Pelajaran yang Kita Dapatkan dari Tersingkirnya Islandia

Cerita

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Pelajaran yang Kita Dapatkan dari Tersingkirnya Islandia

Perjalanan epic Islandia harus berakhir. Mereka kalah 5-2 dari tuan rumah Prancis di Stade de France, Saint-Denis. Untuk pertama kalinya di turnamen ini, Prancis bisa mencetak gol di babak pertama, tepatnya mencetak empat gol.

Islandia terlihat kelelahan melawan Prancis yang superior dari segi fisik maupun teknik. Tidak heran, ini terjadi lantaran Lars Lagerbäck dan Heimir Hallgrímsson menurunkan susunan sebelas pemain yang selalu sama dalam lima pertandingan Islandia di Piala Eropa 2016.

Banyak kesalahan yang Islandia lakukan pada babak pertama otomatis membuat pertandingan sebenarnya sudah dimenangkan oleh Prancis pada menit ke-45. Namun, perjuangan mereka dari menit 45 sampai 90 dan penampilan yang lebih baik di babak kedua bisa membuat Islandia memenangkan hati para penonton.

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari tersingkirnya Islandia dari Piala Eropa 2016. Ini adalah empat di antaranya.

Prancis menunjukkan bagaimana seharusnya ‘menghormati’ underdog

Semua orang menyukai underdog. Itu lah kenapa dari dalam lubuk hati terdalam, apapun kesebelasan yang kita dukung, kita selalu ingin agar kesebelasan kuda hitam bisa sukses. Kita bisa ambil contoh Leicester City di Liga Primer Inggris 2015/16 dan juga perjalanan Islandia dan Wales di Piala Eropa 2016.

Frank Leboeuf, mantan bek nasional Prancis, mengatakan bahwa, “Itu adalah bagaimana Anda menunjukkan rasa hormat kepada tim yang lebih kecil – yaitu dengan menang.” Ucapan ini ia lontarkan setelah Inggris dan juga Portugal sepertinya tidak menunjukkan rasa hormat dengan meremehkan Islandia.

Bahkan manajer Jerman, Joachim Löw, melupakan Islandia dengan komentarnya soal pertandingan di semi-final (sesaat setelah Jerman menang atas Italia di perempatfinal). Löw berkomentar bahwa Jerman akan menghadapi Prancis, padahal saat itu Prancis masih harus menghadapi Islandia.

Hal yang bisa kita pelajari dari sini adalah Prancis menunjukkan rasa hormatnya tersebut dengan kemenangan yang meyakinkan, 5-2, atau tepatnya dan khususnya 4-0 di babak pertama. Mereka menghormati Islandia bukan di ruang konferensi pers, di terowongan stadion, atau di ruang ganti pemain, tetapi dengan bola dan kaki para pemain mereka di atas lapangan Saint-Denis.

Tuhan mendengarkan doa kita, setidaknya sampai semi-final

Kita bisa melihat pertandingan Italia melawan Spanyol, Jerman melawan Italia, dan sekarang adalah gilirannya Jerman melawan Prancis. Slot sebelah kanan babak knock-out turnamen yang berat sebelah membuat banyak pertandingan bergengsi yang dijuluki “final kepagian”.

Ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa Tuhan mendengar doa kita semua khususnya di Bulan Ramadan, dengan memberikan hiburan menjelang sahur yang optimal (setidaknya di atas kertas, dan harapannya di atas lapangan juga).

Spanyol dan Italia, dan sekarang Jerman, yang tidak diragukan lagi, adalah kesebelasan negara terbaik di dunia (juara Piala Dunia 2014). Sedangkan Prancis adalah kesebelasan negara unggulan sekaligus tuan rumah turnamen ini.

Kota Marseille yang lebih hangat daripada Saint-Denis (pertandingan antara Prancis dan Islandia dibasahi hujan) membuat kita bisa menikmati, sekali lagi, pertandingan “final kepagian”. Karena mungkin pertandingan final sendiri bukan merupakan pertandingan final ideal dengan pemenang antara Portugal atau Wales yang akan menunggu terlebih dahulu satu hari sebelum Jerman melawan Prancis.

Islandia terus mengingatkan kita kepada Inggris

Fakta bahwa Inggris sudah tersingkir dari Piala Eropa 2016 tidak senantiasa membuat media-media melupakan kata “Inggris” di setiap judul berita mereka.

Sekarang mari kita memposisikan diri sebagai Roy Hodgson, kemudian kita melihat gol demi gol bersarang di gawang Hannes Þór Halldórsson. Islandia dibobol empat kali sampai turun minum, penampilan mereka adalah antonim dari penampilan Islandia saat menghadapi Inggris di Kota Nice, yang mana merupakan pertandingan yang tidak ‘baik’ alias not nice’ (‘Nice’ berarti ‘baik’ dalam Bahasa Inggris).

Islandia terlihat lebih lelah dan ekstra hati-hati, bisa jadi karena sembilan dari 11 pemain di susunan sebelas pemain mereka (kecuali Ragnar Sigurðsson dan Jón Daði Böðvarsson) terancam akan absen di semi-final (jika mereka lolos) jika mendapatkan kartu kuning.

Diturunkannya susunan sebelas pemain yang sama dalam lima pertandingan juga membuat Islandia mencetak sejarah dengan menjadi kesebelasan pertama yang melakukannya sepanjang sejarah Piala Eropa.

Jika ada pertandingan yang bisa menyimpulkan buruknya permainan Inggris, maka babak pertama pada pertandingan Prancis melawan Islandia sangat bisa menunjukkannya.

Namun, Portugal melawan Wales dan Jerman melawan Prancis di semi-final juga bisa sekaligus menunjukkan, sebaliknya, superioritas Inggris. Bagaimana tidak? Inggris lah yang berhasil mengalahkan seluruh kesebelasan peserta semi-final Piala Eropa 2016 setidaknya dalam kurang dari satu tahun ke belakang: Inggris 2-0 Prancis (persahabatan), Inggris 3-2 Jerman (persahabatan), Inggris 1-0 Portugal (persahabatan), dan Inggris 2-1 Wales (fase grup Piala Eropa 2016).

Meskipun kalah, Islandia tetap menang

Mengangkangi Belanda di kualifikasi Piala Eropa 2016 untuk lolos ke turnamen internasional pertama mereka sepanjang sejarah, berstatus sebagai negara terkecil yang pernah lolos ke Piala Eropa (populasi 330.000 penduduk), berada di atas Portugal dan Austria (tapi tidak Hungaria) di fase grup Piala Eropa dengan satu kemenangan dan dua kali imbang, dan menyingkirkan Inggris, negara yang menjadi kiblat sepakbola mereka, di babak 16 besar. Islandia patut dikenang dan dirindukan.

Masih terus bernyanyi dan berkoar di hari yang hujan, para penonton Islandia menunjukkan romantisme yang luar biasa di Piala Eropa 2016 kali ini. Bahkan ketika sudah tertinggal 4-0 dan 5-1, mereka masih menunjukkan semangat, di dalam maupun di luar lapangan hijau.

Mereka memang melakukan banyak kesalahan terutama pada babak kedua, tapi mereka membayarnya dengan hiburan dan daya juang tinggi di babak kedua. Itu semua memang belum cukup untuk membuat Islandia memenangkan pertandingan, tapi pastinya sudah cukup untuk membuat Islandia memenangkan hati kita semua. Terima kasih, Islandia!

Komentar