Menilai Kesuksesan Ajax dari Perspektif Khusus

Analisis

by redaksi 71510

Menilai Kesuksesan Ajax dari Perspektif Khusus

Lanjutan dari halaman sebelumnya.

Sejak dulu ada banyak pemain binaan Ajax yang masuk dalam skuat Belanda. Beberapa nama seperti Cruyff, Ruud Krol, Van Basten, Dennis Bergkamp, Frank dan Ronald de Boer, Frank Rijkaard, Davids, Clarence Seedorf, Patrick Kluivert, Van der Sar, Van der Vaart, Ryan Babel, Blind, Sneijder, Maarten Stekelenburg, John Heitinga, Nigel de Jong, Gregory van der Wiel, hingga Davy Klaassen.

Selain itu, salah satu produk terbaik Ajax bernama Rinus Michels juga amat memengaruhi gaya permainan sepakbola Belanda. Taktiknya terkenal luas sebagai totaalvoetbal (total football). Dengan taktik ini, ia mampu membuat Ajax dan Belanda merasakan periode emas mereka.

Ajax sukses menggondol trofi Piala Champions (kini bernama Liga Champions) sebanyak tiga kali berturut-turut (1971, 1972, dan 1973). Era ini disebut oleh mantan pelatih Ajax, Tomislav Ivic, dengan sebutan "Gloria Ajax". Kesuksesan Ajax menerapkan gaya permainan total football kemudian diadopsi oleh timnas Belanda yang berlaga di ajang Piala Dunia 1974.

Sayang, kesuksesan Ajax meraih trofi saat menggunakan total football tak menular kepada Belanda. Sebab, meski tampil mengesankan sepanjang gelaran Piala Dunia 1974, mereka gagal juara setelah ditaklukkan Jerman Barat di babak final. Hal serupa, kemudian terjadi lagi pada 1978, kembali mereka berhasil menembus babak final. Sayang, mereka takluk oleh Argentina di final.

Meski dalam dua final Piala Dunia tersebut Belanda gagal juara, namun banyak pihak menganggap kalau periode 1970-an merupakan masa emas Belanda di kompetisi internasional. Makanya, julukan "Raja Tanpa Mahkota" melekat pada kubu Oranje.

Kesuksesan Ajax yang membuat mereka terus "gagal"

Meskipun pada medio 1970-an itu Belanda dua kali gagal juara dunia, masa-masa tersebut tetap dianggap sebagai masa emas bagi timnas Belanda, Ajax, dan bahkan sepakbola dunia. Namun, kondisinya berbeda saat ini. Khusus bagi Oranje, mereka seakan tengah berada dalam masa kelam. Setelah gagal menembus putaran final Piala Eropa 2016, mereka juga terancam gagal lolos ke Piala Dunia 2018.

Akan tetapi kondisi berbeda justru diperlihatkan Ajax. Mereka memang sudah dua musim berturut-turut menjadi runner-up Eredivisie Belanda. Saat ini juga mereka berada di peringkat kedua, tertinggal empat poin dari Feyenoord Rotterdam dengan sisa dua pekan pertandingan lagi. Namun, pencapaian mereka di Liga Europa membuat peluang mereka untuk kembali merebut trofi di kompetisi Eropa menjadi terbuka.

Hanya saja kita harus menilai kesuksesan Ajax dari perspektif lainnya. Jujur saja, sulit bagi kesebelasan seperti Ajax untuk bisa menjuarai, misalnya, Liga Champions saat ini. Dengan catatan Eredivisie yang menjadi kompetisi yang kalah tenar dibandingkan Liga Primer Inggris, La Liga Spanyol, Bundesliga Jerman, Serie A Italia, dan bahkan Ligue 1 Prancis, ini membuat tidak banyak pemain yang bertahan lama bermain di Ajax.

Mereka memang banyak mencetak pemain berkualitas dari berbagai negara, bukan hanya Belanda. Tapi banyak di antara mereka juga yang kemudian pergi, dari mulai Bergkamp, Klaas-Jan Huntelaar, Zlatan Ibrahimović, Christian Eriksen, sampai Luis Suárez. Mencapai kesuksesan kontinental dengan skuat yang terus "dipereteli" setiap musimnya tentu bukan perkara mudah, bahkan menjadi juara Belanda saja terasa sulit bagi mereka (terakhir juara adalah pada 2013/2014).

Kalau boleh jujur, bahkan pemain-pemain jagoan mereka sekarang kemungkinan besar untuk pindah dari Eredivisie di musim depan sangat tinggi, seperti Kasper Dolberg, Klaassen, Kenny Tete, Joël Veltman, Jaïro Riedewald, Daley Sinkgraven, Nick Viergever, Matthijs de Ligt, Davinson Sánchez, dll.

Hal-hal inilah yang seharusnya membuat kita menilai kesuksesan Ajax lebih kepada, misalnya, hasil penjualan pemain mereka, pemain-pemain yang kemudian menjadi pemain-pemain kelas dunia (Bergkamp, Ibrahimović, Suárez, dll), pemain-pemain mereka yang menjadi tulang punggung di timnas Belanda, atau mentok-mentok kepada kesuksesan mereka di tingkat Belanda (Eredivisie, KNVB Beker, dan Johan Cruyff Shield). Sementara, kesuksesan Ajax di tingkat kontinental (Liga Champions dan Liga Europa) sebagai "bonus" saja.

Satu hal yang jelas, melihat talenta yang ada, seperti sudah dibahas di atas, Ajax banyak mengandalkan pemain-pemain asli binaan sendiri yang rata-rata berasal dari Belanda.

Jadi, ada kemungkinan talenta-talenta emas yang dimilik Ajax saat ini seperti Klaassen, Tete, Veltman, Riedewald, Sinkgraven, Viergever, De Ligt, Frenkie de Jong, sampai si wonderkid, Justin Kluivert, di masa yang akan datang bisa menjadi pemain-pemain kelas dunia (di kesebelasan apapun, bisa selain Ajax) serta menjadi tulang punggung timnas Belanda untuk meraih prestasi.

Untuk ukuran kesebelasan yang pemain-pemainnya sering "dicuri" oleh kesebelasan lain, kita harus memuji regenerasi yang berkelanjutan dari Ajax Amsterdam. Hal itulah yang belum tentu dimiliki oleh kesebelasan lain di belahan dunia manapun.


Baca juga: Ajax, Pahlawan Pelopor Sepakbola


(sn/dex)

Foto: Zimbio

Komentar