Widodo Cahyono Putro: Tarkam Dulu Sebelum Melegenda

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Widodo Cahyono Putro: Tarkam Dulu Sebelum Melegenda

Bagi pecinta sepakbola Indonesia, khususnya yang sudah mengikuti perkembangan sepakbola Indonesia 90-an hingga awal 2000-an, nama Widodo Cahyono Putro tentu saja sudah tidak asing lagi. Ia merupakan legenda timnas Indonesia yang identik dengan kesebelasan asal Gresik, Petrokimia Putra.

Saat ini, Widodo melanjutkan kariernya sebagai pelatih. Setelah sempat menjadi asisten pelatih timnas Indonesia, ia mulai melebarkan sayap dengan menukangi level klub. Di Indonesia Soccer Championship 2016, ia menjadi pelatih kepala Sriwijaya FC yang sebelumnya ditukangi oleh Benny Dollo.

Usai menjalani pertandingan pertama ISC menghadapi Persib Bandung, kami berkesempatan mengenal lebih jauh sosok pelatih kelahiran Cilacap ini. Ia menceritakan banyak hal, bermula dari awal kariernya, hingga gaya kepelatihan yang ia usung sekarang ini.

Berawal dari Tarkam

Nama Widodo langsung mencuat di awal kemunculannya di sepakbola nasional. Dua tahun setelah membela klub Galatama asal Jakarta, Warna Agung, Widodo yang kala itu masih berusia 21 tahun sudah dipanggil ke timnas Indonesia untuk Pra-Olimpiade 1992.

Warna Agung ketika diperkuat Widodo memang menempati juru kunci. Tapi dari 20 gol yang diciptakan Warna Agung dalam semusim (37 pertandingan), Widodo berhasil mencatatkan 12 gol. Inilah yang membuat dirinya dipanggil timnas.

Widodo mengakui kemampuan yang dimilikinya merupakan bakat alam, terlebih kampung halamannya merupakan penggila bola. Ia tak pernah mendapatkan pelatihan atau pembelajaran khusus tentang sepakbola di usia dini.

“Waktu itu saya, kan, baru lulus sekolah. Buta-lah tentang sepakbola yang betul bagaimana. Kalau dulu SSB (Sekolah Sepak Bola) jarang, gak kayak sekarang,” ujar Widodo saat ditemui di hotel tempat Sriwjaya FC menginap.

“Naluri, terus keluarga. Di kampung saya itu pecinta sepakbola, semua itu, luar biasa. Jadi, ya ada bakat. Dan waktu itu memang ada kemauan dari saya sendiri. Kalau sekarang enak ada SSB,” lanjut Widodo. “Tapi enaknya dulu persaingan lebih sedikit, siapa yang niat itu yang bakal jadi. Sekarang, orang bisa dibentuk lewat SSB.”

Widodo menceritakan bagaimana kemampuannya dalam mengolah si kulit bundar diasah. Bungsu dari 12 bersaudara ini mendapatkan ‘kompetisi’ sejak dini dengan bermain sepakbola tarkam atau sepakbola antar kampung. Bahkan ia bisa bermain di Warna Agung berkat penampilannya pada sebuah turnamen tarkam.

“Dulu di daerah saya fasilitas lumayan komplit. Fasilitas olahraga ada semua; ada lapangan tenis, ada lapangan sepakbola, lapangan bulutangkis, perkebunan juga. Rumah sama lapangan sepakbola itu hadap-hadapan. Main sama kakak-kakak saya. Kakak-kakak saya kalau main ke Bandung, saya juga gitu. Main tarkam ke luar kota. Biasanya memang ke Jawa Barat seperti Ciamis, Tasik… Makanya saya bisa Bahasa Sunda,” tutur pria kelahiran 8 November 1970 ini.

“Setelah lulus SMEA, saya main ke Warna Agung. Saya ke Warna Agung ditemukan Warta Kusuma waktu tarkam di Tasik,” tambahnya. “Saya tarkam itu sama kakak-kakak saya, biasanya berempat. Dulu ada namanya klub Persiban, Persatuan Sepakbola Banjar. Saya tinggal di Jawa Tengah, tapi mainnya di Banjar. Waktu di Tasik, memang saya cetak banyak gol. Langsung ditawarin ke Warna Agung sama Warta Kusuma. Tapi saya masih sekolah. Baru tiga bulan kemudian, setelah lulus, saya ke Warna Agung waktu tahun 89.”

Widodo mengatakan berkat bakat yang dimilikinya ia sudah bermain tarkam sejak ia masih di Sekolah Dasar, bahkan dengan telanjang kaki. Namun ia mengakui kemampuannya tak akan meningkat jika tak mendapatkan polesan dari salah satu pelatih besar Indonesia yang kala itu menjadi pelatih Warna Agung, Endang Witarsa. Bersama Warna Agung, Widodo mulai lebih mengenal sepakbola, terlebih dilatih oleh pelatih yang juga merupakan seorang dokter gigi tersebut.

“Saya ke sana (Warna Agung) datang dan belajar. Meskipun Warna Agung waktu itu paling bawah di Galatama, tapi dari situ saya baru mulai mengenal sepakbola yang betul sama dokter Endang Witarsa. Pengajaran, teknik dasar, ball skill, banyak lah yang sebelumnya saya tidak dapat,” kata Widodo.

Warna Agung sendiri saat itu merupakan kesebelasan yang dimiliki seorang pemilik pabrik cat bernama Benny Mulyono. Nama Warna Agung pun merupakan nama pabrik cat yang dimilikinya. Sejumlah pemainnya berstatus karyawan pabrik, namun Widodo tidak. Ia datang dengan status pesepakbola semi-pro.

“Di Warna Agung itu memang ada yang karyawan. Tapi ada juga yang semi professional khusus untuk bola. Saya yang khusus untuk bola. Saya ke Jakarta waktu itu untuk main bola,” papar pelatih yang dulu bermain sebagai penyerang ini.

Lewat bermain sepakbola sebagai pemain semi-pro, Widodo mampu menghidupi dirinya sendiri. Meski awalnya terbilang kecil, namun lama kelamaan mulai mendapatkan bayaran lebih, khususnya ketika ia sudah berstatus pemain timnas.

“Tiga bulan pertama 50 ribu. Waktu tahun 89, 100 ribu per bulan, terus naik-naik. Setelah berstatus pemain timnas, 125 ribu per bulan. Tapi kadang-kadang mingguan Pak Dokter [Endang Witarsa] ngasih uang jajan, katanya untuk jamu,” ungkapnya. “Waktu itu dengan uang segitu saya bisa nabung, bisa juga kirim ke orang tua.

Dari Warna Agung, Widodo kemudian hijrah ke Gresik untuk membela Petrokimia Putra. Dan sejak berstatus pemain pro, ia tak lagi mencicipi sepakbola tarkam yang sudah membesarkannya. Ia tak mau terjadi sesuatu padanya mengingat bermain tarkam memiliki banyak risiko.

“Kalau eksebisi, oke, karena kita main relaks. Beda kalau tarkam, selalu dituntut untuk menang, jadi semua pemain ngotot-ngotot. Saya protect diri, di Indonesia jarang, kan, yang mengasuransikan kakinya. Tarkam kita gak tau lapangannya bagaimana, penontonnya di pinggir lapangan bagaimana, penonton bawa pisau, bawa ini, bawa itu…. Waktu dulu masih SMP saya lihat itu antar penonton berantem, ngeri. Makanya setelah jadi pro, saya enggak lagi. Kalau eksebisi atau acara 17an, oke,” ujarnya.

Halaman berikutnya, Widodo Tentang Gol Saltonya

Komentar