Boyband Korea dan Hubungannya dengan Tur Klub Eropa ke Indonesia

Cerita

by redaksi

Boyband Korea dan Hubungannya dengan Tur Klub Eropa ke Indonesia

Ratusan anak muda yang mayoritas perempuan, antri sejak matahari sedang tinggi-tingginya. Panas terik cuaca di Ancol, tak menyurutkan minat mereka untuk terus mengenakan syal. Beberapa di antaranya bertuliskan huruf yang tidak dikenali. Mereka pun bernyanyi dengan bahasa yang juga tidak dikenali. Mereka tidak ambil pusing, orang lain bilang apa. Karena tak lama lagi, mereka akan bertemu dengan sang idola.

Hari itu, mereka akan menyaksikan penampilan Super Junior (Suju), boyband asal Korea. Tiket konser ludes terjual. Padahal, mereka menggelar konser tiga kali dalam tiga hari berturut-turut, ditambah satu jadwal tambahan di hari terakhir yang dilangsungkan secara mendadak karena animo yang tinggi dari penonton. Anehnya, ini merupakan konser mereka yang keempat di Indonesia--mereka menggelar konser kelima mereka pada 2013, tapi animo tak pernah surut.

Ini pula yang terjadi pada klub-klub asal Eropa yang melakukan tur ke Indonesia. Sama seperti boyband-boyband itu, Indonesia dianggap sebagai ceruk potensial bagi kelangsungan hidup mereka.

Terdapat sejumlah kesamaan antara boyband Korea dan klub Eropa yang menyambangi Indonesia.

Harga Tiket Mahal

Mendatangkan “artis” luar negeri tentu mesti mengeluarkan biaya ekstra. Jika tiket termurah saat pertandingan Persib di Stadion Si Jalak Harupat dipatok 30 ribu, maka untuk pertandingan Internasional di GBK biasanya dipatok 75-100 ribu.

Pun dengan boyband Korea. Jika ingin menyaksikan penampilan band asal Ujungberung, Burgerkill, penonton diharuskan membayar 25 ribu, itupun dengan bonus sebungkus rokok. Tapi, jika yang hadir dipanggung adalah Super Junior, atau Shinee yang mentas Juni lalu, maka tiket termurah dipatok hingga 800 ribu!

Jangan heran jika pengumuman konfirmasi kehadiran boyband korea maupun klub Eropa biasanya mencapai dua bulan sebelumnya atau lebih. Ini tentu saja untuk memberikan kesempatan bagi para fans untuk menabung atau mengalokasikan uangnya untuk tiket konser yang mahal itu.

Menggunakan Bahasa Asing

Ketika menyaksikan pertunjukkan, para penonton biasanya melakukan chant dengan bahasa asing. Anda tak perlu kaget jika banyak remaja perempuan di Ancol berteriak dengan fasih seperti ini: “Oppa, saranghaeo, bogoshipda, popoheyuseyo,” lengkap dengan aksen khas Seoul.

Atau Anda tak perlu heran jika mereka mengangkat syal tinggi-tinggi dengan tulisan yang kerap membuat Anda bingung, apakah ini hiragana, katakana, atau malah kanji? Sejujurnya, bukan, itu adalah huruf hangeul. Mirip memang.

Ini juga yang terjadi di stadion sepakbola. Chant seperti ini pernah terdengan di GBK: “Ora, tutta quanta la. Curva, cantera per te. Inter, devi vincere,” terlihat seperti Bahasa Jawa, padahal bukan. Itu adalah chant fans Inter Milan.

Begitu pula jangan heran ketika banyak yang membawa syal bertuliskan “Keep The Blue Flag Flying High”. Meskipun kita tahu, bendera yang harus terus berkibar adalah bendera Merah-Putih.

Penggunaan bahasa asing ini sebenarnya menghilangkan identitas kebangsaan dari suatu negara. Jika Anda pernah ke Dufan dan masuk ke wahana rumah boneka, Anda pasti ingat di akhir perjalanan Anda akan menemukan sejumlah tulisan yang berarti “Selamat tinggal” dalam sejumlah bahasa.

Para pemain dari klub Eropa tersebut pasti merasa GBK seperti domisili klub tersebut. Semuanya mirip, mulai dari chant hingga perilaku sepanjang pertandingan. Mereka tidak akan mengetahui ciri khas Indonesia yang sebenarnya.

Jadi, sebelum mereka tiba di Indonesia, jangan lupa kursus kilat bahasa asing ya!

Fan Meeting

Biasanya, panitia memberikan jeda satu hari atau lebih antara kedatangan sang artis dengan jadwal pertunjukkan. Jeda ini biasa digunakan untuk melakukan meet and greet. Biasanya, tiket meet and greet dijual secara paket bersamaan dengan tiket VVIP. Atau ada yang memang dijual terpisah.

Di meet and greet, para penggemar biasanya bisa berjabat tangan, meminta tanda tangan, tos, hingga foto bareng.

Ini juga lazim ketika artis Korea datang ke Indonesia. Tapi biasanya, jika sang artis bukanlah penyanyi, maka diadakan fan meeting. Dalam fan meeting tersebut sang artis biasanya bercerita, menyanyikan soundtrack dramanya, meski dengan suara pas pasan. Ini mirip dengan konser namun terlihat lebih sederhana dan lebih intim karena sang artis hanya bercerita.

Beberapa bulan lalu, aktor Kim Soo Hyun melakukan fan meeting di sebuah mal. Tiket dibanderol 600 ribu untuk yang paling murah. Sementara itu, untuk fan meeting Running Man, Oktober mendatang, tiket dibanderol 850 ribu untuk yang paling murah.

Di sepakbola biasanya selain meet and greet juga diadakan coaching clinic untuk anak-anak kaya raya. Saat Chelsea datang ke Indonesia, pihak promotor mematok harga 22 juta untuk meet and greet. Sementara sesi coaching clinic dibandrol lima juta rupiah.

Lima juta untuk coaching clinic yang tidak lebih dari tiga jam? Mmmm.

Pelajaran Bisnis

Kehadiran boyband Korea maupun klub Eropa, hendaknya dijadikan pelajaran bagi pebisnis yang kesulitan mengembangkan uang dari sepakbola. Untuk bertemu dalam acara meet and greet Gareth Bale saja, fans harus merogoh kocek tiga juta rupiah. Ini hanya satu orang pemain, bukan semua pemain dalam satu klub.

Kehadiran boyband Korea dan klub Eropa memiliki dampak tersendiri. Mereka dapat hidup karena tawaran manggung di luar negeri, dengan bayaran mahal. Di sisi lain, fans asal Indonesia yang sudah rindu akan kehadiran idolanya bisa terobati dengan bertemu langsung.

Meski sadar, kehadiran mereka bukan murni karena cinta dengan negeri ini, tapi itu bukanlah masalah. Setidaknya, kita bisa menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang mampu menghamburkan sejumlah uang demi bertemu dengan idolanya.

Sumber gambar: mensjourneyid.com

[fva]

Komentar