Mengapresiasi Usaha Arsenal Meski Gagal

Analisis

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Mengapresiasi Usaha Arsenal Meski Gagal

Bermain terbuka melawan kesebelasan pemuncak klasemen yang belum pernah terkalahkan di Liga Primer Inggris serta baru kebobolan enam kali (terbaik kedua setelah Manchester United), adalah upaya “bunuh diri”. Arsenal kalah 3-1 dari tuan rumah Manchester City.

Tiga gol Man City dicetak oleh Kevin De Bruyne, sepakan penalti Sergio Aguero, dan Gabriel Jesus yang prosesnya berbau offside. Sementara The Gunners sempat memperkecil keadaan 15 menit setelah gol Aguero, melalui Alexandre Lacazette.

“Tentu saja [serangan balik penting]. Mereka adalah kesebelasan yang suka menguasai bola,” kata Arsene Wenger sebelum pertandingan.

Wenger merancang kesebelasannya untuk lebih memadatkan lini tengah. Maka dari itu, ia tidak memainkan penyerang murni. Ia justru memainkan lima gelandang, dengan Alexis Sanchez sebagai ujung tombak. Ia juga terlihat memainkan skema empat bek setelah sebelumnya hampir selalu bermain dengan tiga bek.

Tapi ironisnya, Arsenal justru kerepotan menghadapi serangan balik Man City. Jika para pemain The Citizens bisa lebih klinis, mungkin Arsenal sudah ketinggalan tiga gol di babak pertama.

Pep Guardiola, manajer City, seolah tidak terpengaruh dengan pendekatan eksperimental Wenger. Ia tetap memainkan salah satu skema andalannya, yaitu 4-3-3 dengan tiga penyerang berbahaya, Aguero yang didukung oleh Leroy Sane dan Raheem Sterling di kedua sayap.

Tekanan tinggi Arsenal yang gagal

Pada saat melawan Napoli di Liga Champions UEFA sebelum gameweek 11 ini, Man City terlihat kerepotan ketika membangun serangan. Hal tersebut terjadi karena hampir semua pemain Napoli menekan Man City sampai ke wilayah pertahanan mereka sendiri, terutama kedua full-back yang cepat dan disiplin dalam naik dan turun.

Napoli kemudian berhasil mencetak gol. Tapi semuanya hanya terjadi selama 20 menit, karena Faozi Ghoulam harus ditarik keluar. (Selengkapnya: Miskinnya Opsi Sebabkan Napoli Dikalahkan Man City di Kandang Sendiri)

Wenger sepertinya mencoba menerapkan hal serupa di Etihad. Sanchez menjadi pemain yang paling rajin menekan. Tapi seperti kasus Napoli, kita bisa menyoroti kedua bek sayap Arsenal dalam menekan, yaitu Sead Kolasinac dan Hector Bellerin.

Mereka berdua rajin menekan dan memiliki kecepatan untuk turun jika tekanan tersebut gagal. Pada kenyataannya, tekanan Arsenal seringkali gagal, tapi Kolasinac dan Bellerin tidak terlalu cepat melakukan cover sehingga tercipta ruang kosong di sayap yang bisa dimanfaatkan oleh Sterling, Sane, dan Aguero.

Gambar 1 – Area permainan Man City di 20 menit awal yang banyak dihabiskan di sekitar kotak penalti sendiri (untuk awal pembangunan serangan), menghindari wilayah depan kotak penalti (karena ditekan Arsenal), dan langsung ke setengah lapangan Arsenal dengan fokus menyebar – Sumber: Squawka

Setiap Arsenal gagal menekan, pertahanan Arsenal hanya tinggal menyisakan Laurent Koscielny, Francis Coquelin, dan Nacho Monreal. Dari ketiga pemain di atas, hanya Koscielny yang merupakan bek tengah murni.

Pada akhirnya kembali bermain tiga bek

Dari kejadian di atas, kita bisa menilai eksperimen Wenger tidak berhasil. Apalagi Man City berhasil mencetak gol pertama yang berawal dari serangan balik ketika Arsenal sedang membangun serangan.

Gol pertama benar-benar menunjukkan konsekuensi buruknya pengambilan posisi dan antisipasi para pemain bertahan The Gunners.

Setelah itu, Wenger terlihat kembali memainkan skema tiga bek. Mereka bertiga (Koscielny, Coquelin, dan Monreal) selalu kerepotan menghadapi kecepatan para pemain City. Bahkan menunda serangan untuk menunggu Bellerin dan Kolasinac kembali saja sulit.

Gambar 2 – Rata-rata posisi pemain Man City (kiri) dan Arsenal (kanan) – Sumber: WhoScored

Memainkan Coquelin sebagai bek tengah ekstra seperti menjadi solusi yang penuh pertimbangan. Akan tetapi, ini mengingatkan kita dengan Sergio Busquets saat Barcelona masih dilatih oleh Guardiola.

Masalahnya, kesebelasan yang sedang dihadapi Arsenal saat ini adalah kesebelasannya Pep. Jadi, hampir tidak mungkin Pep tidak bisa mengantisipasinya. Apalagi ini “hanya” Coquelin, bukan Busquets.

Sayap Man City terlalu cepat bagi Arsenal

Wenger tentunya tidak tinggal diam. Ia kemudian memasukkan penyerang murni, Lacazette. Alex Iwobi, yang pemilihannya banyak disoroti negatif di babak pertama, digeser menjadi winger kanan. Kombinasi pergerakan Lacazette dan Iwobi membuat Arsenal sempat memperkecil ketertinggalan.

Arsenal lebih percaya diri setelah gol tersebut. Bagaimanapun, bermain terbuka dan meladeni Man City di Etihad adalah hal yang berani dari Wenger. Ia sebenarnya sudah merancang skema yang antisipatif, yaitu dengan menumpuk pemain tengah dan menekan Man City agar kesulitan membangun serangan.

Hanya memang para pemain Arsenal belum sepenuhnya siap. Lagipula para pemain Man City (terutama Sane dan Sterling) lebih cepat dan lebih baik daripada lawannya.

Salah satu area yang menunjukkan kelemahan Arsenal adalah area bek sayap. Kejadian penalti ketika Monreal menjatuhkan Sterling terjadi di posisi tersebut. Begitu juga dengan gol ketiga Man City yang sebenarnya prosesnya offside.

Di akhir pertandingan, Wenger menunjukkan jika ia tidak puas terhadap kinerja wasit Michael Oliver: “Tingkat fisikal sangat bagus, tapi keputusan [tidak]. Pada saat 2-1 kami sedang dalam permainan terbaik, dan ia memberikan gol offside yang jelas, dan tentu itu menghancurkan pertandingan bagi kami,” katanya, via Sky Sports.

Benar saja. Setelah gol ketiga City, Arsenal seperti kehilangan nyawa. Lini tengah dikuasai penuh oleh City. Masuknya Jack Wilshere dan Olivier Giroud tidak berarti banyak untuk mengubah keadaan bagi The Gunners.

***

Manchester City sedang pada level kepercayaan diri yang tinggi. Dengan permainan seperti ini, ditambah rotasi yang sempurna dari Pep terutama untuk Sane, Sterling, Aguero, dan Jesus, bisa saja membuat mereka menjuarai Liga Primer dengan invincible (tak terkalahkan).

Masalahnya, menghadapi Man City yang sedang pede, Arsenal justru kepedean dengan skema yang dirancang oleh Wenger. Walau demikian, kita bisa mengapresiasi cara bermain Arsenal.

Mereka boleh saja “dicurangi” wasit, tapi kita juga harus ingat jika mereka bisa saja kebobolan tiga gol di babak pertama karena bermain terlalu terbuka. Jadi, input, proses, dan output pertandingan antara Man City dan Arsenal sudah menunjukkan keadaan yang sebenarnya.

Komentar