Semirip apa Mikel Arteta dengan Pep Guardiola?

Analisis

by Bayu Aji Sidiq Pramono

Bayu Aji Sidiq Pramono

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Semirip apa Mikel Arteta dengan Pep Guardiola?

Gelar juara Liga Inggris musim 2022/2023 diperebutkan oleh dua tim yang dipimpin oleh “Sang Guru” melawan tim “Sang Murid”. Josep “Pep” Guardiola sebagai “Guru” bersama Manchester City sedang mengejar Mikel Arteta sebagai “Murid” bersama Arsenal.

Hingga pekan ke-33, Arsenal masih memimpin dengan selisih lima poin. Tapi, Man. City masih mengantongi dua pertandingan. Oleh karena itu, kemungkinan besar gelar juara akan ditentukan pada pertandingan antara kedua tim ini.

Bagi Pep Guardiola, situasi ini bukan hal baru. Pada musim pertamanya bersama Manchester City, Pep duduk di peringkat ketiga. Musim keduanya, gelar juara di tangan. Sejak saat itu, Manchester City selalu menjadi bagian dari tim yang memperebutkan gelar. Jika menghitung sejak musim 2017/2018 hingga 2021/2022, The Citizens telah menjadi peserta perebutan gelar juara selama lima musim berturut-turut dan hanya kalah satu kali. Bahkan di klub sebelumnya, Pep selalu bagian dari perebutan gelar juara. Bisa dibayangkan se-kaya apa pengalaman pelatih berkebangsaan Spanyol tersebut.

Berbeda dengan Arteta. Memimpin sebuah tim dalam babak akhir perebutan juara salah satu liga terbaik di dunia masih asing baginya. Sejak menjabat sebagai pelatih kepala pada akhir tahun 2019, lalu dipercaya menjadi seorang manajer, baru musim ini Arteta bersaing dalam perebutan gelar juara Liga Inggris. Tidak hanya itu, sebagai salah satu pelatih termuda di Liga Inggris, tim yang ia pimpin juga terdiri dari banyak pemain muda. Jadi bisa dibayangkan, pengalaman pemain dan pelatih yang masih minim, bersaing dengan tim yang sudah sangat terbiasa menerima tekanan perebutan gelar..

Perlu diingat bahwa dua pelatih ini pernah bekerjasama selama lebih dari tiga musim. Ketika Pep memutuskan hijrah dari Jerman, ia mengajak Arteta untuk bergabung dengan tujuan mempercepat adaptasi di Liga Inggris. Momen ini bertepatan dengan keputusan Arteta untuk pensiun sebagai pemain sehingga hampir tidak ada alasan baginya untuk menolak ajakan tersebut. Arteta di bawah Pep Guardiola menjabat sebagai asisten pelatih. Arteta bertanggung jawab memastikan ide dari Pep dapat dipahami dengan baik oleh para pemain. Maka tidak heran jika Arteta begitu dekat dengan para pemain Manchester City.

Setelah itu, Arteta langsung mendapat pekerjaan pertamanya sebagai pelatih kepala untuk tim besar seperti Arsenal. Ia menggantikan Unai Emery setelah menjabat lebih dari satu musim setelah Arsene Wenger pensiun. Sebagai mantan pemain, Arteta diharapkan mampu mengembalikan identitas tim baik di dalam maupun di luar lapangan. Tidak lama menjabat sebagai pelatih, Arteta mempersembahkan gelar Piala FA. Sayangnya, konsistensi di Liga Inggris masih jauh dari harapan. Meski belum banyak prestasi yang berhasil Arteta persembahkan untuk Arsenal, perubahan dan perkembangan yang ia tunjukan sangat terasa.

Kemiripan Taktikal

Pep Guardiola ketika pertama kali datang ke Manchester City langsung menerapkan sepakbola posisional. Gaya tersebut konsisten ia terapkan sejak menjadi pelatih Barcelona dan Bayern Muenchen. Secara garis besar gaya permainan posisional dibantu dengan pembagian zona di lapangan menggunakan garis-garis imajiner secara vertikal dan horizontal. Setiap zona harus diisi minimal oleh satu pemain dengan tujuan menciptakan opsi umpan yang konsisten. Pemain tidak harus selalu berada di dalam zona tersebut terus menerus. Mereka bisa bertukar posisi dengan catatan setiap zona harus selalu terisi. Rotasi yang konstan. Oleh karena itu, untuk dapat menjalankan sistem ini, tidak hanya membutuhkan kemampuan teknik, tapi juga intelegensi. Hal ini didukung dengan kemampuan finansial klub sehingga Pep didukung penuh untuk memperkuat tim sesuai apa yang ia butuhkan sejak musim pertama.

Hingga saat ini, secara prinsip Pep masih menerapkan konsep permainan yang sama. Tapi, selalu ada detail taktik yang ia sesuaikan setiap musimnya. Salah satu contohnya adalah musim ini. Pep setelah jeda piala dunia mengubah struktur timnya. Kali ini ia bermain dengan menggunakan empat pemain yang memiliki posisi natural sebagai bek tengah untuk mengisi pos pertahanan. Ruben Dias, Manuel Akanji, dan Nathan Ake berperan sebagai bek tengah yang sejajar. Peran menarik justru dijalankan oleh John Stones yang bermain di samping Rodrigo. Dengan struktur ini, praktis Pep tidak menggunakan bek sayap yang biasanya digunakan untuk menjaga kelebaran.

Sementara Arteta, sejak awal karirnya di Arsenal juga berusaha menerapkan sepakbola posisional. Tapi, ketika ia datang ke Emirates tidak memiliki cukup pemain yang cocok untuk memainkan sistem yang ia mainkan. Tidak hanya itu, jalan bagi Arteta tidak se-mulus yang diharapkan. Terlalu banyak masalah yang harus diselesaikan Arteta. Mulai dari komposisi tim yang tidak seimbang, terlalu banyak pemain yang tidak mampu lagi berkembang, hingga masalah teknis lainnya.

Kendati demikian, Arteta berusaha beradaptasi dengan tidak memaksakan konsep sepakbola yang ia inginkan. Ia merombak tim mulai dari lini pertahanan. Sempat bermain dengan lima bek, bahkan menaruh Bukayo Saka dan Granit Xhaka sebagai bek kiri. Setelah itu, ia juga beradaptasi dengan mengubah struktur permain menjadi 4-4-1-1 dengan memasang Alexandre Lacazette sebagai penyerang bayangan di belakang Pierre-Emerick Aubameyang.

Konsep dan gaya permainan yang ingin Arteta tampilkan baru terlihat musim lalu. Meski tidak selalu berjalan sempurna, tapi arahnya sudah jelas. Thomas Partey dipasangkan dengan Granit Xhaka sebagai double pivot. Saka ditempatkan di sayap kanan hingga potensi nya jauh lebih optimal. Emile Smith Rowe dan Gabriel Martinelli bergantian mengisi pos sayap kiri. Masalah utama pada periode ini adalah efektivitas dan lini tengah yang masih kaku. Sebab utamanya adalah pemahaman pemain terhadap sistem yang ingin Arteta terapkan masih terbatas sehingga eksekusi di lapangan tidak maksimal.

Musim ini, sistem yang diterapkan Arteta mampu dieksekusi jauh lebih efektif. Kedatangan Oleksandr Zinchenko dan Gabriel Jesus dari Manchester City semakin melengkapi kepingan-kepingan yang Arteta butuhkan. Berkat kehadiran Zinchenko yang berperan sebagai inverted fullback membuat Granit Xhaka bisa lebih ke depan, berdiri di zona halfspace sebelah kiri. Jesus yang menjadi penyerang utama Arsenal menjawab masalah musim lalu. Gaya bermain Jesus yang lebih dinamis juga membuat struktur serangan Arsenal lebih variatif, cair, tapi tetap rapi.

Jadi secara umum, prinsip yang diterapkan Pep dan Arteta kurang lebih sama yaitu sepakbola yang posisional. Perbedaan nya adalah level eksekusi di lapangan yang disebabkan oleh kualitas pemain. Arteta perlu beradaptasi dan menempuh jalan panjang untuk dapat menerapkan sistem yang ingin ia terapkan sementara Pep cenderung lebih cepat karena memiliki kualitas pemain lebih baik. Saat ini, Pep telah melakukan perubahan detail taktik yang diterapkan dan belum banyak pelatih yang mengikuti jejak Pep. Termasuk Arteta.

Kemiripan Pengambilan Kebijakan Non-Teknis

Pengalaman tiga setengah musim menjadi asisten Pep Guardiola tentu tidak hanya berdampak pada sudut pandang penerapan taktikal di lapangan. Tapi juga mempengaruhi cara Arteta dalam mengelola hal-hal non-teknis di dalam tim. Maka tidak heran jika Arteta memiliki sikap yang mirip dengan Pep. Salah satu kemiripan non-teknis yang cukup mudah terlihat adalah tentang ketegasan.

Ketika Pep pertama kali medarat di Etihad, Pep secara terang-terangan menyebut beberapa nama pemain yang sulit menerapkan sistem permainan nya. Ia secara terang-terangan mengkritik Sergio Aguero karena tidak bermain sesuai yang ia inginkan. Pep juga berani meminggirkan Yaya Toure yang menjadi pemain penting dalam beberapa musim terakhir. Juga meminjamkan Joe Hart ke Torino meski pada saat itu ia berstatus sebagai kiper utama dan kiper tim nasional Inggris.

Hal ini menunjukan bahwa Pep punya sikap yang jelas sebagai pelatih kepala. Ia paham jelas apa yang ia butuhkan untuk tim. Tidak ragu bersikap tegas kepada semua pemain tanpa pandang bulu.

Kebijakan tersebut juga dilakukan oleh Arteta. Ia tidak ragu melepas beberapa pemain yang tidak memberikan kontribusi terhadap tim. Hector Bellerin, Shkodran Mustafi, Sead Kolasinac, Alexandre Lacazette adalah contoh kecil pemain yang sudah dilepas Arteta. Saat ini, tercatat hanya Granit Xhaka, Bukayo Saka, Gabriel Martinelli, dan Rob Holding yang masih aktif bermain untuk Arsenal di bawah kepemimpinan Mikel Arteta.

Soal ketegasan, Arteta juga mencontoh sang guru. Arteta juga tegas terhadap pemain yang tidak disiplin. Aubameyang misalnya. Musim lalu, Auba adalah kapten tim. Tapi, ia dilaporkan sering melakukan tindakan yang tidak disiplin. Puncaknya ketika Auba terlambat datang ke sesi latihan setelah menjenguk ibunya yang sakit. Momen itu menjadi pemicu Arteta untuk melepas jabatan kapten dan tidak lagi menurunkan Auba sebagai pemain utama. Arteta tidak mempermasalahkan niat Auba untuk menjenguk ibu nya yang sakit. Tapi ia tidak bisa lagi mentoleransi tindakan indipliner Auba yang tidak menunjukan sikap seorang pemimpin.

Pembeda

Meski terdapat kemiripan yang cukup kasat mata antara Pep dan Arteta, tentu ada pembeda dari dua pelatih ini. Hal ini tentu lumrah terjadi karena kedua pelatih ini terpaut umur dan pengalaman yang cukup jauh. Meski pernah berkerabat di Spanyol, tapi jalan yang mereka temput berbeda. Pep selama menjadi pemain hampir menghabiskan seluruh karirnya di Barcelona. Sementara Arteta merasakan puncak karir sebagai pemain sepakbola di Inggris (Everton dan Arsenal).

Secara umum, Pep jelas jauh lebih berpengalaman dari Arteta. Maka tidak heran jika dari sisi efektivitas dan efisensi penerapan dan adaptasi taktikal jauh lebih baik. Setiap kali Pep menemukan atau mengubah detail taktik ke dalam tim nya, tingkat keberhasilan nya cukup tinggi. Bahkan menjadi inspirasi bagi tim lain. Erik ten Hag yang juga pernah bekerja bersama Pep di Bayern menyampaikan bahwa sepakbola Jerman berubah ketika Pep datang.

“Sepak bola di Jerman berbeda sejak Pep. Seluruh liga berubah karena caranya bermain sepak bola. Saya menonton hampir setiap pelatihan (sesi). Saya belajar banyak dari metodenya, bagaimana dia mentransfer filosofinya ke lapangan.” kata Erik via The Athletic.

Perbedaan ini tentu disadari oleh Arteta. Oleh karena itu, ia mencoba mencari metode lain agar tim nya lebih baik. Pola pikir ini membuat Arteta sangat memperhatikan detail-detail baik dalam hal teknis maupun non-teknis. Agar dapat menumbuhkan motivasi dan rasa memiliki antara pemain terhadap klub, Arteta mengubah layout ruang ganti. Ia juga memasang poster atau ilustrasi yang mencerminkan identitas dari Arsenal seperti “Victory Through Harmony” dan sebagainya.

Tidak hanya itu, Arteta juga melakukan beberapa metode untuk memperkuat psikis pemain sebagai bentuk persiapan menghadapi laga penting. Musim lalu ketika Arsenal akan bertandang ke Anfield, sesi latihan diiringi dengan lagu “You’ll Never Walk Alone” agar pemain nya tidak kaget ketika berdiri di rumput Anfield dengan atmosfer teriakan nyanyian pendukung Liverpool yang sangat masif.

Kita bisa menyebutnya "faktor x" atau mungkin sekadar upaya psikologis semata, tetapi yang pasti Arteta tidak ingin karier kepelatihannya selalu berada di bawah bayang-bayang Guardiola.

Komentar