Andie Peci yang menjadi juru bicara Bonek pun lahir dan besar sampai sekolah menengah atas di Madiun. Kebesaran Bonek juga tidak lepas dari komunitas-komunitas di setiap daerahnya, terutama di Surabaya. Awalnya berpergian mendukung langsung Persebaya ke stadion cuma berjumlah lima orang, kemudian semakin berkembang dan menjadi komunitas-komunitas besar Bonek yang ada saat ini. Reza Panggabean yang mengaku sebagai Bonek nafas tua, menceritakan bahwa Bonek mulai terorganisir pada 1996.

Pada waktu itu pun Persebaya dan Bonek harus kembali Tret Tet Tet ke GBK dan meraih juara Liga Indonesia 1996/1997 di sana. Selain pengelolaan komunitas, pengorganisiran pendukung Persebaya yang pada waktu itu dilakukan karena memiliki banyak musuh dari pendukung kesebelasan-kesebelasan sepabola lain di Indonesia, "Saat itu suasananya Bonek masih banyak musuh karena masih kultur aku, kultur aku itu pengen wah waktu saat itu. Waktu itu kita estafet dulu itu musuhnya banyak karena waktu saat itu oknum-oknum Bonek itu banyak," celoteh Reza di salah satu warung kopi kawasan Waru Kabupaten Sidoarjo.

Ia menambahkan bahwa pengoranisiran pendukung Persebaya pada waktu itu soal keberangkatan menyaksikan kesebelasannya baik kandang maupun tandang. Caranya sama seperti para pendukung sepakbola pada umumnya, yaitu membeli tiket secara kolektif agar lebih mudah. Pada waktu itu Arek Persebaya dari mana pun bebas berbicara dan bertindak apapun, namun ketika di dalam stadion dituntut sudah fokus mendukung Persebaya. Aura dukungan para pendukung Persebaya dari penggunaan kata arek sampai bernama Bonek pun dirasakan Mat Halil, mantan Pemain Persebaya.

"Kehadiran mereka di stadion bikin kita pemain harus terus fight, fight, fight, gak ada alasan buat kalah. Karena kalaupun kita sudah fight, kalau kalah mereka akan tetap menghakimi kita. Haram apalagi hukumnya kalau di Tambaksari itu tiga klub, Arema, Persija, Persela, kita harus menang kalau lawan tiga klub itu. Kalau sampai kalah, wah, repot, Mas. Harus menampilkan yang terbaik," celotehnya.

Di sisi lain, Mat juga sudah merasakan kritisnya Bonek sejak ia membela Persebaya sejak 1999. Mat langsung disoraki penonton ketika debutnya membela Persebaya. Pada awal-awal Liga Indonesia VII pun pernah disoraki Bonek agar diganti karena dianggap bermain lambat. Bahkan Jatmiko yang pernah menjadi rekannya di Persebaya pernah dihina seperti baru pulang dari tempat lokalisasi Dolly oleh Bonek karena bermain buruk. Kendati demikian, tuntutan Bonek selama ini dianggap Mat sebagai pemecut mental pemain.

"Kenceng itu, Mas, dulu. Kritis mereka (Bonek) sama permainan kita. Sekarang enak, dulu kejam, Mas," kenang Mat. "Tapi itu bagus buat melatih mental, Mas. Ada tekanan dari suporter dan itu memberikan mental tersendiri buat para pemain," sambungnya ketika ditemui di Mess Karanggayam kawasan Tambaksari Surabaya.

Sekarang mental-mental pemain Persebaya akan diuji kembali oleh Bonek seiring kembalinya berkompetisi resmi di Indonesia. Bonek bisa menangkis bahwa anggapan Mat itu salah karena kekritisan tetap ada walau Persebaya sudah berpindah kandang ke Gelora Bung Tomo dari Gelora 10 November. Toh Bonek jugalah yang berperan penting atas kembalinya Persebaya ke kompetisi sepakbola nasional. Beberapa pertandingan Liga 2 pun sudah dilakoni dan diikuti Bonek di kandang maupun tandang. Mari kita kembali Tret Tet Teeeeeeeet!

Sumber lain: JPNN.

Bersambung . .


Tulisan ini adalah bagian keempat dari kumpulan hasil liputan khusus kami ke Surabaya untuk mendalami Persebaya Surabaya dan Bonek.

Kumpulan tulisan mengenai Persebaya bisa dibaca pada tautan di bawah ini:
Tulisan 1: Persebaya, Kota Surabaya, dan Sejarah yang Terukir
Tulisan 2: Proses Pembentukan Budaya Itu Bernama Pembinaan Usia Muda
Tulisan 3: Menuju Era Baru Persebaya dan Tantangan yang Harus Dijawab Manajemen

Sementara kumpulan mengenai Bonek bisa dibaca pada tautan di bawah ini:
Tulisan 4: Fenomena Tret Tet Tet yang Melahirkan Persepsi Bonek
Tulisan 5: Identitas Bonek Melalui Aksi Estafetan
Tulisan 6: Upaya-upaya Bonek untuk Mengubah Stigma Negatif di Media dan Masyarakat
Tulisan 7: Gelora Bung Tomo Belum Bersahabat dengan Bonek
Tulisan 8: Lebih Dekat dengan Perjuangan Andie Peci

Komentar