Bagaimana Leipzig Memenangi Pertarungan Pressing Melawan Leverkusen

Analisis

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Bagaimana Leipzig Memenangi Pertarungan Pressing Melawan Leverkusen

Di Bundesliga akhir pekan ini semua perhatian tertuju pada Bayern München melawan Borussia Dortmund yang ternyata anti-klimaks. Namun ada satu pertandingan yang lebih menarik secara taktis, terutama jika membicarakan pressing, yaitu Bayer Leverkusen melawan RB Leipzig.

Bermain di BayArena, Leverkusen dipermalukan dengan skor 2-4, padahal mereka sempat unggul 2-1 ketika turun minum. Leverkusen memang lebih menguasai bola, meski jumlah tembakan di antara kedua kesebelasan tidak jauh berbeda (11-8). Namun yang menjadi sorotan pada pertandingan ini adalah bagaimana pressing RB Leipzig bisa membuat mereka unggul.

Kedua kesebelasan dengan kedua pelatihnya terkenal dengan permainan menekannya. Peter Bosz, pelatih Leverkusen, terkenal karena high pressing-nya. Sementara Ralf Rangnick, pelatih Leipzig, andal memainkan sepakbola reaktif dengan counter-pressing.

Pada pertandingan ini, kedua kesebelasan sama-sama kehilangan pemain andalan mereka, yaitu Karim Bellarabi untuk Leverkusen dan Yussuf Poulsen untuk Leipzig.

Bosz memainkan skema menekannya dengan formasi awal 4-3-3. Sementara Leipzig sebenarnya bisa dibilang memakai formasi 4-4-3 juga. Namun dengan mengandalkan dua penyerang dan satu gelandang serang untuk menekan lawan, Leipzig lebih layak disebut memakai formasi 4-1-2-1-2.

Gambar 1 – Susunan pemain Bayer Leverkusen dan RB Leipzig – sumber: Wyscout

Meski terjadi drama enam gol, empat gol yang tercipta berasal dari situasi bola mati: Kai Havertz mencetak gol penalti (1-0), Marcel Sabitzer mencetak gol tendangan bebas (1-1), Havertz kemudian mencetak gol yang berawal dari sepak pojok (2-1), dan Emil Forsberg mencetak gol penalti (2-3).

Hanya gol tendangan bebas Sabitzer yang berawal dari taktik Leverkusen dan respons Leipzig (akan dijelaskan lebih lanjut setelah ini). Insiden penalti pada gol Forsberg bahkan menuai kontroversi. Kemudian gol yang tak berasal dari set piece adalah gol penyama kedudukan dari Timo Werner dan gol spektakuler Matheus Cunha di menit ke-83.

Sepanjang 90 menit, kedua kesebelasan sama-sama berhasil mencatatkan empat shot on target. Bedanya semua tembakan on target Leipzig berbuah gol, tapi Leverkusen hanya dua gol.

Tranformasi Tekanan Leipzig

Selain hasil akhirnya, ada beberapa alasan kenapa pertandingan Leverkusen melawan Leipzig lebih menarik secara taktis daripada Bayern melawan Dortmund. Leipzig dan Leverkusen sama-sama banyak menembak: Leverkusen terbanyak ketiga di Bundesliga (384 tembakan), Leipzig terbanyak keempat (375).

Begitu juga ketika melihat statistik key pass, Leverkusen (terbanyak ketiga dengan 96 key pass) dan Leipzig (terbanyak keempat dengan 92) sama-sama menunjukkan intensitas yang tinggi. Dari awal, di atas kertas, pertandingan ini sudah menjanjikan terjadinya banyak peluang.

Kemudian kedua pelatih juga sama-sama mengandalkan pressing dalam permainan mereka, meski Leipzig lebih reaktif.

Pada pertandingan ini, pressing kedua kesebelasan bisa terlihat pada Leverkusen yang mencatatkan 21 opponent half recoveries, sementara Leipzig 28. Meski Leipzig lebih banyak melakukan recovery di wilayah lawan, pressing Leipzig baru benar-benar intens ketika Leverkusen sudah memasuki middle third.

Gambar 2 – Leipzig menekan lebih intens ketika tertinggal

Skema pressing Leipzig agak berubah ketika mereka sadar mereka butuh mengejar gol, sehingga mereka menerapkan pressing yang lebih intens di final third. Contohnya bisa dilihat pada gambar di atas. Itu lah kenapa pada akhirnya opponent half recovery yang mereka catatkan bisa lebih banyak daripada Leverkusen.

High-Pressing Leverkusen Membuat Transisi Bertahan Mereka Kacau

Tidak seperti Leipzig yang terlihat lebih sabar, Leverkusen menerapkan high-pressing dengan tujuan memenangi bola di posisi sedepan mungkin di pertahanan lawan. Hal ini bisa dilihat pada gambar di bawah ini, di mana semua pemain Leverkusen memiliki pemain Leipzig yang bisa “dipegang”.

Gambar 3 – Pressing tinggi Leverkusen yang terjadi sesaat setelah Leverkusen kehilangan bola

Namun karena di pertandingan ini Leipzig tak banyak menguasai bola, kita jadi jarang melihat Leverkusen sampai bisa menekan Leipzig yang sedang melakukan build up dari belakang. Selain itu setiap kali penjaga gawang Leipzig, Péter Gulácsi, menguasai bola, dia mendistribusikannya jauh ke depan (termasuk pada situasi tendangan gawang).

Gambar 4 – Peta operan panjang (kiri) dan pendek (kanan) Gulácsi – sumber: Wyscout

Sepanjang pertandingan, Gulácsi hanya melakukan operan pendek sebanyak dua kali, 14 sisanya (dengan enam di antaranya gagal menemui sasaran) adalah bola panjang ke depan. Ini berbanding terbalik dengan Hrádecký yang melakukan 32 operan pendek (satu di antaranya gagal), yang menegaskan bahwa Leverkusen juga melibatkan penjaga gawang dalam melakukan build up.

Hal ini membuat high-pressing Leverkusen justru banyak ditunjukkan pada situasi setelah serangan mereka gagal.

Gambar 5 – Leverkusen sering menyerang melibatkan lima sampai enam pemain untuk maju

Kebetulannya, Leverkusen kalau menyerang lebih free-flowing. Ketika dapat bola, bisa ada lima sampai enam pemain yang ikutan menyerang (seperti Gambar 5). Ketika bola berganti dikuasai lawan, mereka langsung menerapkan high-pressing (seperti Gambar 3).

Di sini kadang mereka bisa langsung memenangi bola lagi. Namun kalau mereka gagal memenangi bola, mereka sangat rentan terkena serangan balik. Ini menunjukkan jika transisi menyerang ke bertahan mereka kurang baik.

Gambar 6 – Jika gagal memenangi bola lagi, Leverkusen akan kalah jumlah pada situasi serangan balik lawan

Pada rentetan gambar di atas, kita bisa melihat alur serangan Leverkusen yang justru membuat mereka pada akhirnya terkena serang balik lawan. Peluang di atas sendiri menghasilkan pelanggaran di depan kotak penalti Leverkusen. Tendangan bebas Sabitzer kemudian membuat skor berubah menjadi 1-1.

***

Pertandingan ini mendemonstrasikan kedua kesebelasan yang memainkan pressing dengan gayanya masing-masing. Leipzig melakukan counter-pressing yang lebih sabar di final third mereka dan baru menekan intens pada saat bola memasuki middle third. Meski begitu skema ini berubah setelah Leipzig tertinggal 1-2, di mana mereka menekan lebih intens.

Sementara itu serangan Leverkusen yang terlalu free-flowing dikombinasikan dengan high-pressing mereka sering membuat Leverkusen terkena serangan balik. High-pressing Leverkusen tidak banyak terjadi karena Leipzig lebih jarang menguasai bola dan lebih sering langsung mengirimkan bola panjang ke depan alih-alih membangun serangan dari belakang.

Leverkusen masih menunjukkan kelemahan saat transisi bertahan. Sekarang sudah tiga pertandingan berturut-turut Leverkusen mengalami kekalahan. Memang ada sedikit kontroversi pada insiden penalti Leipzig yang melibatkan VAR, tapi itu semua mampu ditutupi akibat gol spektakuler Cunha.


Simak opini, komentar, dan sketsa adegan Rochy Putiray tentang jual-beli lisensi klub yang kerap terjadi di Liga Indonesia:



Komentar