Di Bawah Lindungan Stadion

Editorial

by redaksi

Di Bawah Lindungan Stadion

Di negeri rawan bencana seperti Indonesia, stadion selalu menjadi tempat para pengungsi mencari perlindungan.

Di jam-jam pertama letusan Gunung Kelud dua malam lalu, saya melihat bupati Blitar, Heri Nugroho, berbicara langsung di televisi kalau dirinya sedang berada di Stadion Nglegok bersama sekitar 2 ribu pengungsi. Alasannya jelas: di tengah hujan abu dan kerikil, berlindung di bawah atap rumah amat berisiko.

Stadion Nglegok sebenarnya belum selesai dibangun. Pembangunannya sempat tersendat karena persoalan dana. Namun, sebagian infrastukturnya sudah jadi dan beberapa tribun sudah dibangun. Bahkan sebelum para suporter menikmati tribun stadion, para pengungsi korban letusan Gunung Kelud sudah lebih dulu merasakan perlindungan atap-atapnya

Sampai tulisan ini dibuat, beberapa stadion di sekitar Gunung Kelud juga sudah disiapkan sebagai shelter perlindungan bagi para pengungsi. Di antaranya Stadion Rejoagung di Tulungagung dan Stadion Supriyadi di Kotamadya Blitar.

Dalam sebulan terakhir, stadion-stadion di Indonesia memainkan peranannya sebagai rumah kedua bagi para pengungsi korban bencana: Stadion Maka Mehuli di Kabanjahe untuk para pengungsi letusan Gunung Sinabung, Stadion Tugu di Jakarta Utara untuk para pengungsi banjir di Jakarta, sampai Stadion Kota Batik di Pekalongan untuk para pengungsi banjir di Pantura.

Ingatan saya terus memanjang ke tahun-tahun lebih belakangan. Stadion Maguwoharjo di Sleman menjadishelter raksasa tempat berlindung warga Sleman selama letusan Gunung Merapi pada 2010 lalu. Stadion Sultan Agung di Bantul menjadi rumah kedua bagi warga Bantul yang rumahnya lantak oleh gempa tektonik pada 2006 silam.

Saya ada di Jogja di hari-hari sekitar dua bencana itu.

Tiga hari setelah gempa Jogja itu, usai melakukan pemetaan kebutuhan warga di sekitar Imogiri, saya singgah di Stadion Sultan Agung. Sambil mengaso, saya duduk-duduk di pelataran Stadion Sultan Agung. Matahari sudah hampir surut. Saya melihat beberapa anak kecil bermain bola. Salah seorang dari mereka mengenakan jersey timnas Brasil bertuliskan nama Ronaldinho.

"Puji Tuhan! Sebentar lagi Piala Dunia. Malam tidak akan terlalu menyedihkan bagi para pengungsi," ujar seorang teman.

Gempa hebat yang meratakan ribuan rumah di seputaran Yogyakarta itu terjadi pada 27 Mei 2006, kurang 2 pekan dari pembukaan Piala Dunia 2006 di Jerman. Dan benar saja: begitu Piala Dunia dimulai, hampir semua shelter pengungsian akan ramai saat malam hari dengan acara nobar Piala Dunia. Sehari sebelum Piala Dunia dimulai, PLN berusaha keras menghidupkan aliran listrik di wilayah gempa.

Alam mengirimkan bencana. Tuhan "mengirimkan" sepakbola sebagai pelipur lara.

Saat Liberia memasuki perang sipil yang kedua kalinya, pasukan pemberontak berhasil memasuki ibukota Monrovia pada pertengahan 2003. Angkatan Bersenjata Liberia terpaksa menyingkir. Begitu penguasaan Monrovia jatuh ke pasukan pemberontak, ribuan penduduk Monrovia berbondong-bondong meninggalkan rumahnya dan berkumpul di Samuel K. Doe Stadium.

Markas timnas Liberia berkapasitas sekitar 40 ribu kursi itu mendadak dipenuhi oleh 50 ribu pengungsi. Di hari-hari pertama, saat bantuan kemanusiaan masih sangat terbatas, puluhan ribu orang harus berbagi sebuah jamban. Mereka tidur, memasak, dan saling mengobati di ruang kecil di bawah tribun penonton.

Marcus Sawyer, salah seorang pengungsi, memberi kesaksian: "Bahkan dalam mimpi yang paling liar sekali pun, saya tak pernah membayangkan akan berakhir seperti ini: berbagi sebuah jamban dengan ribuan orang."

Saya pernah mendengar kisah serupa, tapi bukan dari Afrika yang jauh.

Saat melakukan riset di Ambon tahun lalu, saya beberapa kali mendengar kisah bagaimana ribuan warga Ambon mengungsi ke Stadion Mandala Remaja di Karang Panjang saat konflik meledak di ibukota Maluku pada awal dekade 2000-an. Ribuan orang mengungsi dan berlindung di lapangan yang dibangun pada awal dekade 1970-an di era kepemimpinan Gubernur Soemitro.

Mereka tinggal berbulan-bulan lamanya. Mereka mandi dan tidur di sana. Ibu-ibu memasak di sudut-sudutnya. Tribun-tribun dipenuhi rumput liar. Saya mendengar cerita bagaimana para pengungsi sampai bercocok tanam dan beternak di atas rumput yang pernah diinjak legenda-legenda sepakbola Indonesia, dari Simson Rumahpasal, Yoppie Lepel atau Jacob Sihasale, sampai generasi 1980-90an seperti RochyPutiray, Yongky Kastanya, Chairil Anwar Ohorella, sampai Imran Nahumarury.

Ribuan korban konflik lainnya mengungsi ke luar pulau. Ribuan pengungsi yang pergi ke Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, ada yang ditempatkan di Stadion Bau-bau. Ada juga yang mengungsi ke Kupang dan sebagian di antaranya ditampung di kompleks Stadion Merdeka, Kupang.

Simaklah saat terjadi konflik di Poso. Pada tahun 2000 itu, penduduk Poso yang mengungsi ke Palu sebagian terbesar ditampung di Stadion Gawalise. Kandang Persipal Palu itu menjadi tempat berlindung para pengungsi Poso, beberapa bulan sebelum Stadion Mandala Remaja di Ambon dibanjiri para pengungsi.

Stadion, dengan meminjam sebaris kalimat Rendra dari sajak berjudul Gerilya, seakan menjadi "bendungan keluh dan bencana".

Halaman Selanjutnya: Kematian dan Kehidupan yang Berdampingan di Stadion

Komentar