Kisah "The White Pelé" yang Mempertaruhkan Hidupnya untuk Sepakbola

Cerita

by redaksi

Kisah

Siapa yang tak kenal Zico? Pemain bernama lengkap Arthur Antunes Coimbra ini merupakan salah satu gelandang serang terbaik Brasil pada masanya.

Zico adalah pemain yang kreatif. Selain punya kemampuan teknis yang baik, ia juga punya visi permainan yang nyaris sempurna. Atas kemampuannya tersebut, FIFA pernah memberikan penghargaan "Kings of Free-kick" karena kemampuannya mengirimkan tendangan ke gawang atau umpan.

“Sepanjang karier, saya selalu berusaha untuk terus meningkat agar menjadi salah satu pemain terbaik. Soalnya, saya merasa dianugerahi bakat oleh Tuhan dan saya harus memaksimalkannya,” ungkap Zico seperti dikutip dari BBC.

Zico bukan cuma piawan dalam mengirimkan umpan, salah satu tugasnya sebagai gelandang serang, ia pun mampu menyelesaikan setiap peluang dengan baik. Itu terbukti dari ketika dirinya memperkuat Flamengo sejak tahun 1971 hingga 1983. Ia telah mencetak 123 gol dari 212 pertandingan yang dijalaninya bersama tim asal Brasil tersebut.

Kemampuannya sebagai playmaker jempolan menempatkannya dalam deretan pemain terbaik sepanjang masa yang dikeluarkan oleh FIFA pada 2010. Ia menepati peringkat kedelapan di bawah pemain seperti Pele, Alfredo Di Stefano, Diego Maradona, Franz Beckenbauer, Johan Cruyff, Michel Platini dan juga Garrincha.

Zico membela timnas Brasil sebanyak 71 pertandingan. Ia cukup produktif dengan mencetak 48 gol dan menjadi pencetak gol terbanyak keempat timnas Brasil sepanjang masa.

Namun, legenda Brasil ini juga dikabarkan tidak lepas dari penggunaan doping. Pada usia muda, ia sering disuntik setiap 2-3 kali setiap bulannya. Zico menjelakan bahwa doping membuat dirinya semakin kuat dalam menjalani latihan.

Piala Dunia 1978 yang digelar di Argentina merupakan debut pertamanya. Setelah itu, berturut-turut ia membela timnas pada Piala Dunia 1982 di Spanyol, dan Piala Dunia 1986 di Meksiko. Meski dianggap hebat, tapi Zico tak pernah mengantarkan Brasil menjadi juara Piala Dunia. Padahal, Brasil sempat dihuni para pemain top seperti Socrates dan Falcao pada Piala Dunia 1982.

Bahkan pada Piala Dunia 1986 di Meksiko, awalnya ia meminta kepada pelatihnya pada saat itu untuk tidak menyertakannya. Pada saat itu Zico sedang mengalami cedera lutut yang cukup serius. “Aku harus melakukan banyak latihan. Saya tidak bisa berlatih dengan rekan-rekan dan saya harus berlatih terpisah untuk membangun otot-otot saya,” cerita Zico.

Prestasi tertinggi Zico pada saat memperkuat Brasil di Piala Dunia ialah ketika membawa skuat Selecao menempati peringkat ketiga dalam Piala Dunia 1978. Namun untuk karier pribadi, dirinya pernah menjadi pemain terbaik dunia pada tahun 1981 oleh Guerin Sportivo, El Mundo, EL Balon, dan Placar Magazine. Zico juga mendapat penghargaan sebagai pemain terbaik pada 1983 oleh World Soccer Magazine.

Permainannya yang menawan dengan bakat istimewanya dalam mengolah si kulit bundar membuat dirinya sering disamakan dengan pendahulunya Pele. Bahkan Zico kerap disebut sebagai “The White Pele”. Pele sendiri sempat mengakui bahwa level permainan yang dimiliki oleh Zico hampir menyamainya. “Sepanjang sejarah, pemain yang mendekati dengan saya ialah Zico,” ungkap Mutiara Hitam Brasil tersebut seperti dikutip dari The National.

Namun Zico sebenarnya tidak setuju dengan anggapan tersebut. “Saya tidak tahu mengapa semua orang menyebut saya sebagai ‘Pele Putih’. Saya tidak menyukainya. Saya bukanlah Pele Putih, saya hanyalah Zico,” ungkap legenda Brasil tersebut seperti dikutip dari Times of India.

Semasa bermain di klub, Zico sempat malang melintang dari Benua Amerika, Eropa, dan juga Jepang. Awal kariernya pada saat itu ketika bermain bersama Flamengo selama 12 musim. Zico juga pernah merasakan ketatnya Serie A ketika berseragam Udinese pada musim 1983 hingga 1985. Pada saat itu dirinya bermain dalam 39 pertandingan dan mencetak 22 gol.

Zico kembali ke Flamengo pada 1985 dan bermain selama empat musim. Setelahnya ia menutup karier sebagai pemain bersama Kashima Antlers di Jepang pada 1994. Di akhir kariernya tersebut, total Zico menyumbangkan 35 gol dari 45 penampilannya bersama Kashima.

Setelah gantung sepatu, Zico tak serta merta meninggalkan dunia sepakbola yang membesarkan namanya. Setelah itu ia mengawali karier sebagai pelatih pada 1999 di Kashima.

Setelah meninggalkan Kashima, Zico kemudian membesut beberapa tim di Eropa seperti Fenerbache, CSKA Moscow, dan juga Olympiacos. Tidak hanya membesut sebuah tim, Zico juga dipercaya sebagai pelatih timnas ketika membesut Jepang dan juga Iraq.

Kini di usianya yang menginjak 63 tahun Zico masih setia dengan pekerjaannya di sepakbola. Zico saat ini menjadi manajer dari salah satu peserta India Super League yaitu FC Goa. Selain menjalani karier kepelatihan, ia juga berniat untuk mengembangkan bakat yang dimiliki oleh para pesepakbola di India.

“Kita semua bisa memberikan bantuan melalui pengalaman kaya yag kami miliki, namun kebutuhan untuk tumbuh itu semua berada di tangan Anda. Saya di sini untuk memberikan bantuan saya untuk pesepakbola India baik yang amatir maupun pemain professional. Tetapi jika sepakbola India benar-benar ingin tumbuh, itu tergantung pada mentalitas pemain sepakbola India,” pungkas Zico.

sumber : BBC, The National, FIFA

<fva>

Komentar