Ketika Dortmund Minta Maaf pada Suporter yang Marah....

Berita

by Redaksi 46

Redaksi 46

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Ketika Dortmund Minta Maaf pada Suporter yang Marah....

Walau kalah, Mauro Icardi dan Fredi Guarin masih sempat melepas senyum ke arah fans. Keduanya melemparkan kostum berpeluh sisa perjuangan di atas lapangan. Fans tak terima karena pengorbanan mereka bertandang ke Stadion Mapei sia-sia; Inter kalah dari tim semenjana. (Baca: Lihatlah statistik fans Inter!)

Hal ini juga dialami Borussia Dortmund. Bermain di hadapan pendukung sendiri di Stadion Signal Iduna Park, Der BVB kalah 0-1 atas Augsburg. Penggemar marah; beberapa dari mereka hanya terdiam seakan tak percaya. Bagaimana tidak? Musim lalu, mereka melaju hingga babak final DFB Pokal, dan meraih peringkat kedua di klasemen Bundesliga. Musim sebelumnya lagi, mereka lebih prestisius: menjadi finalis Liga Champions 2013. Jelang kompetisi musim ini dimulai, mereka pun mengandaskan Bayern Munich pada Piala Super Jerman.

Kini, Dortmund terpelanting di dasar klasemen. Mereka hanya mengumpulkan 16 poin hasil empat kali menang dan empat kali seri, dari 19 kali bertanding. Dari lima pertandingan terakhir, tak sekalipun Nuri Sahin dan kolega memenangkan pertandingan.

Bahkan Dortmund seakan sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk: degradasi. Beberapa waktu lalu, mereka sudah mulai mengurus untuk mendapatkan "lisensi klub2", semacam perizinan (dengan berbagai syarat) agar bisa bermain di divisi 2.

(Simak cerita Dortmund yang mulai mengurus lisensi klub2" DI SINI)

Kekalahan atas Augsburg, membuat Dortmund berada di titik paling rendah.  Nada-nada sumbang berisi ejekan dan cacian sekali-kali terdengar. Para pemain pun merasa malu dan sungkan.

Usai pertandingan, Hummels dan Weidenfeller mendatangi tribun. Tidak, mereka tidak melemparkan kaus. Hummels mendekat menuju pagar pembatas, berinteraksi dengan para penggemar yang menyimpan raut kekecewaan di wajah mereka.

Weidenfeller melakukan hal serupa. Ia naik ke atas pagar untuk menjangkau penggemar yang berada di belakang. Ia sempat “dimarahi” oleh penggemar yang tak puas atas penampilan kesebelasan kesayangannya itu. Namun, Weidenfeller tak balas marah. Ia mencoba menenangkan. Tak ada yang senang dengan kekalahan.

Di sudut lain, pelatih Juergen Klopp, hanya bisa terdiam dan memandang. Matanya menelisik ke setiap sudut stadion. Ia menemukan para penggemar yang merindukan kemenangan, yang tidak bisa diberikan oleh dirinya.

Ada anomali yang ditunjukkan Dortmund. Pada kompetisi Eropa, mereka bermain di atas rata-rata dari yang mereka tunjukkan di liga. Dortmund bahkan memimpin klasemen grup D, di atas Arsenal, Anderlecht, dan Galatasaray.

Tak ada senyuman malam itu. Aubameyang, Shinji Kagawa, hanya bisa berdiri menatap ke arah penggemar. Yang tertinggal hanyalah sesal karena membuat penggemar kesal.

Ini memang cerita sedih. Dan kesedihan itu mutlak menjadi kesalahan para pemain dan pelatih. Nyaris tak ada alasan sedikit pun yang bisa digunakan untuk ngeles karena terbenam di dasar klasemen. Ada satu dua cedera, tapi itu tak bisa diterima sebagai dalih. Okelah jika mereka, misalnya, hanya terlempar dari tiga besar. Tapi papan bawah?

Kemarahan fans pun harus mereka terima. Setelah pertandingan semalam, Hummels, sang kapten, bilang bahwa fans layak untuk tidak bisa menerima situasi ini. "Ini memang tidak bisa diterima dan bukan juga untuk dimengerti oleh para fans."

Hal sama diucapkan oleh Klopp. "Kami bisa didakwa apa saja malam ini dan hal itu bisa dibenarkan," ucapnya dengan nada pasrah.

Dortmund sebenarnya sejak jauh-jauh hari sudah bisa merasakan kegelisahan fans. Dan mereka menyadari bahwa sesuatu harus dilakukan untuk menjelaskan bahwa manajemen, staf, pelatih dan pemain amatlah menyesal atas keterpurukan yang menimpa Dortmund musim ini.

Pada perayaan Natal akhir tahun lalu, saat mereka juga sudah berada di papan bawah, mereka menggelar pesta Natal bersama para fans setia. Karena situasi Dortmund di kompetisi yang hancur-hancuran, maka para fans itu mendapatkan perlakuan istimewa.

Pertama, selama 2,5 jam para pemain melayani sesi tanda tangan. Kedua, para fans juga dilayani minum bir. Trio kapten dan wakilnya, dari Hummels, Reus hingga Weidenfeller duduk di belakang meja bar dan melayani para fans dengan bir. Ketiganya menjadi pelayan bar.

Cerita lebih lengkap tentang momen "penebusan dosa" itu bisa dibaca DI SINI.

Itulah, setidaknya, bentuk penyesalan Dortmund terhadap para fans. Ini harus dilakukan karena Dortmund memang mendapatkan segalanya dari fans: stadion yang selalu penuh (Dortmund menjadi kesebelasan di Eropa dengan rataan jumlah penonton yang selalu memenuhi kursi di semua laga yang tertinggi di Eropa pada musim 2004-2005 dan 2011-2012.

Mereka terus merawat nafas klasik sepakbola dengan menyediakan tribun berdiri. Signal Iduna Park menyediakan kapasitas 25 ribu orang di tribun berdiri. Ini menjadi tribun berdiri terbesar di Eropa. Dan rataan penonton untuk tribun berdiri mencapai 24.425 penonton. Nyaris penuh.

Untuk semua kesetiaan yang diberikan fans itulah, Dortmund memutuskan untuk memensiunkan nomer punggung "12". Tak ada pemain yang boleh menggunakan nomer punggung itu. Sebab, nomer punggung "12" adalah simbol bagi para suporter. Inilah respons yang diberikan Dortmund kepada para pendukungnya yang setia.

Maka jangan pernah ragukan kepekaan semua orang di tubuh Dortmund terhadap reaksi yang diberikan suporter. Dan respons yang diberikan Hummels dan Weidenfeller semalam menjelaskan dengan sangat baik hal itu.

Persoalannya, sekali lagi, benarkah meminta maaf kepada fans sudah cukup? Tentu saja tidak. Tapi mau bagaimana lagi?

Tapi, setidaknya, adegan tadi malam ini memperlihatkan bahwa para pemain Dortmund tidak lari dari kemarahan dan dengan itu juga menunjukkan kesanggupan untuk bertanggungjawab. Respons mereka tadi malam itu juga menjelaskan relasi emosional nan istimewa dari pemain, pelatih, staf dan manajemen dengan para suporter. Keduanya adalah satu keluarga yang harus terus berinteraksi, dalam situasi apa pun, bahkan kendati salah satu dari mereka sedang dilanda kemarahan dan kekesalan yang mengerikan sekali pun.

Seperti dikatakan oleh Cardinal Cardinal Rodrigo Borgia, salah satu tokoh dalam The Family, novel terakhir Mario Puzo yang mengisahkan kehidupan Pope Alexander VI pada abad 15, “Kekuatan sebuah keluarga, sebagaimana kekuatan sebuah pasukan, terletak dalam loyalitas pada satu sama lain.”

Dan begitulah yang terjadi. Itu pula yang coba dilakukan Dortmund sebagai sebuah keluarga besar.


">February 4, 2015
 

">@BVB Dortmund stay bottom, Weidenfeller and Hummels discuss the match with their furious fans. https://t.co/JQEEBFL3z2

— BT Sport Football (@btsportfootball) https://twitter.com/btsportfootball/status/563085341439959040">February 4, 2015


Sumber feature image: bleacherreport.com

Baca juga:

Tidak Ada Alasan Bagi Dortmund untuk Terdegradasi Musim ini




Komentar