Mengendus Perbudakan dan Perdagangan Manusia dari Sepakbola Afrika

Berita

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Mengendus Perbudakan dan Perdagangan Manusia dari Sepakbola Afrika

Bagi kita yang tinggal di Indonesia dan sudah lama memperhatikan sepakbola tanah air, kita mungkin sedikit heran dengan banyaknya pemain-pemain sepakbola asal Benua Afrika di beberapa kesebelasan Indonesia.

Sekarang memang liga sepakbola di Indonesia sedang vakum menyusul dibekukannya PSSI oleh FIFA. Namun, menurut data terakhir dari Liga Indonesa (Liga QNB), sebenarnya kesebelasan di Indonesia hanya boleh memasukkan tiga nama pemain asing (termasuk dari Benua Afrika) dalam skuat mereka. (Baca juga: Ketika Negara Kalah oleh Dalih Lex Specialis Sepakbola)

Beberapa yang terkenal antara lain adalah Makan Konate (pemain Persib Bandung dari Mali), Mbida Messi (Persiram Raja Ampat dan Kamerun), Lanciné Koné (Persipura Jayapura dan Pantai Gading), Erick Weeks Lewis (Pusamania Borneo dan Liberia), Herman Dzumafo (Gresik United dan Kamerun), Sengbah Kennedy (Arema Cronus dan Liberia), sampai Eric Djemba-Djemba (Persebaya Surabaya dan Kamerun).

Selain nama-nama di atas, tentunya masih banyak lagi nama pemain asal Benua Afrika yang bermain di Indonesia pada masa lalu dan juga nantinya di masa depan.

Pernahkah kita bertanya, sebenarnya kenapa kesebelasan Indonesia bisa mengontrak mereka? Siapa yang menyalurkan (sebagai agen pemain) mereka? Apakah mereka benar-benar jago main sepakbola atau hanya kebetulan saja karena mereka berasal dari Benua Afrika? (Baca juga: Piala Afrika Menjaga Bakat Afrika Tak Binasa)

Pertanyaan ini mungkin belum bisa terjawab. Tapi menurut beberapa laporan, memang ada agen pemain di Indonesia yang khusus menyalurkan pemain-pemain asal Benua Afrika.

Jika di Indonesia dibatasi hanya tiga pemain asing, boleh kita menengok ke dalam kasus yang lebih parah. Misalnya di Laos, ketika lebih banyak lagi pemain asal Benua Afrika yang merumput di sana.

Kasus pemain asal Benua Afrika di Laos

Sepakbola adalah “permainan yang indah,” tapi kenyataannya, jika kita berbicara Laos, sepakbola sudah menjadi permainan yang buruk. Hal ini berkaitan dengan perdagangan manusia (human trafficking) yang dilaporkan oleh beberapa media.

Sebuah laporan dari BBC, “Underage African footballers 'trafficked' to Laos”, mengidentifikasi bahwa terdapat pemain berusia 14 tahun yang dikirim ke Laos dan dipaksa untuk menandatangani kontrak.

Bukan itu saja, Mereka juga mendapati bahwa setidaknya ada enam pemain di bawah umur yang dikontrak oleh Champasak United FC, sebuah kesebelasan dari Pakse, Laos. Investigasi ini menemui hulu perdagangan manusia yang berpusat di IDSEA Champasak Asia African Football Academy.

Sebanyak 23 pemain muda asal Liberia, negara asal mantan pemain dunia, George Weah, diyakinkan untuk terbang ke Laos atas undangan dari Alex Karmo. Karmo (pada gambar paling atas, ada di paling kanan, mengenakan ban kapten) adalah seorang pemain kesebelasan negara Liberia dan juga pemain kesebelasan asal Vietnam, Vissai Ninh Binh FC.

Liberia_ke_Laos
Perjalanan dari Liberia ke Laos (sumber: BBC)

Masalahnya, menurut laporan dari jurnalis Liberia bernama Wleh Bedell, IDSEA Champasak Asia African Football Academy bukanlah akademi sungguhan.

“Itu adalah akademi bohongan, yang tidak pernah terbentuk secara legal. ‘Akademi’ ini tidak memiliki pelatih ataupun doktor. Karmo adalah pelatihnya, sekaligus manajer bisnisnya, pokoknya semuanya. Sangat absurd,” seperti yang Bedell sampaikan kepada BBC.

Penyelidikan FIFPro

Buntut dari perkara ini akhirnya sampai kepada FIFPro, sebagai badan pemain sepakbola profesional. Mereka telah melakukan investigasi terhadap Champasak United selama lebih dari empat bulan.

Hasil dari investigasi FIFPro ini adalah dilepasnya 17 dari 23 pemain asal Afrika pada tiga bulan yang lalu. Mereka menyatakan bahwa kasus ini bukanlah kasus yang unik (artinya bukan satu-satunya kasus di Asia Tenggara) dan hasil investigasi ini adalah “tip of the iceberg”, atau hanya permukaan yang tampak.

Menurut laporan tersebut, Champasak melakukan “bisnis ilegal” ini untuk merapu keuntungan dari penjualan pemain-pemain tersebut di masa depan.

Sebagai tambahan, FIFA juga sudah melarang perpindahan (transfer) pemain ke luar negeri jika mereka di bawah 18 tahun. Maka, ini semakin menambah masalah untuk Champasak.

Culture Foot Solidaire, sebuah organisasi non-pemerintahan (NGO), juga melaporkan bahwa setidaknya terdapat 15.000 pemain di bawah umur asal Afrika Barat (termasuk Liberia di sana) yang diperdagangkan keluar Benua Afrika setiap tahunnya. (Baca juga: Ali Dia, Bentuk Kesalahan dari Proses Bernama Perekrutan)

Pemain Afrika kebanyakan diperlakukan dengan semena-mena

Champasak dilaporkan menurunkan pemain asing berumur 14 dan 15 tahun di liga pada musim ini. Salah satu pemain berusia 14 tahun, Kesselly Kamara dari Liberia, berkata bahwa ia dipaksa untuk menandatangani kontrak berdurasi enam tahun.

Kontrak tersebut menjanjikannya gaji dan akomodasi, tapi Kamara berkata bahwa ia tidak pernah dibayar dan harus tidur di atas lantai di stadion. Begitu juga dengan pemain asing asal Afrika lainnya.

Kontrak_K_Kamara
Kontrak Kamara yang menjanjikannya pemasukan 200 dolar AS per bulan (sumber: BBC)

“Sangat tidak enak karena ada 30 orang yang tidur di dalam satu ruangan tanpa jendela dan tanpa kunci pintu,” kata Kamara kepada BBC.

Namun, sebagai pembelaan, Karmo berkata bahwa pemain mereka diberi makan tiga kali sehari dan dibayar setiap bulannya.

BBC melaporkan bahwa setidaknya ada delapan pemain asal Afrika (enam dari Liberia, satu dari Ghana, dan satu dari Sierra Leone) yang tinggal seperti “budak”.

Pemain_Liberia_di_Laos
"Sangat sulit untuk tinggal di ruangan tanpa jendela dan dengan berdesakan" (sumber: BBC)

Mereka semua masih di bawag umur dan sudah bergani status menjadi imigran ilegal sejak Maret karena visa mereka semua telah habis. Izin kerja pun tak kunjung mereka dapatkan karena mereka semua masih di bawah umur.

”Ini adalah situasi yang serius,” kata Stéphane Burchkalter, seorang ofisial FIFPro. “Sangat mengejutkan bagi FIFPro bahwa ada kesebelasan dari Laos, yang – dengan segala hormat – merupakan negara sepakbola yang sangat kecil, tapi dapat membujuk pemain di bawah umur asal Liberia untuk bermain bagi mereka tanpa sepengetahuan FIFA.”

Kesimpulan

Tidak jelas memang seperti apa mekanisme perekrutan pemain asal Benua Afrika, terutama untuk bermain di negara-negara yang sepakbolanya tidak berprestasi seperti Laos dan juga Indonesia.

Jangankan untuk mengetahui asal-muasal mereka, untuk mengetahui kualitas mereka saja kita seringkali tertipu.

Ini lah kenapa banyak pemain Afrika yang menjadi korban perdagangan manusia, bukan hanya diperjual-belikan ke Asia Tenggara, tapi juga ke berbagai belahan dunia lainnya.

Beberapa dari mereka memang bisa jadi pemain bintang, tapi jika benar ada 15.000 pemain di bawah usia asal Afrika Barat (angka ini masih terhitung kecil karena belum melibatkan Benua Afrika bagian lainnya) yang dijual paksa setiap tahunnya, sudah sepatutnya FIFPro bersama FIFA melakukan investigasi lebih lanjut.

Sumber: BBC, Soccer Gods, Liberian Soccer, Front Page African Soccer, FIFPro

Komentar