Pemecatan Graham Potter : Bukti Chelsea Tidak Memiliki Perencanaan Matang

Analisis

by Bayu Aji Sidiq Pramono

Bayu Aji Sidiq Pramono

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Pemecatan Graham Potter : Bukti Chelsea Tidak Memiliki Perencanaan Matang

Seperti puncak gunung es di Antartika, pemecatan Graham Potter hanya potret kecil dari masalah besar yang menyelimuti Stamford Bridge. Saat ini Chelsea duduk di peringkat ke-11 Liga Inggris, tersingkir dari FA Cup, dan harus bertemu dengan juara bertahan Liga Champions di babak perempat final. Berkaca pada situasi ini, besar kemungkinan The Blues mengakhiri musim tanpa gelar.

Situasi dan tekanan yang kian membesar membuat beban yang ditanggung Potter terus bertambah. Hasil-hasil buruk di Liga Inggris, termasuk kekalahan melawan Aston Villa di pertandingan kandang terakhir jadi pemicu manajemen memecat Graham Potter. Dari 31 pertandingan, presentase kemenangan Chelsea di tangan Graham Potter hanya 39 persen.

Kebijakan tersebut menjadi rekor terbaru klub dengan melakukan dua pemecatan pelatih dalam satu musim. Sebelumnya, Chelsea memang terkenal sebagai tim yang sangat “keras” terhadap pelatih. Terutama ketika Roman Abramovich masih menjadi orang nomor satu di klub ini. Tidak jarang pelatih yang sukses di klub lain, tidak berumur panjang ketika menukangi Chelsea. Beberapa contohnya antara lain Avram Grant (54 pertandingan), Luis Felipe Scolari (36 pertandingan), dan Rafael Benitez (48 pertandingan).

Tidak hanya itu, Graham Potter yang hanya menjabat tujuh bulan masuk ke dalam daftar 12 pelatih yang dipecat dalam satu musim Liga Inggris. Ia mengikuti jejak Scott Parker (Bournemouth), Thomas Tuchel (Chelsea), Bruno Lage (Wolverhampton Wanderers), Steven Gerrard (Aston Villa), Ralph Husenhuettl (Southampton), Frak Lampard (Everton), Jesse Marsch (Leeds United), Nathan Jones (Southampton), Patrick Vieira (Crystal Palace), Antonio Conte (Tottenham Hotspur). dan Brendan Rodgers (Leicester City).

Sekilas dari perbincangan yang muncul di media sosial, banyak penggemar Chelsea yang bahagia atas pemecatan Potter. Banyak yang menganggap bahwa pelatih asal Inggris tersebut tidak layak memimpin tim yang memenangkan dua gelar Liga Champions. Bahkan menurut laporan The Athletic terdapat hubungan kurang harmonis antara Potter dan pemain. Beberapa dari mereka memanggil Graham Potter dengan nama “Harry” dan “Hogwarts” (merujuk ke cerita fantasi “Harry Potter”)

Perbincangan dan pendapat-pendapat tersebut hanya reaksi dari peliknya masalah Chelsea. Keputusan memecat Graham Potter sebetulnya seperti membuka tirai di atas panggung pertunjukan.

Perhatikan, Todd Boehly memboyong Graham Potter dari Brighton dengan mengeluarkan biaya 21,5 juta paun. Ia memberi kontrak selama 5 tahun dengan gaji senilai 12 juta paun per tahun hingga membuat Potter menjadi salah satu pelatih dengan gaji tertinggi. Langkah-langkah tersebut menunjukan komitmen Boehly yang tidak main-main. Tapi, seketika komitmen tersebut runtuh dan ia harus menanggung kompensasi dengan membayar sisa gaji Potter. Berdasarkan urutan kejadian tersebut, jelas, bahwa Todd Boehly gagal memilih dan menjalin kerjasama dengan pelatih yang tepat.



Hitam Putih Graham Potter

Jika berkaca dari sudut pandang sang pelatih, porsi kesalahan Potter diimbangi dengan usaha-usaha yang ia lakukan di atas lapangan. Dari 31 pertandingan, secara garis besar Potter menggunakan empat formasi dasar berbeda. Ia lebih sering menggunakan format 4-2-3-1 atau 3-4-2-1. Potter tidak terkalahkan ketika bermain dengan 4-3-1-2. Tapi jika membandingkan dengan dua format yang paling sering digunakan, 3-4-2-1 punya presentase kemenangan terbesar.

Formasi Dasar

Menang

Seri

Kalah

Total

Persentase Kemenangan

3-4-2-1

5

3

4

12

42 %

3-4-1-2

2

0

1

3

67%

4-2-3-1

3

5

6

14

21%

4-3-1-2

2

0

0

2

100%

Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa Potter begitu gemar menggunakan 3-4-2-1 atau 4-2-3-1? Kemungkinan terbesarnya adalah Potter berencana mendesain Chelsea yang unggul di sisi sayap dengan menciptakan overload di sektor tersebut secara konsisten. Terlebih, Potter memiliki banyak stok bek sayap yang bisa dimaksimalkan pada skema tersebut. Penyebab lainnya adalah masalah cedera yang bergantian menimpa. Reece James yang dinilai sebagai bek sayap terbaik yang dimiliki Potter baru kembali di awal tahun 2023. Begitu juga dengan Chilwell yang sering menghabiskan waktu di ruang perawatan.

Salah satu kesalahan terbesarnya adalah kegagalan Potter membangun harmonisasi dengan para pemain di luar lapangan. Menurut laporan The Athletic, beberapa pemain senior (tidak dijelaskan spesifik) tidak yakin dengan kemampuan Potter menyatukan tim ini. Pembengkakan jumlah pemain juga memperparah keadaan karena menit bermain semakin tidak menentu. Akibatnya banyak pemain yang hanya menjadi penghangat ruang ganti.

Pertanyaan berikutnya setelah pemecatan Potter bukan hanya tentang penggantinya. Tapi, sebesar apa peluang Chelsea untuk bisa bangkit dan bisa masuk ke zona Eropa. Jika berkaca pada bagaimana Todd Boehly mengelola klub, gestur dan cara para pemain mengeksekusi taktik di lapangan, dan di mana mereka berdiri (dalam kompetisi). Peluang tersebut sangat kecil. Sebab, masalah Chelsea lebih besar dari masalah 90 menit.

Apa Bedanya dengan Era Abramovich?

Pasca Roman Abramovich turun dari tahtanya, muncul asumsi yang mengarah ke dua kutub berseberangan. Sebagian mengira bahwa Chelsea akan menemukan era baru di tangan Todd Boehly. Tapi sisi bersebrangan berpendapat sebaliknya.

Pada era Abramovich, salah satu yang paling sering dikritisi adalah terlalu sering memecat pelatih. Korban pertama adalah Caludio Ranieri yang dipecat pada akhir musim 2003-2004. Setelah Ranieri, ada 10 pelatih lain yang dipecat oleh Abramovich termasuk Frank Lampard (yang terakhir). Kendati demikian, gaya kepemimpinan Abramovich tersebut berhasil membawa Chelsea meraih berbagai gelar. Termasuk dua gelar Liga Champions.

Setelah Todd Boehly mengambil alih, muncul harapan bahwa Chelsea tidak akan terlalu “keras” kepada pelatihnya.

Tapi nyatanya, kurang dari satu tahun harapan tersebut pupus. Graham Potter merupakan pelatih pertama Chelsea yang ditunjuk bukan dari tangan Abramovich sejak tahun 2024. Boehly memecat Potter yang baru menjabat kurang dari 8 bulan. Kebijakan ini bahkan tidak pernah dilakukan oleh Abramovich. Jadi, anggapan Boehly akan lebih “lunak” dari Abramovich telah terpatahkan di awal tahun ini.

Situasi ini bisa menjadi masalah besar. Tidak hanya bagi pelatih atau pemain, tapi klub. Mengelola klub yang berkompetisi di tingkat tertinggi membutuhkan perencanaan yang matang. Sementara pemecatan merupakan ciri klub tersebut memiliki perencanaan yang buruk atau bahkan tidak memiliki perencanaan sama sekali.

Perencanaan Transfer

Salah satu yang paling mudah disoroti adalah perencanaan transfer Chelsea yang tampak tanpa perencanaan. Musim ini, mereka menjadi klub dengan pengeluaran transfer pemain tertinggi. Tidak ada satu pun klub yang mendekati apa yang Chelsea lakukan. Dalam sejarah sepakbola, belum ada klub yang berani mengeluarkan lebih dari 500 juta paun di jendela transfer musim dingin. Hanya Chelsea.

Pertanyaan berikutnya, apakah itu kebijakan yang buruk? Tidak. Jika direncanakan dengan benar.

Mari kita bergeser ke kondisi awal musim ketika Thomas Tuchel masih menjabat manajer Chelsea. Di samping pemain yang kembali dari masa peminjaman, Tuchel mendatangkan delapan pemain. Pemilihan pemain Tuchel pada jendela transfer tersebut masih bisa dipahami. Sterling untuk menggantikan Werner. Fofana dan Koulibally pengganti Rudiger dan Christensen. Hanya transfer Aubameyang yang cukup membuat dahi mengerenyit.

Tuchel dengan skuad Liga Champions-nya ditambah dengan delapan suntikan tenaga baru tidak cukup menyelamatkan karirnya di Chelsea. Ia hanya memimpin The Blues di enam laga Liga Inggris dengan catatan 3 menang, 1 kalah, dan 2 kali imbang. Dengan waktu yang sesingkat itu, Tidak banyak yang bisa dilakukan Tuchel. Satu-satunya momen yang melekat di kepala adalah pertengkarannya dengan Antonio Conte. Ironisnya, Conte juga sudah tidak lagi menjabat sebagai pelatih Tottenham Hotspur.

Setelah itu jabatan pelatih diserahkan kepada pelatih Inggris yang sedang naik daun, Graham Ptter. Manajemen mendukung penuh Graham Potter. Bahkan, Boehly pernah berjanji tidak akan memecat Potter. Misi utama Potter adalah mengembalikan Chelsea ke persaingan gelar juara.

Manajemen Chelsea juga cukup berani mengeluarkan banyak biaya untuk memperkuat Chelsea di paruh kedua musim ini. Sayangnya, privilege yang Potter dapatkan tidak dimaksimalkan dengan baik. Hal ini tercermin dari pemain-pemain yang diboyong pada jendela transfer musim dingin. Mari kita sampingkan jumlah dana yang dikeluarkan. Kita fokus menelaah hubungan antara pemain yang direkrut dengan kebutuhan Chelsea baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Secara garis besar, pemain yang direkrut Chelsea merupakan pemain-pemain muda di bawah 24 tahun. Kebijakan ini mengindikasikan bahwa target transfer Chelsea cenderung untuk jangka panjang. Tapi, bagaimana dengan jangka pendek? Masalah terbesar Chelsea musim ini adalah soal produktivitas namun hanya Joao Felix yang direkrut. Itu pun berstatus pinjaman. Potter tidak bisa hanya mengandalkan Kai Havertz yang baru mencetak 7 gol. Armando Broja yang menjadi pahlawan Southampton musim lalu hampir tidak berkontribusi terhadap tim.

Chelsea justru merekrut banyak pemain sayap yaitu Mikhailo Mudryk, Noni Madueke, dan David Datro Fofana. Padahal, Potter masih memiliki Raheem Sterling, Christian Pulisic, dan Hakim Ziyech. Dengan kebijakan tersebut, Potter memiliki enam pemain untuk dua posisi. Komposisi tersebut wajar untuk tim yang masih berkompetisi di lebih dari dua kompetisi. Tapi, melihat Chelsea yang hanya menyisakan Liga Inggris dan Liga Champions, komposisi pemain Chelsea terlalu gemuk di posisi sayap.

Selain soal produktivitas, Chelsea juga memiliki masalah dalam organisasi pertahanan. Praktis hanya Thiago Silva yang mampu menjadi pemimpin di lini belakang. Ketika Silva cedera, pertahanan Chelsea jauh lebih rentan. Deputi Silva yang paling memungkinkan adalah Cesar Azpilicueta. Sayangnya, Azpi juga bermasalah dengan kebugaran. Pada situasi seperti ini, Chelsea sebaiknya merekrut bek berpengalaman dengan usia matang dan memiliki kemampuan memimpin.

Benoit Badiashile tentu bukan jawaban dari masalah tersebut. Ia belum terbukti bisa menjadi pemimpin organisasi pertahanan klub sebesar Chelsea. Tapi kembali lagi, jika Badiashile diproyeksikan untuk jangka panjang, butuh waktu lebih lama untuk menilai kebijakan transfer Badiashile.

Sebanyak dan sebesar apapun pemain dan dana yang dikeluarkan manajemen untuk transfer pemain musim ini, perlu diperhatikan juga siapa yang memegang keputusan tertinggi dalam kebijakan transfer. Belum ada yang menjelaskan siapa yang memiliki kewenangan tertinggi dalam perekrutan pemain. Tapi yang jelas, jabatan Potter sebagai manajer dipastikan mendapatkan porsi dalam pengambilan kebijakan tersebut (meski belum tentu besar).

Komentar