Roland Duchâtelet, Jalan Charlton Athletic Menuju Keterpurukan

Cerita

by redaksi

Roland Duchâtelet, Jalan Charlton Athletic Menuju Keterpurukan

Pendukung mana yang tak sedih melihat timnya selalu menjadi bulan-bulanan lawan ketika berlaga? Mendapatkan pemilik baru seakan menjadi mimpi buruk yang kini menjadi kenyataan bagi para pendukung The Addicks, julukan Charlton Athletic. Sejak dibeli oleh miliuner dan politisi asal Belgia, Roland Duchâtelet, pendukung Charlton merasa bukan perubahan positif yang banyak mereka dapatkan, melainkan sebaliknya.

Saat ini, Charlton berada di dasar klasemen Divisi Championship. Dari 34 pertandingan, The Addicks cuma mampu menang tiga kali di The Valley, markas Charlton, dan dua kali di kandang lawan. Artinya, sudah 29 kali pada musim ini pendukung Charlton tak melihat kesebelasannya menang.

Tak hanya tim yang sering menderita kekalahan, manajemen klub pun kini menjadi masalah bagi para pendukung Charlton. Duchâtelet, yang mengambil alih Charlton pada Januari 2014 lalu, baru dua kali menyaksikan timnya berlaga. Kebijakan-kebijakannya untuk klub dianggap gagal total. Mulai dari penunjukan direksi, pelatih, dan perekrutan pemain, yang berimbas pada hasil di lapangan.

Pendukung Charlton juga merasa tidak ada kestabilan dalam kursi kepelatihan. Dalam waktu kurang dari 2 tahun, Duchâtelet telah mengganti empat pelatih. Manajer Chris Powell yang sukses membawa Charlton promosi dari League One ke Divisi Championship dan jadi pahlawan publik The Valley, diganti oleh Jose Riga, pelatih asal Belgia. Mulai saat itu peran manajer diganti oleh pelatih kepala atau ‘head coach’. Dua bulan kemudian, Riga yang dirasa kurang memberi hasil yang baik, diganti oleh sesama pelatih Belgia yaitu Bob Peeters.

Baca juga: Chris Powell adalah pelatih kulit hitam kesekian yang dipecat. Ini menimbulkan adanya prasangka kalau pelatih kulit hitam masih belum diterima di sepakbola Inggris. Selengkapnya baca di sini.

Peeters hanya tujuh bulan menukangi Charlton. Kali ini manajemen memutuskan untuk mengontrak pelatih asal Israel yang sebelumnya melatih Standard Liege, Guy Luzon. Sembilan bulan di The Valley, mantan pemain Maccabi Tel Aviv itu juga didepak oleh manajemen Charlton setelah hanya memenangi dua laga dalam 16 laga yang dijalani.

Pemilik asal Belgia ini tampaknya menyukai orang-orang asal tanah airnya untuk bekerja di klubnya. Klub yang meminjam seragam Arsenal saat awal-awal pendirinnya ini menunjuk Karel Fraeye yang sebelumnya menjadi asisten Jose Riga untuk menjadi pelatih interim. Tiga bulan berjalan, Charlton kembali menunjuk Jose Riga kembali di awal tahun 2016.

Ulah manajemen yang kebablasan juga menambah pusing fans Charlton. CEO Charlton, Katrien Meire, harus berurusan dengan para penggemar Charlton setelah ia menyebut mereka sebagai ‘customer’ . Bahkan ketidaksukaan pendukung terhadap Meire ditunjukkan dengan adanya surat pengunduran diri palsu Meire dari jabatannya sebagai direksi Charlton yang didaftarkan ke Company House. Company House adalah badan yang mengawasi perusahaan-perusahaan di seluruh Britania Raya.

Support The Team, Not The Regime! Spanduk protes atas rezim Duchatelet di Charlton yang makin bertebaran
Support The Team, Not The Regime! Spanduk protes atas rezim Duchatelet di Charlton yang makin bertebaran

Kegelisahan pedukung Charlton ini sama seperti yang diutarakan oleh Chris Burton, seorang penggemar yang telah mendukung The Valliants-julukan Charlton- sejak 1980-an. Seperti banyak penggemar Charlton lainnya, Chris khawatir tentang bagaimana klub yang dijalankan saat ini.

"Masalah dengan Duchatelet adalah bahwa ia dianggap akan melakukan percobaan dengan klub kami. Hanya beberapa bulan setelah membeli klub, ia memecat legenda klub, Chris Powell, dan langsung kehilangan dukungan dari banyak penggemar setia. Dia telah menginvestasikan uang di Charlton, namun jarang menyaksikan permainan tim. Pemain yang bermain baik di League One dijual satu per satu, dan mereka telah digantikan oleh pemain yang kurang bagus dari jaringan milik Duchatelet untuk klub-klub Eropa. Percobaan (Duchatelet) belum berhasil, " ungkapnya kepada Guardian.

Chris juga khawatir tentang ketidakstabilan di kursi kepelatihan yang terjadi sejak Duchâtelet mengambil alih klub. Menurutnya juga, pergantian peran manajer menjadi head coach (pelatih kepala) mengindikasikan bahwa seluruh urusan transfer atau pembelian pemain dipilih oleh direksi, bukan oleh kebutuhan manajer/pelatih kepala.

Seperti Chris Burton, fans Charlton yang muak dengan berbagai permasalahan yang timbul sejak era Roland Duchâtelet ini mendirikan kelompok yang bernama Coalition Against Roland Duchâtelet (CARD). CARD sejauh ini sudah menggalang dukungan yang besar untuk melawan kebijakan pemilik klub dan ingin klubnya kembali seperti semula. Bahkan, mereka rela menempuh perjalanan jauh ke Belgia hanya untuk menyampaikan protes kepada sang pemilik klub di pertandingan Liga Belgia, Sint-Truident vs. Zulte Waregem.

Aksi protes fans Charlton hingga menjangkau Belgia, karena pemilik klub tidak pernah hadir saat Charlton bermain
Aksi protes fans Charlton hingga menjangkau Belgia, karena pemilik klub tidak pernah hadir saat Charlton bermain

Fans Charlton ingin klubnya kembali lagi. Mereka kemudian mendesak Roland Duchâtelet menjual sahamnya kepada fans, namun Roland menolak. Pria berusia 69 tahun itu menganggap dirinya hanya butuh waktu dan usaha yang lebih banyak agar Charlton bisa kembali bangkit.

“Ini telah menjadi musim yang mengecewakan bagi semua orang yang berhubungan dengan Charlton dan dewan klub bertanggung jawab untuk itu. Beberapa hal, seperti jumlah (pemain) cedera belum pernah terjadi sebelumnya, kita tidak bisa meramalnya. Tapi kami juga telah membuat kesalahan dalam rekrutmen, kesalahan yang langsung usahakan atasi di Januari (ini),” ujar Roland.

Duchâtelet sepertinya sadar bahwa tim butuh kestabilan. Ia menunjuk kembali Jose Riga yang dulu pernah ia pecat pada Januari lalu. Namun, Charlton mungkin sudah kepalang hancur. Mental pemain yang kadung rusak membuat pelatih manapun butuh waktu lebih. Periode kedua Riga dimulai, Charlton dihajar Hull City 0-6. Pekan berikutnya imbang melawan Blackburn 1-1, dan akhirnya optimisme timbul setelah Charlton menang 4-1 atas Rotherham.

Alih-alih mulai merawat hasil positif, The Addicks kemudian kalah 4 kali dan 1 kali imbang setelah kemenangan itu. Suporter yang sudah pesimis, lantas terus mendesak Duchâtelet untuk angkat kaki dari Charlton. Sementara bagi Duchâtelet, ia perlu waktu untuk menebus kesalahannya selama 2 tahun kebelakang.

Aksi protes terus digalakan para pendukung Charlton. Mereka membawa spanduk-spanduk agar Duchâtelet segera pergi dari klub dan dipasang setiap Charlton bertanding, leaflet-leaflet disebar, aksi protes juga hingga memboikot semua barang yang dijual di stadion, seperti match programme, makanan, minuman, juga merchandise. Para suporter berpendapat dengan begitu, manajemen klub akan sadar bahwa tanpa suporter sebuah klub bukanlah apa-apa.

Kisah yang terjadi di Charlton Athletic ini merupakan salah satu contoh bagaimana pemilik asing lagi-lagi menjadi masalah klise di sepakbola Inggris. Lagipula, siapa pengusaha yang tidak tertarik berinvestasi di klub sepakbola Inggris meskipun hanya klub level kedua?

Suporter yang loyal, harga tiket yang lebih tinggi dari negara lainnya, uang promosi serta impian bermain di Premier League dan mendapat jatah hak siar yang spektakuler membuat klub Inggris seperti umpan bagi ikan-ikan serakah yang lapar sebelum akhirnya terjerat pada masalah besar. Klub-klub lain seperti Cardiff City, Leeds United, Hull City, pernah mendapat masalah yang hampir serupa dan masih menunggu perubahan yang terjadi setelah investasi asing masuk kedalam klub mereka.

Kini pendukung Charlton tinggal berharap bahwa mereka masih berada dalam mimpi. Ketika terbangun, mereka melihat keadaan menjadi baik-baik saja dan menyadari bahwa apa yang mereka rasakan dua tahun kebelakang hanyalah mimpi buruk belaka.

Foto: dreamteamfc

[tr]

<fva>

Komentar