Frank Lampard, Anak Manja yang Tak Bisa Jauh dari Ibunya

Cerita

by Redaksi 26 25021

Redaksi 26

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Frank Lampard, Anak Manja yang Tak Bisa Jauh dari Ibunya

Peluit tanda pertandingan pun dibunyikan, walau dalam keadaan berduka, Lampard tetap bermain fokus untuk membantu Chelsea meraih kemenangan. Dalam 90 menit permainan, skor imbang 1-1 menjadi hasil yang tak bisa dihindarkan, laga pun harus dilanjutkan ke babak tambahan.

Drama akhirnya terjadi ketika waktu menunjukkan menit ke-98. Wasit menunjuk titik putih setelah Michael Ballack dijatuhkan Sammy Hyppia di kotak terlarang. Ballack kemudian memungut dan menyimpan bola di titik putih seolah ia yang akan menendang. Akan tetapi, Lampard berjalan ke arah Ballack dengan penuh keyakinan, dan seolah-olah mengatakan “aku siap mengeksekusinya.”

Seisi Stamford Bridge pun mendadak hening sesaat. Raut wajah ketegangan terlihat di diri mereka, di diri para penggawa Chelsea, juga diri Lampard sendiri.

Wasit pun meniupkan peluitnya. Dan boom... Lampard berhasil mengecoh Pepe Reina. Ia kemudian berlari ke sudut lapangan, mengeluarkan armband hitam yang bertuliskan nama ibunya, lalu menciumnya sambil menyungkum. Rekan-rekannya mengerubunginya, para fans Chelsea berjingrak, Lampard pun kembali bangkit, kemudian menatap langit dengan air mata yang berlinang, membayangkan wajah sang ibu yang sedang tersenyum terhadapnya.

Sementara di tribun penonton, Frank Lampard senior tidak bisa menyembunyikan rasa harunya. Ketika Lampard berhasil mengeksekusi penalti, kamera pun langsung menyorot keberadaannya yang terlihat sudah berkaca-kaca namun mencoba untuk tetap tegar. Kecupan pun diberikan Lampard terhadap dirinya, ia juga akhirnya berhasil menepati janjinya kepada sang ibu untuk membawa Chelsea ke babak final untuk pertama kalinya.

Curahan Hati Lampard Pasca Ditinggal Sang Ibu

Menjadi anak laki-laki satu-satunya dan kakak bagi kedua adik perempuannya, ternyata tak membuat perilaku manja terhadap ibunya hilang. Hingga hari-hari menjelang kematian Pat, Lampard tetap tidak bisa jauh-jauh dari sosok ibunya itu, padahal ketika itu Lampard telah memiliki dua orang anak hasil dari hubungannya dengan perempuan bernama Elen Revas. Lampard pun bahkan tidak ragu untuk mendeskripsikan dirinya sebagai “anak mami”.

Lampard menuturkan, dalam sembilan bulan sejak kematian Pat, dirinya merasa sangat tidak karuan. Perasaan dan pikirannya kacau, ia bahkan pernah berniat untuk meninggalkan Chelsea, meninggalkan London, meninggalkan kenangan yang telah tertanam bersama Pat di kota itu.

Lampard tak kuasa ketika dirinya membayangkan bermain untuk Chelsea, tetapi tanpa ditemani sosok sang ibu yang biasa menyaksikannya di bangku penonton. Tekad untuk meninggalkan London pun sudah dibulatkannya. Dan hal ini nampaknya terdengar hingga ke telinga mantan bosnya, Jose Mourinho, yang telah melatih Inter Milan saat itu. Mourinho pun dengan senang hati mengajak Lampard kembali bekerja sama bersama dirinya. Namun demikian, hal itu pun akhirnya urung terjadi karena Lampard kemudian merubah pikirannya.

“Mourinho mengajakku untuk reuni bersamanya. Dan Inter Milan adalah klub besar yang tak bisa ditolak. Tetapi tanpa bermaksud mengurangi rasa hormatku terhadap Mourinho dan Inter Milan, saya berubah pikiran dan akhirnya menolaknya. Saya berpikir, akan menjadi sebuah kesalahan besar jika saya pergi. Saya harus tetap berada di sini, di dekat ibu saya.”

“Saya telah menorehkan catatan perjalanan sepakbola saya dengan baik, dan saya mendedikasikannya untuk ayah dan ibu. Mereka selalu hadir dalam pertandingan, kami selalu jalan-jalan bersama, minum bir bersama, makan bersama. Itu menunjukkan kepada dunia jika kami saling mencintai, dan sungguh itu adalah kehidupan terbaik. Tetapi kini telah berakhir, dan ketika saya menyadari itu menjadi sesuatu yang begitu singkat, itu menjadi hal yang paling menyakitkan,” ungkap Lampard kepada dailymail.

Lampard pun mengungkapkan jika dirinya menjadi sosok yang lebih religius semenjak kematian sang ibu, dengan sering pergi ke Gereja.

“Jika orang bertanya, apakah saya memercayai Tuhan? Saya akan menjawabnya, ya. Tetapi saya jarang beribadah. Kemudian ini terjadi, dan saya berubah. Saya telah mencoba untuk menemukan alasan untuk pergi ke gereja. Reaksi pertama saya adalah marah. Perempuan yang paling saya cintai dalam hidup saya, bagaimana ini bisa terjadi terhadapnya, terhadap kami? Beberapa orang di luar sana melakukan perbuatan yang buruk, tetapi kenapa harus ia? Jadi saya pergi ke gereja untuk meredakan emosi saya, sungguh, tetapi itu benar-benar rumit.”

Dalam beberapa pertandingan yang seharusnya ia hadapi dengan fokus dan tenang pun, Lampard menceritakan jika dirinya selalu dipenuhi oleh pikiran tentang ibunya. Ia pun merasakan ketenangan andai Chelsea meraih kemenangan, tetapi, menjadi lebih buruk ketika Chelsea mengalami kekalahan.

Namun, Lampard pun pernah menuturkan kejadian yang cukup unik, beberapa saat menjelang laga final liga Champions melawan Manchester United, ia merasakan hal yang aneh di kakinya. Lampard pun meminta pertolongan pada ibunya dengan berdoa, dan ajaibnya, ia langsung merasakan keadaan yang membaik.

“Ketika saya sedang berdiri di lorong pemain, kaki saya terasa cukup berat. Kemudian saya terpejam, meminta pertolongan kepada ibu, dan berkata: “Ibu, bantu saya di sini, pinjamkan kakimu malam ini”. Konyol, tapi sungguh, saya merasa lebih baik ketika memasuki lapangan. Juga mengenai gol, saya selalu mendedikasikan untuknya.”

Selain itu, ia tidak lupa untuk selalu mengucapkan rasa terima kasihnya kepada orang-orang yang selalu memberikan simpati, juga memberikan semangat untuknya. Termasuk dari para pendukung tim rival.

“Jose Mourinho memberikan support dengan mengirimiku pesan setiap hari, Rafael Benitez pun, juga para fans, termasuk para fans West Ham dan Liverpool, yang notabene tidak menyukaiku, tetapi mereka selalu memberikan dukungan setiap hari. Kami tumbuh sebagai rival, kemudian hal ini terjadi, itu membuatku terharu,” ujar Lampard seperti yang dikutip oleh Metro News.

Hari demi hari pun dilewati Lampard dengan keadaan normal seperti semula, tidak ada kesedihan yang terlalu mendalam seperti di awal-awal sang ibu meninggal. Hingga tujuh tahun lamanya, perasaan itu akhirnya kembali menghinggapinya. Dalam perayaan pernikahannya dengan pacar barunya yang bernama Christine Bleakley di tahun lalu, Lampard mengungkapkan sekali lagi jika ia selalu merindukan ibunya.

“Ini menjadi hari terbaikku, dan saya berharap ibu ada di sini untuk melihat semua ini. Ia pun akan sangat mencintai Christine, sama sepertiku. Saya harus jujur, saya dulu anak mami, dan akan selalu menjadi anak mami, saya sangat merindukannya,” ujar si anak manja itu sambil menitikkan air matanya.

Tetapi bagi Lampard, hidup bukanlah tentang membuang-buang waktu untuk berlarut-larut dalam kesedihan. Kehidupan barunya pun baru saja dimulai. Juga dengan keputusannya menikahi Christine Bleakley yang bukanlah tanpa pertimbangan. Karena ia melihat jika Pat dan Christine adalah kesamaan. Kehangatan dan kegembiraan seperti masa lalu-lah yang kini ia harapkan.

foto: telegraph

Komentar