Akademi Chelsea Pemborosan yang Sia-sia (?)

Berita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Akademi Chelsea Pemborosan yang Sia-sia (?)

Satu dekade silam, Roman Abramovich adalah pria kaya raya yang begitu ambisius dalam menggapai tujuannya. Segala upaya ia lakukan agar keinginannya tercapai.

Chelsea FC menjadi salah satu bagian dari hasrat Abramovich meraih kejayaan. Ia mengubah kesebelasan asal London tersebut menjadi kesebelasan yang diperhitungkan di Inggris. Sudah tidak terhitung para pemain mahal yang berdatangan; pun dengan para pelatih. Jangankan yang gagal, yang sukses macam Roberto Di Matteo, yang mengantarkan Chelsea meraih gelar Piala FA dan Liga Champions saja harus angkat kaki dari Stamford Bridge.

Satu dekade kemudian, Abramovich berubah karena Chelsea sudah memenangi segalanya. Gelar juara Liga Primer, Piala FA, Piala Carling, Community Shield, Liga Champions, Europa League, Piala Super Eropa, hingga runner up Piala Dunia Antar-klub sudah pernah mereka capai.

Abramovich sadar benar dengan hal ini. Ia lalu memindahkan investasi yang awalnya digunakan untuk belanja pemain, ke arah yang lebih berguna: akademi.

Pengusaha asal Rusia tersebut kabarnya berinvestasi hingga 100 juta pounds untuk Akademi Chelsea. Abramovich pun sering menyaksikan langsung pertandingan tim akademi.

Akademi Chelsea merupakan juara bertahan UEFA Youth League. Mengandalkan Dominic Solanke di lini serang, Chelsea cuma sekali kalah dari enam pertandingan di fase grup. Setelah itu, laju mereka tak tertahankan dengan mengandaskan Shaktar Donetsk di partai final.


Roman Abramovich dalam pertandingan Chelsea U21 (foto: dailymail.co.uk)

Kemenangan tersebut membuat pelatih tim utama Chelsea, Jose Mourinho, berjanji untuk mengintegrasikan para pemain dari tim juara UEFA Youth League. Namun, Mou punya syarat bahwa ia tak mungkin membawa semua pemain ke tim utama.

“Saya tidak bisa memiliki skuat dengan 10 pemain dan 10 pemain junior (kids). Saya mestinya punya skuat dengan 16 atau 17 senior dengan tiga dan empat junior,” ucap Mou seperti dikutip Daily Mail pada April silam.

Namun, apa yang diucapkan Mou tersebut tidak terlihat saat Chelsea dikalahkan Arsenal pada Community Shield pekan lalu. Tidak ada pemain lulusan akademi Chelsea—kecuali John Terry—yang bergabung di tim utama.

Sebelumnya, pada pertandingan International Champions Cup menghadapi Fiorentina, tiga pemain muda Chelsea, Ruben Loftus-Cheek, Bertrand Traore, dan Ola Aina mendapatkan kesempatan bertanding. Sayangnya, mereka tidak bisa menunjukkan performa maksimal.

Dikutip dari Daily Mail, Chelsea telah memberi suntikan jutaan pounds untuk menunjang tim kepelatihan. Sialnya, mereka tak pernah memproduksi pemain yang reguler masuk tim utama sejak Terry menandatangani kontrak profesional pada 1997.

Berdasarkan penelusuran penulis, kiper Jamal Blackman pun merupakan produk dari akademi Chelsea.

Biaya untuk menjalankan akademi tidaklah murah. Tim papan tengah Liga Primer saja menyiapkan anggaran hingga hampir lima juta pounds untuk biaya staf, perjalanan, fasilitas pendidikan, dan tentu saja gaji bagi pemain muda.

Jika Anda bermain game Football Manager, tentu salah satu pemain muda yang paling diburu berasal dari Chelsea. Dalam satu hingga dua musim, pemain akademi Chelsea umumnya sudah bisa berkembang dan masuk ke tim utama. Ini ditambah dengan banyaknya para pemain akademi yang dipinjamkan atau dijual ke tim lain karena tidak dipakai di tim utama. Biaya pengeluaran untuk gaji bisa ditekan karena standar gaji yang menyesuaikan.

Saat ini, pemain macam Loftus-Cheek mendapatkan 18 ribu pounds atau sekitar 360 juta rupiah setiap pekan. Tentu angka tersebut bisa turun drastis andai Chelsea melepas Loftus-Cheek ke tim divisi tiga atau divisi empat.

Besarnya pengeluaran Chelsea untuk mengurusi akademi terlihat dari transfer senilai satu juta pounds saat merekrut Izzy Brown dari West Bromwich Albion. Ini dilakukan karena tidak semua pemain yang mendaftar ke akademi Chelsea berbakat semua. Ada saja pemain dari daerah lain yang tergabung di akademi rival yang lebih menonjol dan berpotensi menjadi bintang.

Soal sulit bersaingnya pemain akademi ke tim utama, penggemar tentu tidak bisa menyalahkan pelatih. Siapapun yang menahkodai Chelsea pastilah mendapat tekanan yang begitu besar baik dari media maupun dari sang pemilik. Sulit bagi pelatih untuk menyelipkan pemain muda yang berpotensi mengganggu harmonisasi permainan.

Hal ini juga yang sempat diungkapkan rekan penulis yang merupakan wartawan lokal. Menurutnya, tekanan terhadap pelatih terutama tim dengan terpaan media yang tinggi, amatlah besar. Rekan penulis bercerita kalau rekannya yang lain pernah mengkritik pelatih tersebut karena tak berani menurunkan pemain muda. Esoknya, ia dipanggil oleh pelatih tim yang bersangkutan dan menjelaskan kalau tujuannya tak menurunkan pemain muda adalah karena ia, manajemen, dan fans, ingin kemenangan, tak peduli siapa yang main. Kalau memaksakan pemain muda tapi hasilnya kalah, toh penggemar dan manajemen akan tetap menyalahkannya.

Salah seorang pemain masa depan Inggris, Josh McEachran, hampir saja berkostum Real Madrid. McEachran yang tergabung dalam tim juara FA Youth Cup pada 2010 ditawar gaji senilai 38 ribu pounds dengan kontrak lima tahun untuk El Real. Namun, McEachran menolak karena Chelsea sudah terlanjur menegosiasikan kontrak serta memiliki peluang untuk masuk tim utama. Apa yang terjadi kemudian? McEachran bergabung dengan Brentford pada musim panas ini.

Kegagalan-kegagalan serupa bukan tidak mungkin menghinggapi para pemain muda berbakat lainnya, sebut saja Tomas Kalas, Bertrand Traore, Lucas Piazon (sangat berbakat di game FIFA 13), Gael Kakuta, Oriol Romeu, Kenneth Omeruo, Christian Atsu, hingga Patrick Bamford yang menjadi bagian dari skuat tim Inggris U-21.

Sulitnya para pemain muda menembus tim utama, membuat setiap musim daftar pemain yang dipinjamkan Chelsea membengkak. Sialnya, jarang ada manajer yang mau mengurangi jumlah tersebut dengan memasukkannya ke tim utama.

Ini tentu berbeda dengan apa yang dilakukan Sir Alex Ferguson, Arsene Wenger, dan Louis van Gaal yang rutin memainkan para pemain dari akademi. Selain murah, penggunaan pemain dari akademi tak lain sebagai penghargaan dan simbol terhadap kesuksesan akademi kesebelasan.

Kalau tidak demikian, lantas untuk apa setiap musim MU mengadakan turnamen internasional dengan iming-iming akademi? Untuk apa pula kesebelasan besar, seperti Chelsea, membuka akademinya di berbagai negara kalau tim utama mereka masih enggan menggunakan pemain akademi?

Kalau disebut pemborosan, ya itu hal yang pasti. Tapi apakah lebih mubazir ketimbang gaji dan nilai transfer Fernando Torres? Itu belum tentu.

foto: chelseafc.com

sumber tulisan: dailymail.co.uk

Komentar