STY Memang Lebih Baik Pergi

Timnas Indonesia

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

STY Memang Lebih Baik Pergi

Oleh: Coach Ardy N. Shufi

Shin Tae-Yong adalah pelatih hebat. Progres permainan tim nasional Indonesia meningkat cukup pesat. Bagi yang mengikuti diskusi Twitter Spaces Ruang Pandit x SEA Today, pasti tahu saya optimistis Indonesia bisa ke final sejak fase grup hingga preview leg kedua vs Vietnam. Namun, kekalahan di leg kedua membuat saya berubah pikiran soal STY.

Optimisme saya terhadap STY sedari awal tidak lain karena beliau tidak ada masalah soal taktikal. Indonesia selalu jadi tim yang lebih baik dan punya peluang lebih banyak ketimbang tim lawan. Sampai leg kedua pun gak berubah. Tapi, problem penyelesaian akhir jadi masalah yang tak kunjung terpecahkan hingga akhirnya kita tersingkir. Dan, STY bukanlah sosok tepat untuk menyelesaikan masalah ini. STY out.

Masalah penyelesaian akhir yang dialami timnas datangnya dari kompetisi. Terdengar klise, tapi benar: timnas yg baik datang dari liga yang baik. Liga yg baik datang dari federasi dan klub yang baik. Inilah masalah akut kita. Federasi dan klub kita tidak baik-baik saja.

Saya dukung STY out karena percuma kita punya pelatih hebat soal taktikal tapi para pemain kita "gak bisa" mengeksekusi taktik tersebut. Sindiran "Pep Guardiola pun bakal kesulitan kalau latih timnas" itu sangat relate.

Eksekusi taktik pemain kita bukannya buruk, membaik kok perlahan-lahan. Hanya saja, kalau sekelas pemain timnas kita bermasalah di penyelesaian akhir setiap pertandingan, mungkin ini soal kemampuan dasar. Ini pertanyaan buat sepakbola kita: buat federasi, buat klub.

Saya singgung soal klub di sini karena orang-orang federasi adalah orang di klub (Liga 1). Dan, kalau dipikir-pikir, klub-klub kita yang selalu jor-joran buat pemain dan pelatih asing itu melupakan sarana dan prasana buat pemain. Hanya memikirkan juara, tanpa memikirkan perkembangan pemain lokal.

Contoh mudah: banyak pemain Garuda Select yg potensial, misalnya Bagas Kahfi, Kakang, Fajar Rahman, David Maulana, Bryan Aldama dan lain-lain. Begitu bergabung dengan klub Indonesia, potensi mereka tidak terlihat. Selain tidak mendapatkan menit bermain, alasannya, ya, karena infrastruktur dalam negeri tidak seperti yang mereka dapatkan bersama Garuda Select.

Klub tidak bisa memaksimalkan potensi pemain. Pemain-pemain bagus yang ada saat ini berasal dari bakat alami yang mereka miliki. Sehebat-hebatnya sebuah Sekolah Sepakbola memoles pemain, infrastruktur mereka biasa aja. Karena tujuan SSB itu asal bertahan hidup mengandalkan iuran dari peserta, bukan seperti program akademi sepakbola yang ideal (berjenjang dan jangka panjang).

Lihat saja, Manchester City. Begitu mendapat sponsor besar, akademi mereka jadi salah satu sorotan utama. Sekarang, akademi mereka salah satu yang terbaik di dunia. Southampton juga tidak kunjung jadi juara, tapi selalu menghasilkan banyak pemain bagus karena akademi mereka salah satu yang terbaik.

Klub-klub kita memang "tidak peduli" ke pemain muda. Yang penting berkompetisi. Yang penting target tinggi. Akhirnya, dana-dana besar dari sponsor yang kita tahu jumlahnya belasan bahkan puluhan miliar setiap tahun itu alokasinya hanya untuk memperkuat timnya masing-masing, bukan untuk memperkuat timnas.

STY seorang tak akan bisa menyelesaikan masalah sepakbola kita. Kekalahan vs Vietnam merupakan kekalahan eksekusi taktik, yang terkait dengan kualitas dasar pemain. Buruknya penyelesaian akhir bukan hanya soal penyerang, tapi semua pemain yang memiliki peluang untuk bikin gol. Itu semua hulunya dari klub.

Selama sepakbola kita begini-begini aja, saya rasa kita tidak butuh pelatih jenius taktik. Gaji mahal untuk glorifikasi semu. Bahkan, takutnya, kalau STY atau ada pelatih hebat lain bikin keajaiban bawa Indonesia juara, "mereka" akan semakin membusung dada, merasa sepakbola kita baik-baik saja.

STY out bukan untuk menjadikannya sebagai kambing hitam atas kegagalan di Piala AFF kemarin. STY out justru untuk menyadarkan bahwa kegagalan-kegagalan kita bukan disebabkan oleh pelatih, melainkan oleh mereka-mereka yg merasa tak bertanggung jawab terhadap perkembangan kualitas pemain kita.

Komentar