Drawing Lots Cara Primitif Tentukan Pemenang Lewat Undian

Cerita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Drawing Lots Cara Primitif Tentukan Pemenang Lewat Undian

Piala Afrika 2015 menghadirkan fenomena langka: drawing lots. Korbannya adalah Mali. Negara jajahan Prancis tersebut harus memupus impiannya untuk tiga kali beruntun tampil pada babak semifinal. Ya, Mali tersisih gara-gara drawing lots. Apa sih drawing lots itu? Kenapa ia begitu menyakitkan?

Drawing lots adalah kondisi di mana dua kesebelasan mengambil bulatan kertas untuk menentukan siapa yang lolos ke babak selanjutnya. Dalam hal ini ada kesebelasan yang diuntungkan dan dirugikan, bukan karena keringat hasil perjuangan, melainkan karena keberuntungan.

Sejumlah konfederasi, bahkan FIFA sekalipun, menjadikan drawing lots sebagai opsi terakhir untuk penentuan kesebelasan mana yang lolos ke babak selanjutnya. Secara teknis, drawing lots hanya bisa dilakukan pada fase grup.

Pada Piala Dunia 2014, terdapat tujuh syarat bagi kesebelasan untuk dapat lolos grup. Biasanya terdapat tiga syarat paling umum: (1) kesebelasan dengan poin terbanyak, (2) selisih gol, (3) jumlah gol yang dicetak.

Jika dari tiga syarat tersebut masih ditemukan hal yang sama, maka cara untuk menentukannya adalah (4) pemenang head to head kedua kesebelasan, (5) selisih head to head kedua kesebelasan, (6) gol yang dicetak dalam head to head.

Apa yang terjadi pada Mali dan Guinea di Piala Afrika 2015 adalah satu hal yang langka. Kedua kesebelasan yang bertarung di grup D sama-sama mengumpulkan poin tiga hasil tiga kali seri. Uniknya, semua pertandingan tersebut berakhir 1-1, termasuk saat keduanya bertemu.

Konfederasi Afrika, CAF, pun mengambil opsi terakhir yakni drawing lots. Opsi ini sesuai dengan pasal 74 dalam peraturan pertandingan di Piala Afrika. Penarikan undian digelar dalam rapat Komite Penyelenggara (OC) di Hotel Hilton, Malabo, Guinea Khatulistiwa. Nantinya, akan ada kertas bertuliskan angka “2” dan “3”. Kesebelasan yang mendapatkan angka “2” lah yang lolos ke babak perempat final.

Undian tersebut dihadiri Presiden CAF, Isa Hayatou, dan Sekjen CAF, Hicham El Amrani. El Amrani pula yang mengaduk-aduk dua bola yang diletakkan dalam mangkuk besar tersebut. Ia lalu memanggil perwakilan dari dua kesebelasan. Mereka lah yang pada akhirnya menentukan nasib kesebelasan.


Gagal (Sumber gambar: eurosport.com)

Guinea diwakili oleh Amara Dabo yang berasal dari kementrian olahraga, sementara Mali diwakili Boubacar Diarra, Presiden Federasi Mali. Mereka bersama-sama mengambil bola dan membukanya. Sial bagi Mali, karena sang presiden memungut kertas bertuliskan “3”. Undian itu pula yang membuat Mali gagal mengulang kesuksesan pada dua penyelenggaraan sebelumnya.

“Ini adalah cara paling kejam untuk kalah,” kata delegasi Mali pada Guardian, “Mereka harusnya mencari jalan lain.”

Benar, kalah lewat undian adalah hal yang kejam. Mereka harus tersingkir hanya karena keberuntungan. Padahal, sepakbola adalah tentang pertandingan, bukan undian.

Hal serupa pernah terjadi di Indonesia, tepatnya pada pertandingan Inter Island Cup 2012 silam. Arema dan Persipura Jayapura saat itu memiliki poin yang sama dengan selisih gol yang sama pula. Keduanya berada dalam satu grup yakni grup C. Hanya juara grup yang berhak lolos ke babak semifinal.

Pada pertandingan terakhir yang menentukan, Arema menang 1-0 atas Persiwa, sedangkan Persipura menang dengan skor yang sama atas Persela. Keduanya sama-sama mencetak lima gol dan hanya kebobolan satu gol. Saat saling berhadapan pun keduanya bermain imbang.

Bedanya Arema menang lewat lemparan koin, bukan oleh undian, meskipun pada dasarnya sama-sama saja. Arema yang diwakili general manajer Rudi Widodo, memilih sisi warna biru, sedangkan Persipura, sisi warna emas. Keberuntungan pun jatuh pada pundak Arema, karena koin menunjukkan sisi warna biru.

Berkaca dari hal tersebut, agaknya FIFA mesti membuat aturan baru agar kedua kesebelasan bisa dipertemukan dalam satu hal yang lebih kompetitif.

Adu penalti agaknya bisa dipertimbangkan. Kedua kesebelasan tak akan terkuras secara fisik, mengingat waktu pertandingan yang biasanya mepet. Mereka yang kalah pun diharapkan tidak terlalu kecewa, karena mereka memang kalah dalam pertandingan sepakbola.

Industri sepakbola kini berkembang dengan pesat, tapi FIFA masih mempertahankan aturan yang biasa diterapkan dalam kompetisi “tarkam”. Ironis.

Sumber gambar: cnn.com

Baca juga: Piala Afrika Menjaga Bakat Afrika Tak Binasa

Piala Afrika dan Masalah HAM Guinea Khatulistiwa

Komentar