Kebebasan Berekspresi Dibungkam, Ultras Roma dan Lazio Boikot Pertandingan

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Kebebasan Berekspresi Dibungkam, Ultras Roma dan Lazio Boikot Pertandingan

Betul apa yang dikatakan Johnny Palomba, penyiar radio lokal di Kota Roma, bahwa pertandingan derby tanpa adanya kehadiran suporter di masing-masing curva rasanya seperti sebuah hidangan vegetarian namun tidak menyertakan tomat.

Meski menang 2-0 atas Lazio dan menyumbangkan satu gol, tapi ada perasaan yang hilang dari dalam diri Edin Dzeko. Penyerang Bosnia tersebut tak bisa merasakan dukungan dari Ultras AS Roma maupun tekanan dari Ultras Lazio.  Kedua Ultras pada awal Oktober silam merilis pernyataan akan memboikot pertandingan tersebut.

Berbicara soal boikot pertandingan, pada 2013 Ultras Lazio pernah membiarkan Curva Nord (utara) kosong dan meninggalkan pesan dalam spanduk besar bertulis "Ah, aku lupa itu adalah 'peringatan' derby" sebagai bentuk keberatan kepada pihak berwenang karena melarang menerbangkan replika piala Coppa Italia yang mereka raih musim itu dengan menggunakan balon gas.

Dalam pertandingan yang dihelat Minggu (8/11) petang tersebut, kedua Ultras yang bermusuhan tersebut mengajukan tuntutan yang serupa. Mereka menolak langkah-langkah keamanan sipil yang ditegakkan Franco Gabrielli, prefect atau pejabat keamanan dengan tugas khusus. Gabrielli menerapkan sistem di Stadion Olimpico dengan membelah curva nord (utara) dan curva sud (selatan) menjadi dua.

Ultras Roma dan Lazio menganggap langkah Gabrielli tersebut seolah ingin membunuh Ultras secara perlahan. Selain membelah tribun, Gabrielli pun mempermudah pihak kepolisian untuk masuk tribun dan mengidentifikasi individu yang dianggap bertindak ilega. Gabrielli sendiri mengklaim kalau pembagian curva adalah untuk keselamatan publik dan ia pun tak peduli pada protes yang hadir kepadanya.

2E3D3EF100000578-0-image-a-23_1447009092682


Kedua Ultras khawatir kalau segala aturan tersebut bisa membatasi kebebasan ekspresi mereka dalam memberikan dukungan. Seperti diketahui jika keduanya kerap menampilkan koreografi indah. Pembagian tribun cuma akan membatasi keindahan tersebut. Mereka pun keberatan dengan penjagaan dua lapis di luar Stadion Olimpico serta menginginkan agar jumlah polisi bersenjata dikurangi.

"Kalian tidak akan pernah bisa mengambil martabat kami. Tidak ada yang bisa membeli kami karena kami bukan untuk dijual!" seru pernyataan resmi Ultras Roma dikutip dari Football-Italia.

Aksi boikot dilakukan Ultras Roma terlebih dahulu karena isu pembagian tribun sudah muncul sejak awal musim. Saat mengalahkan Juventus 2-1 pada 30 Agustus lalu, mereka melakukan aksi diam tanpa adanya nyanyian, smoke bomb (bom asap), maupun red flare (suar). Sebagian Ultras yang tidak masuk ke dalam curva sud menyanyikan lagu-lagu anti polisi.

Ketika menjamu Barcelona dan bermain imbang 1-1 pada 9 September lalu, curva sud semakin terlihat sepi dan begitu juga beberapa pertandingan kandang seterusnya. "Tidak ada satu pun dari kami yang ingin berada jauh dari curva sud. Kami akan menjauh sampai kami dapat mendukung tim kami dengan bebas dan bukan seperti anak anjing yang sedang dilatih," tulis Ultras Roma dikutip ESPN FC.

Menuntut Bala Bantuan dari Klub

Kedua ultras kian geram karena tidak ada dukungan dari pihak klub. Sungguh berbeda dengan apa yang dilakukan Juventus ketika mereka mengajukan banding terkait bom kertas yang terjadi ketika laga melawan Torino. Sekarang kedua kubu ultras telah memutuskan keluar dari masing-masing curva dan memboikot Derby della Capitale.

Koreografi yang biasanya dilakukan sebelum pertandingan kini tak terlihat lagi. Padahal hal tersebut kerap menjadi poin pembicaraan utama dalam setiap laga panas tersebut. Kedua ultras pun meminta klub untuk segera mengambil keputusan.

Baca juga : Seorang penggemar Lazio bernama Gabriele Sandri tewas terkena peluru yang ditembakkan dari pistol polisi.

"Saya tahu bagaimana para fans merasakannya dalam sebuah derby karena anak saya pun memiliki hak istimewa untuk mengalami hal itu di antara mereka. Saya selalu akan menjadi fans Roma dan derby akan selalu menjadi pertandingan yang spesial bagi saya," tulis Francesco Totti dalam halaman Facebook miliknya.

Menghadirkan Dukungan dalam Upaya Lain

Dalam 10 tahun terakhir memang derby ibu kota tersebut rata-rata dipenuhi sekitar 50 ribu penonton. Sekitar hampir 62 ribu penonton juga pernah menyesaki Stadion Olimpico pada Derby della Capitale edisi November 2008. Tapi pada pertandingan sengit seperti ini hanya didatangi sekitar 35 ribu penonton saja.

2E3D6F2800000578-0-image-a-21_1447009083713

Kendati demikian bukan berarti kedua belah pihak ultras mengabaikan dukungan kepada kesebelasannya begitu saja. Masing-masing ultras mengawal setiap kesebelasannya sampai ke Stadion Olimpico namun \sekedar itu dan tanpa masuk ke dalam curva. Sebelum pertandingan pun para ultras tidak pernah absen memberikan dukungan ketika para skuat Lazio atau Roma sedang berlatih.

Ketika pertandingan mereka lebih memilih menonton laga di beberapa tempat yang menyediakan nonton bareng. Sikap yang memang patut diacungi jempol karena mereka bersikeras tidak mengindahkan keputusan mereka atas pembungkaman ekspresi di tribun dengan tidak masuk ke dalamnya, walau saat itu sedang terjadi pertandingan yang selalu penting bagi keduanya setiap musim berganti.

Tapi tetap aja pilihan tersebut memunculkan kekhawatiran dari polisi jika ditakutkan ada bentrokan di luar stadion Olimpico atau dalam kota. Apalagi sempat tersiar kabar jika para ultras tersebut akan melakukan pertemuan dengan kelompok-kelompok suporter garis keras dari luar Italia seperti West Ham United (Inggris), Real Madrid (Spanyol) dan Wisla Krakow (Polandia).

Tapi sikap seperti itu mengejutkan berbagai pihak karena secara tidak langsung merepresentasikan rivalitas kental antara keduanya seolah berdiri bersama-sama untuk apapun kemungkinan yang akan datang nantinya. Di situ juga mereka telah menemukan titik temu bagaimana kedua belah pihak tampak memahami hak untuk mendukung kesebelasan dengan pantang menyerah.

Sebetulnya bagaimana situasi yang berkembang mungkin bergantung kepada sikap klub itu sendiri. Benar atau salah setiap kelompok ultras sudah sangat mengakar dengan derby dan menjadi bagian besar secara fantastis. Memang tidak diragukan lagi jika setiap klub dari kota manapun ingin membasmi serangan yang dilancarkan para garis keras melalui spanduk, flare, smoke bom dan yang lebih penting yaitu: kekerasan.

Walau begitu bisa dianggap jika cara pihak berwenang menghadapi masalah ini cukup rumit. Terkadang kebijakan tambahan hanya demi keuntungan pihak berwenang semata justru akan mengembalikan penghuni tribun ke masa lalu dan menyebabkan masalah bagi mereka sendiri. Antara Lazio dan Roma, keduanya lebih merelakan gelar juara hilang atau terdegradasi ketimbang melihat salah satunya merayakan juara di kota abadi. Atas kesewenang-wenangan itu juga para ultras bersikeras tidak menginjakan kaki di altar suci mereka dalam pertandingan terpenting di kehidupan mereka.

Di sisi lain  mereka lebih baik keras kepala dalam sikap perlawanan mereka ketimbang tunduk dalam penguasaan-penguasaan luapan ekspresi mereka yang dibungkam, meski pun dalam satu momentum bergengsi sekali pun. Tentu Ultras Lazio enggan melakukan kegilaan mereka di tribun tanpa musuh abadi mereka di depan matanya sendiri. Sehingga sebuah harmoni bukan tidak mungkin dibentuk di balik "aksi solidaritas" secara tidak langsung ini.

Sumber lain : Daily Mail, La Gazzetta dello Sport, The Score.

Komentar