Hilangnya Pemain Asing Asia Tenggara di Sepakbola Indonesia

Cerita

by

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Hilangnya Pemain Asing Asia Tenggara di Sepakbola Indonesia

Dalam pertandingan amal yang digelar di Solo dan Yogyakarta akhir pekan lalu, terselip satu nama yang bisa dibilang hilang dari ingatan publik sepakbola Tanah Air. Ia adalah Muhammad Ridhuan, mantan penggawa kesebelasan negara Singapura yang turut terlibat dalam penggalangan dana bagi insan sepakbola Indonesia tersebut.

Ridhuan yang berasal dari Singapura bersama rekan senegaranya, Noh Alam Shah, menjadi kunci sukses Arema memenangi Liga Super Indonesia pada tahun 2010. Yang paling teringat tentunya adalah gol akrobatik Noh Alam Shah yang menerima umpan dari Ridhuan di Derby Malang melawan Persema Malang pada musim tersebut.

Nantikan video wawancara ekslusif kami dengan Ridhuan Muhammad, hanya di panditfootball.com

Sejak Ridhuan kembali ke Singapura pada 2013 dan Alam Shah menyusul setahun kemudian, praktis tidak ada lagi pemain asal negara Asia Tenggara lain yang bermain di kancah sepakbola Indonesia.

Sebelum Ridhuan dan Alam Shah, publik tanah air mengenal nama-nama seperti Shahril Ishak, Baihakki Khaizan, Mustafic Fachruddin, Precious Emeujiraye, Piphat Tongkanya, Sinthaweechai ‘Kosin’ Hathairattanakool, Suchao Nutnum, Phaitoon Thiabma, Pradith Taweechai, hingga generasi pertama seperti David Lee dan Fandi Ahmad.

Cap ‘Legiun Asing’ dan Kualitas yang Dianggap Setara

Meskipun berasal dari rumpun yang sama, dari regional yang juga satu zona, para pemain asal Asia Tenggara tetap dihitung sebagai salah satu dari pemain yang akan melengkapi kuota pemain asing. Sempat juga ada aturan khusus yaitu pada era awal Liga Super, di mana komposisi pemain asing adalah dua pemain Asia dan tiga pemain non-Asia.

Namun setelahnya, operator kompetisi sepakbola Indonesia belum pernah benar-benar membuat regulasi yang sempurna terkait pemakaian pemain asal Asia Tenggara. Soalnya kategori pemain asal Asia yang dimasukan membuat klub lebih memilih untuk memakai pemain dari Jepang, Korea Selatan, atau Timur Tengah.

Karena terdaftar sebagai pemain asing, para pemain asal Asia Tenggara ini mendapatkan perlakuan yang serupa seperti pemain asing yang lain, mulai dari nilai kontrak hingga fasilitas yang disediakan oleh klub. Meskipun tidak mencapai angka fantastis seperti yang diterima oleh pemain asing asal Amerika Latin atau Afrika, nilai kontrak para pemain asing asal Asia Tenggara berada di taraf yang lebih tinggi dibandingkan para pemain lokal Indonesia.

Kualitas juga menjadi permasalahan lain. Ridhuan dan Alam Shah memang bermain sangat spesial ketika pertama kali mendarat di Indonesia. Namun terjadi penurunan kualitas di tahun-tahun terakhir mereka di Indonesia, bahkan seakan tidak jauh berbeda dengan kualitas yang dimiliki oleh para pemain lokal.

Yang paling kentara tentunya adalah kasus Shahril Ishak bersama Persib Bandung. Datang sebagai kapten kesebelasan negara Singapura pada Liga Super tahun 2010, entah  karena kesulitan beradaptasi atau memang hanya demikian saja kemampuan dari Shahril, ia tampil tidak memuaskan hingga Daniel Roekito, pelatih Persib kala itu, terpaksa membongkar pasang formasi tim agar bisa mengakomodasi kemampuan Shahril.

Keharusan untuk Menang

Hal ini bisa jadi poin utama yang menjadi alasan mengapa tren penggunaan pemain asing asal Asia Tenggara sudah tidak digunakan lagi. Sudah menjadi pengetahuan umum kalau tim-tim di kancah sepakbola Indonesia selalu memasang target tinggi dalam keberjalanan setiap musim. Dengan kata lain, tim dibebankan target untuk menjadi juara, dan untuk juara hal yang paling sederhana adalah memenangi setiap pertandingan.

Pengurangan kuota pemain asing menjadi tiga pemain, membuat tim-tim di sepakbola Indonesia kemungkinan besar akan memilih pemain yang benar-benar berkualitas dan dibutuhkan untuk meraih kemenangan dalam setiap pertandingan.

Legiun asing asal Amerika Latin dan Afrika tetap menjadi favorit karena kualitas mereka yang sudah terbukti sejak lama. Beberapa tim juga sudah mulai menggunakan pemain asing asal Benua Eropa. Beberapa pemain Asia pun yang dipilih berasal dari Asia Timur, seperti Yu Hyun-Koo dan Yoo Jae-Hoon yang berasal dari Korea Selatan.

Logika sederhana yang mungkin dipakai oleh manajemen klub-klub di sepakbola Indonesia adalah, untuk apa memakai pemain asing yang berasal dari Asia Tenggara dengan kualitas yang tidak jauh berbeda, di sisi lain pemain asing asal zona lain yang lebih berkualitas bisa tetap didapatkan?

Karena apabila dihadapkan dengan sebuah pilihan daripada mengontrak penyerang Thailand Teerasil Dangda yang memiliki nilai kontrak sebesar 38 juta sebulan, lebih baik mengontrak Patrick Dos Santos yang diperkirakan mendapatkan penghasilan sebesar 40 juta dalam setiap bulannya.

***


Masalah kesetaraan kualitas sebenarnya belum tentu benar, karena nyatanya dalam ranking dunia FIFA negara-negara Asia Tenggara lain berada di peringkat yang lebih baik dibandingkan Indonesia. Ditambah lagi, meskipun ada kasus Shahril Ishak dan Agu Casmir, rekam jejak pemain asing asal Asia Tenggara di sepakbola Indonesia terhitung sangat bagus.

Dengan formula ASEAN Economic Community yang diusung oleh organisasi internasional Asia Tenggara tersebut sejak akhir tahun lalu, memudahkan permasalahan barrier terutama dalam hal bea dan paspor. Bisa jadi dalam beberapa waktu kedepan bisa jadi kita melihat kembali para pemain asal Asia Tenggara kembali berlaga dalam kompetisi sepakbola Indonesia; Tentunya dengan catatan kompetisi kembali digulirkan.

Foto : ongisnade

Komentar