Sinisme di Tengah Euforia Leicester City

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Sinisme di Tengah Euforia Leicester City

Sebuah kisah dongeng. Itulah yang menjadi tajuk utama di seluruh penjuru dunia ketika Leicester City berhasil menjadi kampiun Liga Primer Inggris. Dari tim yang hampir saja terdegradasi di musim sebelumnya, justru kemudian berhasil menjadi juara. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, sebuah cerita yang akan selalu terkenang oleh generasi saat ini, dan akan jadi warisan berharga bagi generasi selanjutnya.

Pujian dan ucapan selamat kemudian terus mengalir untuk kesebelasan asal East Midlands tersebut. Tidak hanya datang dari mantan pemain mereka, aktor-aktor sepakbola lain juga memberikan tidak ketinggalan untuk memberikan selamat. Tidak hanya itu, para politisi juga ikut memberikan ucapan selamat kepada Leicester, mulai dari Perdana Menteri Inggris, David Cameron, hingga pemimpin pemerintahan Italia, Matteo Renzi.

Namun seperti yang sering terjadi dalam kehidupan, bahwa kita tidak bisa untuk selalu menyenangkan semua orang. Di antara pihak-pihak yang ‘ikut bahagia’ dengan kesuksesan Leicester, ada juga mereka-mereka yang justru sinis dan memberikan komentar yang bisa dibilang negatif terkait keberhasilan yang diraih oleh Jamie Vardy dan kawan-kawan. Berikut diantaranya.

Manuel Pellegrini – Manajer Manchester City

"Saya pikir, Leicester menjadi juara bukan juga menjadi contoh yang bagus (bagi tim lain). Mereka adalah tim yang solid dengan jumlah pemain yang cedera sedikit. Mereka layak mendapatkan pujian besar, tapi saya pikir, mereka tidak akan berada di atas terus selama delapan atau 10 tahun. Setiap tim besar punya uang sebagai fondasi kekuatan tim."

"Apa yang Leicester lakukan, saya pikir, sama seperti yang kami lakukan di Villarreal, ketika kami finis di urutan kedua (Liga Spanyol musim 2007/2008)."


Martin O’Neill – Mantan manajer Leicester City 1995-2000

Menurut sudut pandang saya secara pribadi, kesuksesan tersebut hanya akan terjadi sekali. Dan akan sulit untuk mengulangi apa yang mereka lakukan. Ini tentunya akan menjadi sebuah ‘wakeup call’ bagi tim-tim besar Liga Primer. Mereka terpeleset musim ini, tetapi musim depan mereka akan lebih kuat lagi. Kekuatan finansial yang akan banyak berbicara.”

Frank Clark – Ketua Club Nottingham Forest

Apa yang Leicester lakukan harus diakui adalah sebuah pencapaian yang besar. Tapi kesuksesan mereka tidak bisa dibandingkan dengan kesuksesan kami. Kami baru promosi dari Championship, kemudian kami memenangkan titel juara, dan dua kali memenangkan Piala Champions (kini Liga Champions).”

John McGovern- Kapten Nottingham Forest saat meraih gelar Liga Champions dua tahun beruntun (1978/1979, 1979/1980)

(Kesuksesan Leicester) Bukan sebuah bandingan dengan kesuksesan yang dialami oleh Forest. Kami langsung menjuarai liga ketika kami baru saja promosi.”

***

Selalu ada pihak yang tidak senang ketika ada orang lain bahagia. Suatu sikap yang buruk memang. Akan tetapi hal tersebut akan selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Selalu saja ada pihak yang memandang rendah ketika seseorang meraih kesuksesan.

Tapi apabila dikaji lebih lanjut, pernyataan-pernyataan di atas justru mengundang diskusi lebih lanjut. Semua opini yang dikemukakan adalah komparasi terhadap keadaan yang terjadi sebelumnya. Membandingkan antara kesuksesan Leicester dengan keberhasilan yang diraih oleh suatu klub di masa sebelumnya.

Berkaca dari keadaan Manuel Pellegrini di Villarreal pada musim 2007/2008, misalnya. Kala itu kesebelasan yang bermarkas di stadion El Madrigal tersebut memang berisikan ‘pemain buangan’. Mulai dari Giuseppe Rossi, Guillermo Franco, Diego Lopez, dan duo Prancis yang berada di penghujung karier, Pascal Cygan dan Robert Pires. Hampir serupa dengan keadaan Leicester musim ini bukan?

Lalu ada Kesamaan lain ada pada penyerang utama kedua tim. Baik Jamie Vardy maupun Nihat Kahveci sempat divonis bahwa kariernya akan menemui jalan buntu. Akan tetapi keduanya justru tampil hebat dan mencetak banyak gol. Namun ada gambaran besar yang justru luput dari pengamatan Pellegrini. Villarreal hanya mengakhiri musim sebagai runner-up, sementara itu Leicester nyatanya berhasil keluar sebagai juara.

Sementara itu komentar-komentar dari kubu Nottingham Forest bisa jadi memang banyak dipengaruhi oleh rivalitas kedua kesebelasan dan juga nostalgia terkait kejayaan masa lalu yang sulit terulang kembali oleh Forest yang kini selalu kesulitan bahkan hanya untuk promosi ke Premier League.

Dan apabila dibandingkan antara Leicester dengan skuat keajaiban milik Nottingham Forest tentunya jauh berbeda. Ketika di Division Two yang kala itu masih menjadi level kedua kompetisi sepakbola Inggris, Forest sudah ditangani oleh manajer sekelas Brian Clough yang sudah berpengalaman. Sementara itu di Championship hingga promosi ke Liga Primer, mereka ‘hanya’ ditangani oleh Nigel Pearson yang lebih banyak menghabiskan waktunya menangani tim di divisi Championship. Ibaratnya, Brian Clough yang menangani Forest kala itu mirip dengan Jose Mourinho yang kemudian ditunjuk sebagai pelatih di divisi dua.

Dari sisi skuat juga berbeda. Leicester yang hanya mengandalkan pemain kelas dua dan mereka-mereka yang terbuang. Forest bahkan sejak di Division Two sudah diperkuat oleh para talenta hebat, sebut saja Martin O’Neill, Viv Anderson, Peter Shilton, dan juga mantan pelatih Timnas Indonesia, Peter Withe. Maka membandingkan kesuksesan Leicester musim ini dengan kejayaan masa lalu Forest bukanlah komparasi yang sesuai.

Menanggapi tanggapan-tanggapan negatif tersebut, tentu yang harus dilakukan Leicester adalah membuktikan diri. Bagi manajer Claudio Ranieri bisa jadi ini adalah pekerjaan yang sudah biasa ia lakukan. Ia selalu saja berhasil membuktikan diri dan membungkam para kritikusnya sejak berkarier di Italia, Spanyol, maupun Prancis.

Sama seperti yang ia lakukan kepada Jose Mourinho. Di mana ia membuat Mourinho memberikan pujian setinggi langit kepada dirinya pasca membawa Leicester menjadi juara. Padahal Mourinho sempat menyebut bahwa Ranieri adalah orang tua yang tidak mengingkan kemenangan.

Tapi yang terpenting, apa yang dilakukan Leicester City patut kita jadikan contoh dan pelajaran. Apa yang dikatakan orang, belum tentu benar. Seperti kata sebuah slogan apparel olahraga, If no one thinks you can, then you have to.


Foto : greatgoals

Komentar