Menelaah Penyebab Timnas Indonesia Krisis Striker Lokal

Analisis

by Ifsani Ehsan Fachrezi

Ifsani Ehsan Fachrezi

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Menelaah Penyebab Timnas Indonesia Krisis Striker Lokal

Sepak terjang Indonesia di Piala AFF 2020 merupakan titik awal kembalinya Timnas Indonesia untuk bersaing di kancah persepakbolaan Asia Tenggara. Indonesia sukses masuk ke babak final bermodalkan komposisi pemain muda minim pengalaman di laga internasional. Meskipun takluk di tangan Thailand dengan agregat 6-2, Indonesia menjadi tim yang paling produktif dalam hal mencetak gol

20 gol dibukukan oleh Indonesia ke gawang lawan, sedangkan sang juara, Thailand melesatkan 18 gol. Namun, yang perlu disoroti bukanlah soal bagaimana Indonesia sebagai tim yang paling produktif, melainkan bagaimana suatu tim efektif dalam menciptakan gol melalui lini depannya, termasuk peran striker dalam urusan mencetak gol. Pasalnya dari 20 gol, hanya dua gol yang dicetak oleh seorang striker.

Di ajang AFF 2020, pelatih Indonesia, Shin Tae-yong memboyong empat penyerang, yakni Kushedya Yudo, Dedik Setiawan, Ezra Walian, dan Hanis Sagara. Dari keempat striker yang dibawa, hanya Ezra yang mampu menuntaskan peran utama seorang striker dalam mencetak gol.

Hal tersebut senada dengan apa yang diutarakan oleh Shin Tae-yong dalam sesi jumpa pers setelah pertandingan partai final kontra Thailand di putaran kedua. Ia menyebut jika posisi striker merupakan posisi paling lemah selama kompetisi berjalan.

Dikutip dari Kompas.com, “Di tim kami memang posisi yang paling lemah adalah striker.” Kata Shin Tae-yong.

Posisi striker memang bukan posisi yang mudah. Selain bertugas sebagai penentu di depan mulut gawang dan dituntut untuk mencetak gol, seorang striker harus pandai dalam mencari posisi kemana bola akan jatuh. Belum lagi postur dan fisik yang kuat untuk menghadapi pemain bek tengah yang memiliki postur kuat dalam melakukan duel.

Striker tajam Indonesia masa lampau

Jika dilihat dari rekam jejak kesuksesan striker “lokal” Timnas terdahulu, ada empat nama yang paling mentereng, yakni Kurniawan Dwi Yulianto, Rochy Putiray, Bambang Pamungkas, dan Boaz Solossa. Keempat striker tersebut subur dalam hal mencetak gol ketika membela Timnas maupun di klub-nya.

Kurniawan sukses melesatkan 33 gol ketika membela Timnas, dari total 200 gol di semua kompetisi. Rochy melesatkan 17 dari total 313 gol, Bepe 37 gol dari total 222 gol, dan Boaz 14 gol dari total 226 gol di semua kompetisi.

Bertambahnya usia para penghuni lini depan Timnas membuat kekhawatiran bagaimana tongkat estafet sumber gol terus bersambung. Jika Timnas generasi Kurniawan dan Rochy diteruskan oleh Bepe dan Boaz, maka tongkat estafet selanjutnya berlanjut di siapa?

Bepe sudah tidak menghuni skuad garuda sejak 11 tahun, dan Boaz lima tahun silam. Hingga gelaran Piala AFF 2020, tidak ada yang mampu menggantikan peran striker berlabel lokal nan subur setelah Bepe dan Boaz.

Sudah menjadi rahasia umum jika Indonesia krisis pemain striker murni atau posisi nomor Sembilan. Hal tersebut semakin terasa ketika sepeninggalan Boaz yang berakhir di kompetisi Piala AFF 2016. Setelah itu Indonesia lebih memilih jasa striker asing naturalisasi, seperti Beto Goncalves, Ilija Spasojevic, hingga sekarang Ezra Walian.

Percaya striker asing daripada lokal

Surutnya talenta untuk mengisi posisi striker Indonesia merupakan salah satu dampak dari kurangnya kepercayaan kepada striker lokal di kompetisi liga Indonesia. Jika ditelaah lebih lanjut, di liga teratas Indonesia, hampir tidak ada klub yang menggunakan jasa striker lokal. Arema FC menjadi salah satu klub yang berani dalam memainkan dua striker, Dedik dan Yudo. Itu juga sebagai wide striker yang mendampingi Carlos Fortes sebagai striker murni.

Begitu pula dengan Hanis Sagara, yang sedikit demi sedikit mulai dipercaya tampil untuk klub-nya, Persikabo meskipun hanya tampil tiga pertandingan hingga pekan ke 17, ia berhasil mencetak satu gol.

Jika dilihat dari torehan pencetak gol terbanyak hingga pekan ke 17, mayoritas dihuni oleh pemain asing. Hanya Irfan Jaya yang muncul di jajaran pemain asing dengan mencetak enam gol. Enam gol tersebut merupakan jumlah separuh dari pencetak gol terbanyak, yakni Youssef Ezzejjari dan Ilija Spasojevic dengan torehan 12 gol. Bahkan, Irfan Jaya bukan pemain dengan posisi asli striker, melainkan penyerang sayap.

Ini senada dengan apa yang dikatakan Shin Tae-yong dalam mengatakan penyebab Indonesia krisis striker. Dilansir dari Kompas.com ia berkata, “Di liga Indonesia, striker juga lebih banyak memakai pemain asing. Jadi, pemain Indonesia di posisi striker sulit sekali berkembang.”

Memanfaatkan kesempatan 100 persen

Hilangnya penerus tongkat estafet bukan perihal masalah minim talenta, namun bagaimana cara sang pemain memanfaatkan kesempatan. Ketika seorang pemain, terutama striker dipercaya oleh sang pelatih, maka sang pemain harus mengerahkan 100 persen kemampuannya untuk pembuktian. Baik itu mencetak gol atau tidak, setidaknya kesempatan tersebut dapat menjadi bekal untuk menatap kesempatan lain.

Seperti yang dilakukan Bepe dan Boaz di masa lampau, karir Bepe berawal dari partai yang sarat akan gengsi antara Persija Jakarta melawan Persib Bandung. Di usia yang sangat belia, ia menunjukkan mental bertanding dan berhasil mencetak brace di laga debut-nya. Dua gol ke gawang Persib tersebut menjadi awal mula keran gol Bepe mengalir. Di di lima musim pertama membela Persija Bepe mengantongi 60 gol dari 126 pertandingan.

Selain tampil gemilang di negeri kelahiran, namanya pun dikenang di liga Malaysia kala bergabung dengan Selangor FA. Kedatangannya menjadi suntikan kekuatan bagi Selangor, sekaligus berkontribusi besar dalam menjuarai Malaysia Premier League, kasta kedua liga Malaysia. Ia mencatatkan namanya sebagai pencetak gol terbanyak dengan torehan 23 gol di 24 pertandingan.

Setelah itu, ia kembali ke tanah kelahirannya dengan bergabung bersama Persija Jakarta, Pelita Bandung Raya, dan pada akhirnya pensiun di Persija Jakarta di tahun 2019. Sejak pulang ke Indonesia, ia tak pernah berhenti mencatatkan namanya di papan skor.

Berbeda dengan Bepe yang tampil gemilang di klub dan baru dipanggil oleh Timnas, Boaz justru tampil terlebih dahulu di Timnas. Bakatnya mulai terendus kala ia tampil impresif di Pekan Olahraga Nasional XVI Palembang. Dipanggil untuk masuk ke dalam skuad Timnas tahun 2004 ia tampil dengan membukukan total empat gol di gelaran Piala Tiger 2004. Hal tersebut merupakan kesempatan yang dimanfaatkan dengan sangat baik oleh seorang bocah dengan status non-profesional di kancah internasional.

Ini menjadi titik awal Boaz tampil secara profesional setelah dikontrak oleh klub tanah kelahirannya, Persipura Jayapura. Boaz sudah menjadi ikon di klub tersebut dengan menorehkan 225 gol dari 359 penampilannya bersama Persipura.

Bepe maupun Boaz, penampilan gemilangnya di klub berbanding lurus dengan torehannya di Timnas. Maka dari itu, pelatih Timnas era Bepe dan Boaz tidak pernah pusing memikirkan kebutuhan striker tajam dan haus gol.

Contoh regenerasi striker dari negeri tetangga

Namun di penghujung karir Bepe dan Boaz, seharusnya ada penerus tongkat estafet tersebut. Bibit-bibit Timnas kala itu sebenarnya cukup mumpuni, kala Evan Dimas CS menjuarai AFF U19 2013 yang hangat menjadi perbincangan. Striker seperti Mukhlis Hadi, hingga Dimas Drajat yang seharusnya ketika sepeninggalan Boaz tahun 2016 menginjak usia matang, tidak menunjukkan batang hidung mereka.

Jika melihat kepada regenerasi striker yang dilakukan oleh tim terkuat di Asia Tenggara, Thailand, sebetulnya mereka telah memproyeksikan itu sejak jauh-jauh hari. Di penghujung masa emas Teerasil Dangda sebagai ujung tombak Thailand, ada satu nama yang menjadi kandidat kuat penerus tongkat estafet tersebut. Supachai Chaided, merupakan seorang striker yang memiliki tipikal kurang lebih sama dengan terdahulunya.

Supachai menjadi andalan Timnas Thailand di kelompok usia. Namanya selalu mengunci posisi striker sejak U 19 hingga kini di senior sebagai pemain pengganti Teerasil. Bakatnya sudah tercium kala ia tampil di Timnas Thailand U 19, dan pada akhirnya di tahun 2016, klub raksasa Thailand, Buriram United meminang Supachai sebagai bagian dari tim.

Di umur yang cukup belia, ia beberapa kali dipercaya tampil di klub-nya. Hingga kini, ia mengemas 17 gol dari 121 penampilannya bersama Buriram United. Kemudian, Bersama Timnas Thailand ia mengemas lima gol dari 26 pertandingannya bersama tim senior. Di kelompok umur U 19, ia menorehkan tujuh gol dari 16 pertandingan, dan di U23 ia menorehkan 11 gol dari 18 pertandingan.

Jika melihat kasus tersebut, Thailand memiliki rencana jangka panjang, dan serius mempersiapkan penerus, kala generasi terbaiknya tergerus oleh usia.

Tinggal menunggu waktu

Sebetulnya Timnas masih punya waktu untuk mengulang kembali masa-masa emas Indonesia dengan memiliki striker tajam. Pasalnya, Indonesia memiliki beberapa opsi striker dengan usia muda yang perlu ditempa ketajamannya.

Nama seperti, Taufik Hidayat, Ronaldo Kwateh, Alfriyanto Nico, Hanis Sagara, hingga Bagus Kahfi yang kini berkarir di klub Belanda, Jong Utrecht. Persija sebagai klub yang sering memakai jasa pemain mudanya seperti Taufik dan Nico. Kemudian Ronaldo yang juga sering bermain di kesebelasan pertama maupun sebagai pemain pengganti di klub-nya, Madura United. Tinggal menunggu sepak terjang Bagus yang hingga saat ini belum dipercaya sepenuhnya sebagai pemain andalan di klub-nya.

Di tangan dingin Shin Tae-yong, Timnas sedang memproyeksikan jangka panjangnya untuk menjadi tim yang kokoh. Keluhannya mengenai striker hanya jangka pendek seputar Piala AFF 2020, karena jika dilihat lebih jauh, talenta seperti striker, Indonesia sebetulnya masih punya potensi tersebut.

Jika melihat Training Centre (TC) Timnas di Turki tahun lalu, di kelompok usia U18, Indonesia melakukan dua uji tanding menghadapi Alanyaspor FC U18, Turki. Mereka memenangkan dua pertandingan dengan skor 3-1 dan 4-0. Ronaldo Kwateh menjadi pencetak gol terbanyak di dua pertandingan tersebut dengan mencetak total empat gol.

Jika kini Indonesia krisis striker lokal, maka tinggal menunggu waktu bagaimana bibit-bibit ini berkembang di tangan yang benar. Bermain di luar negeri menjadi perawatan yang baik bagi pemain potensial yang dimiliki Indonesia.

Seperti yang diutarakan oleh Shin Tae-yong, “Saya berharap para pemain Indonesia bisa bermain di luar negeri. Liga Jepang, Korea Selatan, hingga Eropa. Mereka akan belajar budaya sepakbola di negara yang lebih maju. Dengan begitu, akan berdampak pada perkembangan untuk sepakbola Indonesia,” ujarnya saat pre-match conference final putaran kedua Piala AFF 2020.

Komentar