Langkah Audit: Pernah Lahirkan Dualisme dan PSSI yang Enggan Membuka Laporan Keuangannya

Nasional

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Langkah Audit: Pernah Lahirkan Dualisme dan PSSI yang Enggan Membuka Laporan Keuangannya

Pada Jumat (21/4/2023), Erick Thohir menunjuk firma audit Ernst & Young untuk mengaudit forensik PSSI. Menurut Erick, rencana audit ini bermula dari ketidakkonsistenan dalam pemberian bonus hadiah juara Liga 1 serta ketidakjelasan dalam manajemen keuangan dalam tubuh PSSI.

"Sudah pasti kita semua, saya, pengurus dan pecinta sepakbola mau soal keuangan yang krusial ini terbuka. Apalagi sepakbola ini milik rakyat. Kami ini hanya ditugaskan untuk membersihkan. Audit ini diperlukan agar terjadi kejelasan dan perbaikan pada pengelolaan keuangan pada seluruh pemangku kepentingan persepakbolaan Indonesia," terang Erick dilansir dari situs resmi PSSI.

Rencana audit dalam tubuh PSSI bukanlah barang baru. Kepengurusan era Erick Thohir bukanlah yang pertama. Pada 2011, Djohar Arifin Husin pernah meminta bantuan firma Deloitte, auditor yang juga mengaudit keuangan klub-klub besar Eropa dan menerbitkan laporan tiap tahunnya, untuk mengaudit PT Liga Indonesia (PT LI) dan Badan Liga Indonesia (BLI). Namun, PT LI menolak dengan alasan sudah ada lembaga audit internal yang sedang mengaudit PT LI.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSSI saat itu, Tri Goestoro, mengirim surat kepada Direktur PT LI Joko Driyono agar lembaga tersebut diaudit. Surat itu dibalas oleh Andi Darussalam Tabussala yang saat itu menjabat sebagai Ketua BLI.

Andi menyatakan bahwa sudah ada auditor yang mengaudit PSSI dan mereka hanya akan menyerahkan hasil audit itu kepada pengurus PSSI periode 2007-2011, atau era kepengurusan Nurdin Halid. Deloitte pun tidak bisa mengaudit kedua lembaga itu dan hanya bisa mengaudit keuangan milik PSSI yang dimulai pada 3 Agustus 2011.

Penolakan audit itu berbuntut kepada dicabutnya hak PT LI sebagai penyelenggara kompetisi oleh PSSI pada 22 Agustus 2011. Liga yang diakui PSSI adalah Indonesian Premier League (IPL) yang diselenggarakan oleh PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS).

Setelah mengaudit, Deloitte memberikan laporan yang menunjukkan bahwa keuangan PSSI sangat buruk dan diklasifikasikan ke dalam kategori Unsatisfactory. Zulkifli Nurdin Tanjung, Bendahara PSSI saat itu menyatakan bahwa hasil audit Deloitte adalah rapor merah.

"Hasilnya rapornya merah, kebakaran. Pengeluaran mulai dari pembelian, proses pembayaran, lalu penerimaan sponsor, donasi, dan seterusnya, dicek semua, itu hasilnya," kata Zulkifli pada 24 November 2011 dilansir dari Tempo.

Ada kejanggalan terhadap hasil audit PSSI dan BLI. BLI menyebut PSSI masih berhutang Rp50,1 miliar per 31 Agustus 2011, sedangkan PSSI menyebut utang mereka kepada BLI hanya sebesar Rp682.500.000.

Kisruh soal audit ini berlanjut. Meski sudah dicabut haknya sebagai penyelenggara liga dan FIFA hanya mengakui IPL, PT LI keukeuh menjalankan Liga Super Indonesia (LSI) musim 2011/2012. Beberapa klub yang awalnya bermain untuk LPI pun akhirnya membelot ke LSI.

Polemik ini pun makin panjang. Pada 18 Desember 2011, Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) dibentuk oleh anggota Komite Eksekutif (Exco), yakni Tony Apriliani, Widodo Santoso, Tuty Dau, Sihar Sitorus, dan La Nyalla Mattalitti. Pada 27 Desember, PSSI resmi memberhentikan La Nyalla, Roberto Rouw, Toni Apriliani dan Erwin Dwi Budianto dengan alasan melanggar kode etik.

La Nyalla pun akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum PSSI versi KPSI pada Maret 2012.

Proses audit oleh Deloitte tidak sampai tuntas. Pada 2012, Komite Audit Internal PSSI mendapat bantuan auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit keuangan PSSI era 2007-2011. Bantuan dari BPKP itu bermula dari temuan Deloitte bahwa PSSI diduga melakukan pencucian uang senilai lebih dari 20 miliar.

Pada 2014, PSSI yang saat itu dipimpin oleh Djohar Arifin sebagai Ketua Umum dan La Nyalla sebagai wakil ketua umum lewat Kongres Luar Biasa (KLB) Maret 2013, menolak desakan Komisi Informasi Pusat (KIP) agar PSSI untuk membuka laporan keuangannya.

KIP menganggap PSSI adalah lembaga non-pemerintah sehingga mereka harus membuka laporan keuangannya kepada publik. Desakan KIP kepada PSSI ini bermula dari laporan Forum Diskusi Suporter Indonesia (FDSI) yang menuntut KIP agar PSSI membuka laporan keuangannya. Akan tetapi PSSI menyatakan keberatan atas tuntutan tersebut.

Aristo Pangaribuan, direktur hukum PSSI saat itu, mengatakan bahwa PSSI perlu mengajukan langkah hukum keberatan dengan putusan itu agar tidak terjadi kerancuan hukum dalam pengelolaan PSSI.

"PSSI menyatakan keberatan atas putusan tersebut dan akan menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan sesuai dengan Pasal 47-49 UU Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2011 mengenai Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan," kata Aristo dalam pernyataan tertulis, dikutip dari Antara.

Mengapa PSSI Susah Diaudit Pihak Luar?

Upaya-upaya untuk mengaudit PSSI selama ini selalu mengalami kebuntuan. Koordinator Save Our Soccer (SOS) Akmal Marhali menjelaskan, alasan mengapa PSSI enggan diaudit adalah karena manajemen PSSI tertutup. Selain itu, PSSI juga lebih banyak menggunakan transaksi uang di bawah meja.

"Hal-hal semacam ini yang membuat mereka antiaudit istilahnya. Kalaupun kemudian ada audit dan dilakukan audit internal itu pun sudah diatur semuanya," kata Akmal kepada redaksi Panditfootball.

Sementara itu, peneliti hukum olahraga Kemenkumham, Eko Noer Kristiyanto, menerangkan bahwa dilihat dari perspektif hukum, PSSI memang hanya bertanggung jawab kepada anggotanya. Namun, PSSI juga harus terbuka karena PSSI merupakan lembaga publik.

"PSSI menjadi harus terbuka, harus transparan, termasuk keuangan, karena mereka itu memenuhi syarat sebagai badan publik menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 ya," terang Eko kepada redaksi Panditfootball.

Syarat yang dimaksud adalah PSSI menerima dana APBN dan menerima dana luar negeri, dalam hal ini dari FIFA. Merujuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap badan publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik tersebut untuk masyarakat luas.

Menurut Eko, penyebab mengapa PSSI tidak bisa dikontrol, tidak akuntabel, tidak bisa mempertanggungjawabkan keuangan karena PSSI tidak transparan - di sisi lain PSSI adalah lembaga publik yang dituntut harus transparan.

"Jadi, PSSI boleh nggak transparan? Boleh, ketika mereka tidak terima APBN. Kalau PSSI nggak terima APBN sepeser pun, lalu juga tidak menerima dari luar negeri, dari FIFA, boleh (tidak transparan) terserah mereka. Tapi karena mereka dapat APBN, terus menerima bantuan luar negeri dari FIFA, harus transparan," tutup Eko.

Nasib Audit Era Erick Thohir

Setelah rencana audit tersiar, PSSI kembali diterpa kabar buruk. Kepengurusan era Mochamad Iriawan (Iwan Bule), belum membayar biaya penyelenggaran Elite Pro Academy (EPA) 2022 dari U-14, U-16, dan U-18 senilai Rp2,155 miliar.

Pihak Mola TV sebagai sponsor mengaku telah membayarkan uang senilai 12 miliar yang dibayarkan dalam tiga tahap, yakni awal musim, pertengahan musim, dan saat Garuda Select berangkat ke Inggris.

Sementara itu, anggota Exco PSSI Arya Sinulingga mengklaim bahwa pengurus PSSI 2023-2027 baru mengetahui utang tersebut dan utang itu merupakan bagian yang akan ikut diaudit.

"Jadi ini bagian dari yang akan kami audit, utang-piutang yang seperti ini, mengapa tidak dibayar. Mudah-mudahan ini membuat PSSI ke depan semakin baik dan semakin bersih," kata Arya, seperti dikutip dari Bola.

Pada Rabu (26/4/2023) tiga auditor Ernst & Young datang ke kantor PSSI untuk melakukan penjajakan rencana pelaksanaan audit forensik atas pencatatan keuangan PSSI.

Dalam kunjungan pertamanya ini, auditor Ernst & Young meminta data badan hukum, struktur organisasi PSSI, laporan keuangan sejak 2017 hingga 2023, transaksi keuangan, sistem akuntansi yang digunakan, alokasi penggunaan sumber dana dari FIFA dan AFC, serta hubungan kerjasama dengan PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator kompetisi Liga 1 dan Liga 2.

Mengingat pernah adanya penolakan audit dari PT LI dan BLI, serta penolakan membuka keuangan oleh PSSI, langkah yang Erick Thohir tempuh rasa-rasanya perlu dialas-dasari oleh pijakan yang kuat. Sebab, faktor keuangan ini adalah faktor yang krusial dan dapat melahirkan konflik.

Komentar