Polemik Dunga, Silva, dan Neymar di Timnas Brasil

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Polemik Dunga, Silva, dan Neymar di Timnas Brasil

Untuk kali pertama setelah gagal di Piala Dunia 2010, Carlos Caetano Bledorn Verri kembali ke pos yang pernah ia tempati. Pria Brasil yang lebih dikenal dengan nama Dunga tersebut, untuk kali kedua sepanjang karirnya, menjabat posisi pelatih kepala tim nasional Brasil. Posisi terpandang, mengingat tim yang ia tangani adalah peraih gelar juara terbanyak Piala Dunia. Tantangan yang ada lebih berat lagi jika ditambah oleh fakta bahwa tahun 2002 adalah kali terakhir Brasil menjadi juara.

Dunga toh berani-berani saja. Seolah ada yang belum ia selesaikan di Afrika Selatan, ia kembali menjalani hidup penuh tekanan sebagai penentu kebijakan di tubuh tim nasional Brasil. Dan nampaknya semua tekanan yang datang membuat Dunga tidak bisa berpikir jernih. Hal pertama yang ia terapkan di tim nasional adalah larangan mengenakan anting, topi, dan sandal.

Tidak masalah. Penerapan disiplin adalah sesuatu yang baik. Lagipula, memang alangkah lebih baik jika semua orang dalam tim mengenakan seragam yang telah disediakan, tanpa tambahan apapun yang mencolok. Agar semuanya nampak sederajat. Karena sepakbola adalah permainan tim, bukan panggung individu tempat unjuk kebolehan pemain tertentu.

Yang menggelitik justru keputusan yang ia ambil setelah itu. Jabatan kapten tim nasional diserahkan kepada Neymar. Pertama, adalah Neymar yang paling mencolok dan paling bergaya di antara semua pemain Brasil (dalam pembelaannya, Dunga mengatakan bahwa jabatan ini akan membuat Neymar berubah). Kedua, tanpa mengurangi rasa hormat, masih banyak pemain yang pantas mengenakan ban kapten tim nasional Brasil kalaupun Dunga memang sudah tak ingin lagi melihat hal itu di lengan Thiago Silva, kapten sebelumnya.

Namun keputusan telah diambil. Semenjak hari itu Brasil sama seperti Argentina, negara tetangga sekaligus rival abadi mereka untuk urusan sepakbola. Kedua negara sama-sama dikapteni oleh seorang pemain depan paling bertalenta, yang sayangnya memiliki kekurangan untuk urusan kepemimpinan.

Bom waktu akhirnya meledak juga. Thiago Silva angkat bicara. Ia merasa tidak bahagia karena ia merasa bahwa sesuatu yang ia miliki telah diambil darinya. Walaupun, tentu saja, ia juga menambahkan bahwa dirinya tetap akan melakukan yang terbaik demi negara.

Namun apa yang mengganggunya, menurut Silva, adalah fakta bahwa tak seorangpun membicarakan hal ini dengannya sebelum keputusan diumumkan oleh Dunga lewat konferensi pers. Tidak seorangpun termasuk Neymar.

“Neymar tidak datang menghampiri saya untuk membicarakan hal ini. Faktanya, saya tidak berbicara dengan siapapun mengenai hal ini,” ujar Silva sebagaimana dikutip oleh situs resmi Ligue 1. “Itulah yang agak mengganggu saya. Saya tidak akan mengatakan bahwa saya bahagia karena itu tidak benar.”

Jika apa yang dikatakan oleh Silva benar adanya, maka kondisinya benar-benar kacau. Baik Dunga maupun Neymar telah menghancurkan sebuah ikatan persaudaraan yang erat. Dunia tentunya masih ingat betul bagaimana Neymar, yang masih membiasakan diri terhadap kehidupan barunya yang berat bersama FC Barcelona, sempat “melarikan diri” ke Disneyland Paris di awal tahun ini. Di sana ia menghabiskan waktu bersama Silva, berbincang mengenai banyak hal seperti seorang adik yang mencari perlindungan dan nasehat dari kakaknya.

Komentar