Penalti Singkirkan Timnas Indonesia, Tapi Tak Harus Singkirkan Milla

Analisis

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Penalti Singkirkan Timnas Indonesia, Tapi Tak Harus Singkirkan Milla

Timnas Indonesia Sepakbola Putra tampil percaya diri saat menghadapi Uni Emirat Arab (UEA) di babak 16 besar Asian Games 2018 yang digelar Jumat (24/8). Sejak pertandingan dimulai, skuat asuhan Luis Milla tersebut bermain menyerang dan menciptakan banyak peluang. Apalagi Indonesia sempat tertinggal dua kali, sampai akhirnya kalah pada babak adu penalti (3-4) setelah imbang 2-2.

Tetap menggunakan pola dasar 4-2-3-1, Milla melakukan satu perubahan susunan pemain pada laga ini. Andi Setyo dimainkan sejak menit pertama menggantikan Rezaldi Hehanusa yang bermain sebagai starter di dua laga sebelumnya menghadapi Laos dan Hong Kong. Perubahan ini membuat Ricky Fajrin ditempatkan di pos Rezaldi, yakni bek kiri.

Sial bagi Andi Setyo, penampilan perdananya di Asian Games 2018 ini langsung menghasilkan penalti untuk UEA pada menit ke-19. UEA pun langsung unggul 1-0 lewat eksekusi penalti Zayed Alameri yang mampu mengecoh kiper Indonesia, Andritany Ardhyasa. Skor 0-1 bertahan hingga turun minum.

Luis Milla lantas mengubah skema usai turun minum. Andi Setyo ditarik keluar, digantikan Septian David Maulana. Seorang bek tengah digantikan pemain menyerang menunjukkan pelatih asal Spanyol tersebut hendak meningkatkan intensitas serangan. Sejak unggul, UEA sendiri memang bermain lebih dalam saat tak menguasai bola dan lebih mengandalkan serangan balik. Indonesia mengakhiri babak pertama dengan unggul penguasaan bola; 55% berbanding 45%.

Memasukkan Septian David membuat pola dasar Indonesia berubah dari 4-2-3-1 ke 3-3-1-3. Ricky Fajrin diposisikan sebagai bek tengah-kiri; Hansamu Yama bek tengah dan Putu Gede bek tengah-kanan. Febri Hariyadi yang awalnya bermain sebagai winger kiri agak diturunkan dan memainkan peran wing-back di sisi sebelah kiri pada babak kedua.

Hasilnya langsung terlihat enam menit setelah babak dua dimulai. Beto Goncalves menyamakan kedudukan. Septian David terlibat pada terciptanya gol ini dengan umpan silang yang ia kirimkan untuk Beto.

Sialnya lagi bagi Indonesia. UEA kembali unggul tiga menit setelah gol Beto. Shaun Evans, wasit yang sempat menuai kontroversi di Liga 1 Indonesia, kembali memberikan penalti untuk UEA. Zayed yang kembali menjadi eksekutor pun lagi-lagi membuat Andritany tak berdaya; kali ini lewat panenka.

Milla langsung bereaksi enam menit kemudian. Saddil Ramdani dimasukkan mengganti Irfan Jaya. Masih menemui deadlock, tiga menit jelang waktu normal berakhir Febri diganti Ilham Udin. Digantikannya Febri, Milla menginstruksikan Saddil bermain di sisi sebelah kiri.

Sama seperti Febri, Saddil bermain lebih dalam sebagai pemain sayap. Ia akan menerima bola pada posisi yang jauh sebelum kotak penalti lawan. Bedanya, Saddil tampaknya diinstruksikan untuk lebih dini mengirimkan umpan silang: tidak perlu lebih dulu mencapai kotak penalti untuk mengirim umpan silang. Sebelum mendekati kotak penalti, kaki kiri Saddil langsung mengirim umpan-umpan silang.

Dengan tambahan penyerang (memasukkan Septian David usai turun minum), skema ini cukup logis. Masuknya Septian David mendorong Stefano Lilipaly untuk lebih sering berada di kotak penalti, sehingga target umpan silang tidak hanya Beto seorang. Hasilnya Lilipaly berhasil mencetak gol pada menit ke-94 memanfaatkan umpan silang Saddil ke tiang dekat UEA.

UEA yang tak menyangka bisa kebobolan jelang akhir laga akhirnya harus keluar menyerang pada babak tambahan. Semakin menyerang UEA, lini pertahanan mereka pun semakin terbuka.

Indonesia terus menciptakan peluang walau pada akhirnya gagal membalikkan keadaan. Sampai akhir babak kedua extra time, Indonesia bukan hanya unggul penguasaan bola (60%), tapi juga dalam akurasi operan (81% berbanding 71%), tembakan tepat sasaran (7 berbanding 4), dan menang duel udara (62% banding 38%).

Angka-angka di atas menunjukkan jika permainan tim asuhan Luis Milla secara umum sudah sesuai dengan filosofi sepakbola Indonesia (FILANESIA), meski pada akhirnya laga harus dilanjutkan ke babak adu penalti.

Di babak penalti, dua penendang Indonesia, Septian David dan Saddil, gagal mencetak gol. Sementara hanya satu pemain UEA yang tendangannya membentur mistar, sisanya mampu "menipu" Andritany. Langkah Indonesia pun terhenti di babak 16 besar. Capaian yang sama dengan Timnas Indonesia pada Asian Games 2014.

Uni Emirat Arab, sementara itu, melangkah ke babak perempat final. Hasil yang cukup mengejutkan bagi mereka karena sepanjang fase grup UEA tampil kurang meyakinkan. Tergabung di Grup C, mereka hanya meraih satu kemenangan, melawan Timor-Leste. Melawan Tiongkok dan Suriah, UEA takluk. Mereka melangkah ke babak berikutnya sebagai peringkat tiga terbaik.

Luis Milla Out?

Sebelum laga melawan UEA, tekanan pada Milla sebagai pelatih Timnas Indonesia meninggi. Apalagi terdapat pernyataan Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, yang mengatakan bahwa jika Indonesia gagal memenuhi target di cabang sepakbola, Milla akan dipecat. PSSI sendiri menargetkan Indonesia masuk ke semifinal.

Sejak Kongres PSSI 2017 dan sejak Milla menangani Timnas Indonesia, Milla memang diberikan target-target yang terbilang berat. Tapi pencapaian di Asian Games ini disebut-sebut akan menjadi penentuan nasib Milla. PSSI merasa persiapan Indonesia untuk Asian Games sudah cukup matang.

"Kami untuk satu tahun terakhir ini persiapan Asian Games, utamanya tujuh bulan terakhir, kami sudah ketemu dengan lawan-lawan yang ada di grup sebelah. Contohnya Suriah, Bahrain, Uzbekistan, Korea Selatan, Korea Utara, dan Thailand, kami sudah bertemu," kata Sekjen PSSI, Ratu Tisha Destria.

"Jadi ada lima tim yang sudah menjajal tim U23-nya. Walaupun memang skuat di Asian Games mungkin ada yang berubah. Nah, kami harap dengan kami memiliki uji tanding-uji tanding dengan yang peringkatnya di atas kami yang tangguh, kami bisa mengimbangi permainan, bahkan mendominasi permainan melawan tiga lawan kami di grup ini," sambungnya.

Maka bukan tak mungkin PSSI akan benar-benar memecat Milla yang gagal memenuhi target. Jika berdasarkan target, di mana Milla tak mampu melakukannya, ia memang pantas dipecat. Tapi pantaskah memecat Milla lewat hasil Asian Games?

Melihat dari hasil melawan UEA, sebenarnya Milla menunjukkan bahwa ia pelatih berkualitas yang masih layak untuk dipertahankan, setidaknya hingga Piala AFF 2018 yang akan digelar 8 November sampai 15 Desember 2018. Toh, jika menang melawan UEA pun lawan berat sudah menanti; Bangladesh atau Korea Utara, terutama Korea Utara yang meraih perak pada Asian Games 2014.

Milla mampu merespons skema lawan dengan baik lewat pergantian-pergantian pemain yang ia lakukan. Bukan hanya melawan UEA, melawan Hong Kong pun Indonesia sempat tertinggal lebih dulu sampai akhirnya mampu meraih kemenangan. Lebih jauh, para pemain Indonesia bermain dengan determinasi tinggi dan memainkan sepakbola yang menjanjikan; sesuai dengan FILANESIA yang menjadi filosofi sepakbola Indonesia.

Para pemain muda Indonesia pun menunjukkan perkembangan positif selama dilatih Milla. Rezaldi Hehanusa, Gavin Kwan Adsit, Irfan Jaya, hingga Saddil Ramdani menjadi pemain dengan perkembangan paling signifikan. Hansamu Yama, Ricky Fajrin, dan Septian David pun semakin matang dalam bermain. Karena bagaimana pun, sepakbola kategori usia muda tidak melulu soal trofi juara, bahkan sebenarnya lebih pada perkembangan pemain khususnya dari segi individu.

Adapun kegagalan Indonesia yang lagi-lagi hanya mampu mencapai babak 16 besar Asian Games seperti empat tahun lalu, hal itu menunjukkan bahwa level sepakbola Indonesia memang masih di situ-situ saja di Benua Asia.

Sejak awal kami pun memprediksi bahwa emas di Asian Games bukan akan datang dari cabor sepakbola. Karenanya, bisa jadi, kesalahan sepakbola Indonesia, juga kekalahan saat ini, bukan ada di pelatih, melainkan dari akar pembinaan pemain muda yang belum mampu menaikkan level talenta-talenta berbakat yang ada.

Semua hal di atas butuh proses yang tidak sebentar. Meski Indonesia sendiri memiliki target jangka panjang untuk 2045, tapi tetap saja bukan berarti untuk jangka pendek Indonesia kemudian melakukan hal-hal yang instan. Jika mau instan, ya, pindah saja ke Oseania.

Bagaimana pendapat kalian?

Komentar