Perempuan dan Sepakbola dalam Perspektif Sejarah

Buku

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Perempuan dan Sepakbola dalam Perspektif Sejarah

Judul Buku: Wanita Dalam Sejarah Sepak Bola Indonesia 1969-1998

Penulis: Pasang Budy All Shodiq

Penerbit: Dramaturgi

Jumlah Halaman: xii + 98

Literatur tentang sepakbola Indonesia, khususnya sejarah sepakbola perempuan, bisa dibilang langka. Buku “Wanita Dalam Sejarah Sepakbola Indonesia 1969-1998” bisa menjadi pintu masuk untuk memahami sejarah sepakbola perempuan Indonesia.

Buku yang ditulis oleh Pasang Budy All Shodiq dan diterbitkan oleh Penerbit Dramaturgi ini mendedah kiprah klub-klub perempuan yang mulai eksis di zaman Orde Baru seperti Putri Priyangan, Buana Putri, dan Putri Mataram.

Secara umum, buku ini terdiri dari tiga poin pembahasan utama. Poin pertama adalah latar belakang dunia olahraga secara umum di era Soekarno, serta sedikit kiprah perempuan di zaman tersebut.

Bagian kedua, dan inti dari buku ini adalah, menjelaskan klub-klub, kompetisi, dan kiprah Timnas perempuan Indonesia di era Orde Baru. Bagian terakhir membahas para perempuan yang layak dicatat sebagai tokoh penting dalam sejarah sepakbola perempuan Indonesia.

Perlu digarisbawahi pula bahwa para perempuan yang bermain sepakbola pada waktu itu harus melawan stigma yang menganggap bahwa sepakbola bukanlah olahraga yang cocok bagi perempuan. Sepakbola adalah olahraga yang identik dengan laki-laki, dan perempuan dianggap tidak cocok memainkan olahraga tersebut.

Rita Zahara, seorang pemain film senior yang sekaligus pernah berkarir sebagai sepakbola mengakui bahwa ia sebenarnya sudah bermain sepakbola sejak 1958 di kampung halamannya di Rembang. Namun, ia kerap dimarahi.

Selain itu, dalam nuansa kebudayaan yang cukup sensitif dalam soal busana, sepakbola tentu dianggap tidak terlalu cocok dengan perempuan karena pemain sepakbola biasanya bermain dengan celana pendek.

Namun, segala tabu itu tidak menyurutkan Wiwik Kusdarti untuk mendirikan Putri Priyangan pada 1969, pelopor klub sepakbola perempuan Indonesia. Putri Priangan inilah, dalam catatan Pasang Budy, yang menggelar pertandingan resmi sepakbola perempuan pertama di Indonesia. Saat itu, Putri Priyangan bermain melawan SMOA Bandung pada 22 Maret 1969. Pertandingan itu merupakan pertandingan uji coba sebelum Putri Priyangan menghadapi klub perempuan asal Malaysia, yakni Penang Malaysia pada 13 April 1969.

Berdirinya Putri Priangan membawa efek domino. Di Jakarta dibentuklah Buana Putri. Tim yang diinisiasi oleh Dewi Wibowo (istri Sukarno Hadi Wibowo, anggota TNI dan mantan direktur surat kabar Berita Yudha) itu segera menjadi tim sepakbola putri dengan prestasi gemilang. Kelak Dewi Wibowo menjadi ketua Liga Sepakbola Wanita (Galanita).

Buana Putri sudah mencuri start terlebih dahulu dalam partisipasinya di level Asia dengan menjadi anggota Asian Ladies Football Confederation (ALFC) pada 1977.

Selain dua klub yang sudah dijelaskan di atas, ada lagi satu klub yang menjadi legenda sepakbola putri yang didirikan di Yogyakarta, yakni Putri Mataram. Pasang Budy menjelaskan bahwa Putri Mataram mendapat dukungan dari Ratu Yogyakarta dan mereka berhasil meraih prestasi di level regional.

Turnamen Sepakbola Perempuan

Ada beberapa turnamen sepakbola perempuan di era Orde Baru yang diikuti oleh klub-klub perempuan dari berbagai wilayah. Pada Agustus 1969, Putri Priyangan mengikuti sebuah turnamen di Singapura, karena klub tersebut memang masih menjadi yang terkuat dan paling populer di Indonesia.

Setahun berselang, Putri Priyangan kembali menunjukkan dominasinya dalam sebuah kompetisi yang menurut Pasang Budy merupakan kompetisi resmi sepakbola perempuan pertama di level nasional, yakni Piala Segitiga yang diadakan di Jakarta. Di turnamen tersebut, Putri Priyangan melibat Putri Djaya dari Jakarta dan Putri Mataram.

Keberhasilan Piala Segitiga Jakarta memantik munculnya klub-klub sepakbola perempuan di berbagai wilayah, sekaligus memantik diadakannya turnamen lain dalam skala partisipasi yang lebih besar.

Pada 1980, untuk memperingati HUT DKI Jakarta, digelarlah tiga kompetisi berbeda: Piala Gubernur DKI JAYA yang diikuti tujuh kesebelasan yang berasal dari Jakarta, Piala HUT DKI JAYA ke-453 yang diikuti oleh enam kesebelasan, juga digelarlah turnamen yang diikuti oleh LFAM Malaysia dan WFAS Singapura.

Di tahun yang sama, untuk yang pertama kalinya digelar turnamen sepakbola perempuan yang masih eksis hingga sekerang, yakni Piala Kartini yang diikuti delapan klub.

Meski sudah menunjukkan eksistensinya sejak 1969 dengan berdirinya Putri Priyangan, sepakbola perempuan baru mendapat perhatian khusus oleh PSSI pada 1982. Saat itu, di bawah pimpinan Syarnubi Said, sepakbola perempuan mulai dikembangkan dengan menggelar turnamen Piala Invitasi Galanita atau Piala Bu Tien Soeharto I. Pencapaian Galanita yang patut diperhatikan adalah sudah tergabung dalam AFF, AFC, dan FIFA

Timnas Perempuan Indonesia

Turnamen yang digelar di era 1980-an sekaligus ajang pemilihan pemain-pemain berbakat untuk mewakili Indonesia di turnamen internasional.

Pada 1986, Indonesia diundang dalam AFC Cup yang diikuti oleh China, India, Jepang, Thailand, Malaysia, Nepal, dan Hongkong. Di turnamen tersebut, Indonesia berhasil mencapai babak semifinal. Sayangnya, Indonesia gagal dalam perebutan tempat ketiga.

Bisa dibilang, tidak ada prestasi yang membanggakan dari sepakbola perempuan di Indonesia. Namun demikian, ketiadaan prestasi itu juga karena tidak adanya sistem kompetisi yang terstruktur.

Galanita, sebagai kompetisi papan atas bagi para atlet perempuan, nyatanya tidak dikelola secara profesional. Turnamen tersebut hanya digunakan sebagai tempat menyalurkan hobi dan bakat. Para pemain tidak bisa mengharapkan penghidupan yang pasti dari sepakbola.

***

Stagnannya prestasi sepakbola perempuan Indonesia saat ini sebenarnya bukanlah sebuah kebetulan. Dari buku yang ditulis Pasang Budy ini sebenarnya kita bisa mengetahui bahwa sejak dulu sepakbola perempuan tidak pernah benar-benar diurus dengan baik dan mumpuni.

Maka tidak heran ketika di Piala Asia pada 21 Januari 2022, Indonesia harus dibantai 18-0 oleh Australia. Seharusnya, kekalahan itu menjadi pemicu bagi PSSI untuk membentuk iklim sepakbola yang mumpuni.

Indonesia dikaruniai oleh jumlah penduduk yang banyak dan lapangan sepakbola yang setiap desa hampir punya. Hal ini bisa menjadi bekal partisipasi, di level akar rumput, untuk menunjang piramida sepakbola baik sepakbola laki-laki maupun perempuan.

Komentar