MLS Masih Kalah dari Liga Meksiko

Berita

by redaksi

MLS Masih Kalah dari Liga Meksiko

Setahun yang lalu, klub baru asal Kota New York, New York City FC, mengumumkan kepindahan gelandang yang juga legenda Chelsea, Frank Lampard ke klub mereka. Tak hanya Lampard, klub yang identik dengan warna biru muda ini juga mengumumkan kepindahan David Villa, eks pemain Barcelona yang sepertinya akan segera mengakhiri kariernya.

Kedatangan Lampard sebagai pemain bintang memang bukan yang pertama di Major League Soccer (MLS). Perpindahan fenomenal pertama mungkin adalah David Beckham yang dikontrak oleh Los Angeles Galaxy dengan biaya 6,5 juta dolar pertahun. Kini, beberapa pemain uzur meramaikan kompetisi utama Amerika Serikat tersebut. Diantaranya Steven Gerrard (35 tahun), Andrea Pirlo (36 tahun), dan Kaka (33 tahun), selain itu masih banyak pemain yang tidak cukup apabila disebutkan di sini.

Hingga kini, perpindahan mantan bintang yang bersinar di Eropa memang terus berjalan. Namun, pertanyaannya adalah apakah perpindahan tersebut mampu membawa MLS menjadi kompetisi terbaik? Dan apakah MLS mampu membuat timnas Amerika Serikat lebih baik dibandingkan Meksiko di CONCACAF (Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Kepulauan Karibia)? Pertanyaan tersebut banyak dilontarkan oleh penggemar MLS, yang merasa terlalu dini menyimpulkan MLS dan timnas AS lebih baik dibandingkan Liga MX dan Meksiko.

Major League Soccer pun tak terlalu gegabah. Menurut Komisioner MLS, Don Garber, terlalu gegabah apabila MLS mengaku sebagai kompetisi paling hebat di CONCACAF, bahkan dunia. Ia pun memproyeksikan MLS baru akan menjadi kompetisi terbaik di dunia pada tahun 2022. “Tidak ada alasan untuk mengaku sebagai yang terbaik. Sebab hal ini membutuhkan banyak kerja keras dan investasi berkelanjutan,” ujarnya.  Garber pun berujar bahwa saat ini MLS akan berfokus pada pengembangan pemain muda, pelatihan untuk pelatih, dan perbaikan infrastruktur tim.

Sejak CONCACAF Champions League dibuat pada musim 2008-09, klub MLS tidak pernah mampu menjadi juara. Sedangkan klub asal Meksiko mampu merebut semua gelar hingga musim 2014-15. Tak hanya itu, terjadi lima kali All-Mexican Final atau final antar sesama dua klub asal meksiko. Hal tersebut jelas membuat MLS masih di bawah klub Meksiko dalam hal prestasi.

Faktor utama kesuksesan klub Meksiko adalah uang. Kompetisi Meksiko memang tak terlalu bermanuver dengan mendatangkan pemain bintang, tapi jangan salahkan klub asal Meksiko jika pemain mereka selalu tampil semangat di lapangan. Mengapa begitu? Karena klub asal Meksiko berani menggaji pemain mereka dengan jumlah yang lumayan tinggi. Rerata gaji pemain di Liga MX sekitar 399.205 dolar AS setahun, di atas pemain Eredivisie Belanda yang hanya sekitar 345.603 per tahunnya. Coba bandingkan dengan pemain MLS yang rata-rata digaji 204.280 dolar per tahun.

Persoalan gaji memang sangat krusial, tidak hanya di MLS namun di kompetisi lain juga. Apalagi MLS menerapkan peraturan designated player system dan salary cap. Designated player system memiliki pengaruh yang luas bagi persoalan gaji. Sebab, hampir semua designated player memiliki gaji ratusan dolar, yang sangat timpang jika dibandingkan dengan gaji pemain lokal. Peraturan tersebut, menyebabkan hampir sebagian gaji diambil designated player sedangkan pemain lain hanya menerima sisanya.

Mantan pemain MLS, Taylor Twellman, bahkan mengungkapkan bahwa wajar jika klub Meksiko mampu menjadi juara di setiap kompetisi di CONCACAF. “Mereka (klub asal Meksiko) mampu menggaji 12-18 pemain berkualitas. Hal tersebut membuat skuat mereka jelas lebih kuat dan mampu bermain di beberapa kompetisi,” jelasnya.

Jika MLS tidak mau membayar lebih dan menaikkan standar gaji, keinginan Garber akan sulit terlaksana. Hal ini pun tidak hanya menjadi persoalan pengelola kompetisi saja, namun juga persoalan klub dan pemilik. Jadi, siapa bilang sepakbola bukan soal uang?

Sumber : NBC Sports, Forbes

Komentar