Efek Pembatalan Tuan Rumah Piala Dunia U-20: Mencoreng Soft Power dan Jadi Preseden Buruk

Nasional

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Efek Pembatalan Tuan Rumah Piala Dunia U-20: Mencoreng Soft Power dan Jadi Preseden Buruk

FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023. Keputusan itu diambil setelah Presiden FIFA Gianni Infantino bertemu dengan Ketua Umum PSSI Erick Thohir pada Rabu (29/3/2023) malam WIB.

Dalam rilis resminya, FIFA menyatakan tuan rumah pengganti akan diumumkan dalam waktu dekat dan jadwal turnamen tidak berubah, yakni 20 Mei hingga 11 Juni. Selain itu, Indonesia pun berpotensi mendapatkan sanksi.

FIFA tak menjelaskan secara pasti penyebab pembatalan itu dalam rilis resminya. Sebelumnya, FIFA juga membatalkan drawing grup yang semula akan dilaksanakan pada 31 Maret di Bali. Menurut PSSI, salah satu alasan FIFA membatalkan drawing tersebut adalah karena adanya penolakan kepada Israel dari Gubernur Bali Wayan Koster.

Pembatalan menjadi tuan rumah ini tentunya punya dampak pada citra Indonesia di mata internasional. Dosen Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Ario Bimo Utomo mengatakan pembatalan ini tak akan banyak berpengaruh pada segi politik internasional secara umum, tapi jelas ia akan berdampak kepada legitimasi Indonesia sebagai negara olahraga.

Baca Juga: Indonesia Batal Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20

Menurut Ario ajang olahraga internasional seperti Piala Dunia U-20 bukan hanya sekadar kompetisi, tapi juga sebagai peningkat soft power atau daya tawar di mata internasional. Negara-negara yang sukses menggelar ajang internasional, papar Ario, akan dianggap sebagai negara yang kapabel dan punya legitimasi.

"Itu kenapa banyak negara berlomba-lomba menjadi tuan rumah. Efek (pembatalan tuan rumah) lebih banyak ke legitimasi Indonesia sebagai sporting country, khususnya sepakbola. Di bidang olahraga, ini adalah insiden yang akan lumayan mencoreng soft power kita," terang Ario kepada redaksi Panditfootball.

“Dalam federasi olahraga internasional, yang menjadi patokan adalah statuta keanggotaan. Selama persyaratan dalam statuta tersebut dipenuhi, maka ia bisa jadi anggota. Maka dari itu kita bisa melihat entitas non-negara seperti Hong Kong, Kepulauan Faroe, sampai Bermuda bisa jadi anggota FIFA karena mereka punya kuasa mengelola federasi sepak bola yang dilimpahkan oleh negara induknya,” terang Ario.

Menurutnya, diplomasi internasional pasti lebih kaku karena ada pertimbangan ideologi, sejarah, dan lain-lain. Seringkali keduanya memang bertabrakan, tapi bukan berarti harus saling meniadakan.

Sementara itu, dosen Hubungan Internasional University of Queensland Ahmad Rizky Mardhatillah Umar menjelaskan pembatalan ini akan berdampak pada kredibilitas Indonesia di mata FIFA, namun belum tentu berakibat buruk pada posisi Indonesia di mata lembaga olahraga lain.

Umar menggarisbawahi badan-badan olahraga dunia rata-rata berjalan secara otonom antara satu sama lain, dan tidak terkoneksi dalam satu badan yang lebih kuat.

Yang mungkin jadi `warning`, menurut Umar, jika Indonesia tidak berbenah ke depan, adalah respons dari Komite Olimpiade Internasional (KOI). "Karena Indonesia berkeinginan menjadi tuan rumah Olimpiade dan pembatalan ini bisa jadi salah satu preseden buruk bagi kapasitas Indonesia menjadi tuan rumah kompetisi olahraga internasional."

Umar memaparkan Indonesia perlu strategi untuk menyelaraskan posisi politik luar negeri (terutama kritik terhadap pendudukan Israel atas Palestina) dengan ambisi untuk jadi tuan rumah kompetisi olahraga internasional.

"Jika Indonesia ingin menjadi tuan rumah kompetisi olahraga internasional, Indonesia harus mampu menjamin keamanan bagi semua partisipan. Namun, ini artinya Indonesia harus mengakomodasi beberapa negara seperti Israel yang secara internasional ditentang oleh Indonesia. Atau, Indonesia harus realistis dengan kapasitas diri untuk tidak terburu-buru menjadi tuan rumah kompetisi olahraga berskala global sebelum Indonesia punya solusi atas masalah ini," terang Umar kepada redaksi Panditfootball.

Baca Juga:

Israel di Piala Dunia U20: Negara Mesti Menyelesaikan Apa yang Sudah Mereka Mulai

Gelombang Penolakan Bukan Gelombang Baru

Banyak yang mengaitkan dibatalkannya status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia-20 oleh FIFA dengan adanya gelombang penolakan terhadap Israel dari beberapa organisasi.

Jika ditelusuri, gelombang penolakan ini sebenarnya sudah dimulai sejak Juni 2022 silam, bulan di mana Israel memastikan diri lolos ke Piala Dunia U-20, tepatnya pada tanggal 25.

Pada 29 Juni 2022, Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), Aqsa Working Group (AWG), Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), dan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) menggelar konferensi pers sebagai sikap penolakan terhadap Israel.

"Pernyataan Menteri Pemuda dan Olahraga RI, Zainudin Amali, yang mengatakan bahwa Tim Israel tetap bisa datang bermain di Indonesia dan jangan mengaitkan olahraga dengan politik, ini adalah pernyataan yang ahistoris," tulis MER-C dalam rilis resminya.

MER-C juga menyebut apabila Timnas Israel hadir di Indonesia, maka ini akan menjadi sebuah bentuk pengakuan secara tidak langsung bagi eksistensi Israel dan bentuk dukungan atas penjajahan yang dilakukan Israel kepada bangsa Palestina.

Saat itu, Zainudin Amali yang masih menjabat sebagai Menpora, memang mengatakan olahraga tak ada kaitannya dengan politik. Ia juga mengatakan pembahasan mengenai lolosnya Israel sudah dilakukan sejak 2019.

"Mereka (Israel) tetap bisa datang bermain karena itu sudah dibahas sejak 2019. Semua negara yang lolos FIFA World Cup U-20 kami persilakan untuk bermain. Jadi, kan, olahraga itu tidak ada urusan dengan politik. Karena itu FIFA sudah menyampaikan kepada kami, siapa pun negara yang lolos, harus bisa bertanding di Indonesia," kata Amali pada 23 Juni 2022, dikutip dari Bola.com.

Tidak hanya datang dari organisasi keislaman, partai politik islam pun dengan terang-terangan mulai mengkritik kehadiran Israel di Piala Dunia U-20, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Wakil Ketua Majelis Syura PKS sekaligus Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengatakan pada Juni 2022 bahwa partisipasi Israel perlu dikaji ulang.

“Maka sebagaimana komitmen konstitusional Indonesia untuk membela Palestina dalam kerangka menjunjung kemerdekaan dan ketertiban dunia, mestinya Kemenpora dan PSSI melanjutkan sikap konstitusional yang sudah diberikan contoh keteladanannya oleh Bung Karno, dan tidak malah memberi ruang dan membolehkan timnas Israel - negara penjajah itu - main di Indonesia,” kata Hidayat pada 30 Juni 2022 dilansir dari situs resmi PKS.

Gelombang penolakan ini makin menguat menjelang turnamen Piala Dunia U-20 dimulai. Aksi penolakan terjadi di banyak tempat yang dilakukan oleh beberapa organisasi. Puncaknya ketika dua gubernur yang wilayahnya menjadi venue, menolak kehadiran Israel, yakni Gubernur Bali Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, mengatakan penolakan dari dua gubernur membuat masalah menjadi lebih kompleks, sekaligus mempersulit penyediaan keamanan bagi tim Israel.

"Ini yang membuat posisi Indonesia sulit dalam penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Masalah ini terjadi karena penyelenggaraan Piala Dunia U-20 berlangsung tanpa koordinasi kementerian dan lembaga, di mana Kemenpora dan PSSI tidak berkomunikasi secara efektif dengan kepala daerah terkait, juga dengan elemen-elemen masyarakat yang penting. Hal ini mestinya sudah diperhitungkan sejak Indonesia mencalonkan diri sebagai tuan rumah. Karena PSSI tidak punya manajemen risiko sedari awal, pemerintah menanggung konsekuensi beratnya hari ini," pungkas Umar kepada redaksi Panditfootball.

Sementara itu, Ario Bimo Utomo berpendapat tidak memungkiri ada yang menganggap bahwa memberikan izin Israel bermain di Piala Dunia U-20 merupakan pengakuan simbolis terhadap negaranya.

“Namun, di saat yang sama, hal ini juga menunjukkan masih kurangnya pemahaman bahwa Indonesia, selain merupakan subjek hukum internasional, juga merupakan anggota dari federasi olahraga internasional yang bermain dengan struktur serta regulasinya sendiri. Sehingga walaupun wacana penolakan tersebut dapat dipahami, sebaiknya terdapat pemisahan yang jelas antara olahraga dan hubungan bilateral,” tutup Ario.

Komentar