Tanah Impian Para Pensiunan Italia

Cerita

by Randy Aprialdi

Randy Aprialdi

Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola. Italian football enthusiast. Punk and madness from @Panditfootball. Wanna mad with me? please contact Randynteng@gmail.com or follow @Randynteng!

Tanah Impian Para Pensiunan Italia

Andrea Pirlo telah menjadi legenda Juventus yang dalam waktu empat musim mempersembahkan empat gelar Serie-A sejak 2011/2012. Selain itu, Pirlo menjuarai Coppa Italia 2014/2015, Supercopa Italiana 2012 dan 2013 dan terakhir membawa Si Nyonya Tua (La Vecchia Signora), julukan Juventus, menuju final Liga Champions 2014//2015.

Gemerlap kebintangan Pirlo selama berkarir di Italia masih terus membuntututinya walau ia sudah resmi bergabung New York City yang berkompetisi di Liga Sepakbola Amerika Serikat, Major League Soccer (MLS). Pirlo bukanlah pemain pertama Serie-A yang hijrah ke Liga Sepakbola Negeri Paman Sam. Sebelumnya, Sebastian Giovinco, juniornya di Juventus, terlebih dahulu merapat dengan Toronto FC.

Kini MLS seolah menjadi pelabuhan menarik bagi beberapa pesepakbola walau masih belum bisa dikenal melalui kualitas produk dalam lapangan, "Tingkat sepakbola di sini tidak sebanding dengan Eropa. Tapi aku yakin itu bisa berubah menjadi kejuaraan yang semakin penting selama bertahun-tahun ke depan," cetus Giovinco kepada La Gazzetta dello Sport.

Pada awalnya Liga Amerika di mata Serie-A cuma menjadi daratan bagi pemain-pemain yang telah berkepala tiga. Marco Di Vaio sebagai mantan pemain Serie-A pertama yang hijrah ke MLS datang pada usia 34 tahun dan bergabung dengan Montreal Impact pada 2012.

divaio


Tapi sekarang pandangan soal umur tua sudah mulai ditepis mengingat Giovinco begabung dengan Toronto dalam usia 28 tahun. Innoncent Emeghara mantan pemain Siena dan Livorno pun bergabung dengan San Jose Earthquqkes dalam usia 26 tahun.

Rupanya hijrah ke MLS juga menarik bagi pemain yang bermasalah soal keuangan. Kebangkrutan Parma menjadi salah satu contohnya. Daniele Galloppa, salah satu mantan pemain Parma, kini menjadi daya tarik MLS.

Nama Gallopa memang tidak sebesar para mantan pesepakbola top Eropa lain seperti David Beckham, Michael Bradley, Ricardo Kaka, Obafemi Martins atau bahkan Marco Donadel. Namun, Galloppa masih berusia 30 tahun dan dianggap masih cukup produktif dan mampu memperlihatkan kemampuan aslinya. Toronto pun memberikan fasilitas kepelatihan padanya.

Membahas MLS tentu menjadi pembicaraan tentang kepentingan bisnis. Pasalnya kesebelasan-kesebelasan tersebut tidak akan kehilangan investor seperti yang sudah dilakukan Sepeti Mia Hamm, Magic Johnson, Vincent Tan dan Nomar Garciaparra.  Pasalnya para kesebelasan tidak akan mengalami kesulitan menghasilkan uang dari investor dengan bayaran uang besar untuk menjadi bagian dari eksistensi jangka panjang MLS.

Faktor tersebut juga yang membuat MLS tidak menggunakan sistem promosi dan degradasi sejak liga dimulai pada 1996. Sistem degradasi dan promosi dianggap tidak akan meningkatkan pendapatan kesebelasan dan Liga Amerika.

Selain tentang jaminan masa depan, iklim di luar stadion MLS membuat pesepakbola yang berkarir di Serie-A lebih nyaman. Budaya Ultras dianggap epidemi busuk dalam inti sepakbola di Italia dan itu masih belum terlalu tersebar luas dalam kultur suporter sepakbola MLS. Memang setiap kesebelasan Liga Amerika memiliki kelompok suporter yang memiliki gairah dukungan sangat tinggi namun tidak sampai terjadi tawuran dengan daya rusak tinggi.


Simak juga tentang ambisi liga-liga lain selain Eropa seperti upaya yang dilakukan kesebelasan-kesebelasan Tiongkok



Simak aksi pendukung Toronto yang memprotes kabar pembagian stadion dengan kesebelasan lain. Mereka melakukannya dengan membentangkan spanduk di belakang gawang selama pertandingan berlangsung.

Aksi protes tersebut memang tidak bisa dibandingkan dengan pesan-pesan ancaman yang biasa dilakukan ultras di Italia, karena itu menyangkut nyawa manusia. Manajemen kesebelasan Toronto pun mendekati para suporter secara personal terkait protes melalui spanduk bisa merusak reputasi kesebelasan. Bedanya, para suporter tersebut mengiyakan dan kondisi di lapangan menjadi lebih kondusif.

"Orang-orang di sini sangat sopan dan saling menghormati. Di Italia tidak mungkin untuk melakukan sesuatu seperti ini," ungkap Giovinco.

Iklim sepakbola MLS saat ini memiliki banyak tawaran menarik bagi para pesepakbola. Bahkan jika memainkan olahraga tersebut diharapkan semakin meningkatkan kualitasnya seperti liga-liga besar di Eropa. Menarik pesepakbola seperti Kaka, Giovinco, Frank Lampard, Steven Gerrard, David Villa dan Pirlo dalam satu musim terakhir ini merupakan sinyal yang cukup baik dari niat liga yang telah berkembang pesat dalam 20 tahun keberadaannya.

Di sisi lain MLS masih pantas dan harus mendapatkan banyak kritikan untuk produk-produknya di lapangan sekaligus memberikan banyak kesempatan melalui cara positif yang mampu mengubah paradigma sepakbola iyang kalah tenar dibanding hoki dan basket Amerika Serikat.

Komentar