Sepakbola di Amerika: Sentimen Terhadap Inggris

Piala Dunia

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Sepakbola di Amerika: Sentimen Terhadap Inggris

Jawaban atas pertanyaan mengapa sepakbola di Amerika Serikat (selanjutnya ditulis AS) tidak sepopuler basket, bisbol, American football, atau hoki es harus diurai dari abad ke-19, ketika sepakbola AS mulai terorganisir.

Di AS, alih-alih disebut football, sepakbola disebut dengan soccer (singkatan dari association yang muncul dari kebiasaan orang-orang Inggris menyingkat kata untuk dijadikan frasa baru). Orang yang mempopulerkan frasa soccer adalah Wreford Brown, kapten timnas Inggris pada 1894 dan 1895. Diawali Brown, kemudian pada 1905, The New York Times menyebut Association Football sebagai Socker.

American Encyclopedia of Soccer menyebutkan bahwa berbagai peralatan permainan sepakbola dimainkan di koloni dari abad ke-17 dan ke-18, dengan dokumentasi permainan ditemukan pada 1609 di Virginia. Di AS abad ke-19, sepakbola sebagai olahraga rekreasional dan olahraga yang menjadi tontonan dibarengi dengan tumbuhnya bisbol dan American football. Orang-orang AS memainkan bisbol di musim panas dan musim semi, dan American football biasanya dimainkan oleh kelas menengah di musim gugur. Sementara hoki perlahan mulai berkembang yang ditiru dari tetangga mereka, Kanada.

AS mengenal sepakbola sebagai olahraga yang dibawa oleh orang-orang Inggris. Ketika sepakbola mulai dikenal di AS, nativisme dan semangat untuk menunjukkan jati diri ke-Amerika-an sedang bergaung, sehingga sepakbola bukan dianggap sebagai olahraga yang sesuai dengan semangat Amerika.

Di akhir abad ke-19, klub sepakbola amatir di AS merupakan klub-klub yang berbasis etnik, seperti Brooklyn Celtics, Anglo-Saxon FC, Clan McKenzie FC, Spanish-American FC, dan Over-Seas FC.

Karena sepakbola berasal dari warga asing, maka orang-orang yang bermain sepakbola dianggap enggan berasimilasi dengan AS. Para imigran yang datang ke AS rata-rata menyembunyikan kesukaan mereka terhadap sepakbola sembari mencari jalan melakukan asimilasi melalui olahraga. Namun, sepakbola bukan jalannya. “Jika Anda adalah penggemar yang menyukai baseball, Anda adalah orang Amerika,” ujar Kevin Grace, peneliti olahraga Amerika dari University of Cincinnati Archivist.

Citra sepakbola yang lekat dengan Inggris tidak berbeda jauh dengan kriket. Di AS, kriket dianggap sebagai permainan yang tidak mencerminkan “dunia baru” yang diimajinasikan oleh orang-orang AS. Kriket adalah permainan para aristokrat, sebagaimana sepakbola di Inggris pada awalnya dimainkan oleh bangsawan. Maka, orang-orang AS lebih mencintai bisbol daripada kriket. Orang-orang AS menganggap semangat bisbol adalah semangat egalitarian, sementara kriket sangat lekat aristokrasi Inggris.

Perkembangan Sepakbola di Amerika

Pada 1884, American Football Association (AFA) dibentuk. Sepuluh tahun berselang, tepatnya pada 6 Oktober 1894, bergulirlah kompetisi di AS, sekaligus menjadi kompetisi sepakbola pertama di luar Inggris. Sayangnya, kompetisi yang disebut American League of Professional Football Clubs (ALPFC) itu tidak mampu diorganisir dengan baik lantaran kesemrawutan manajemen.

Awalnya, pemilik waralaba baseball’s National League di Baltimore, Boston, Brooklyn, New York, Philadelphia, dan Washington, D.C., bergabung dalam manajemen untuk memanfaatkan kompetisi itu agar mendapatkan pendapatan dari penyewaan stadion bisbol dan staf manajerial mereka yang tidak digunakan selama musim bisbol sedang libur.

Meski tidak ada pemain AS yang menggantungkan hidupnya dari sepakbola - sebagaimana pemain bisbol pada waktu itu - konflik di tubuh AFA berkisar pada konsep profesionalisme atau amatirisme dalam menjalankan kompetisi. Di sisi lain, muncul asosiasi di negara bagian, salah satunya di New York.

Pada 1906, AFA digerakkan oleh beberapa asosiasi negara bagian yang menginginkan pengelolaan dengan konsep profesional. Enam tahun berselang, atas dasar ketidaksetujuan terhadap prinsip profesionalisme dalam tubuh AFA, Negara Bagian New York membentuk sebuah organisasi American Amateur Football Association (AAFA), dengan tujuan untuk memperkenalkan peraturan sepakbola secara lebih luas.

Pada 1912, AFA dan AAFA datang ke kongres FIFA di Stockholm untuk meminta pengakuan FIFA. Alih-alih mengakui salah satu dari dua organisasi itu, FIFA justru menyuruh AFA dan AAFA bersatu dan membentuk sebuah organisasi baru bernama United States Football Association (USFA), di mana para pengurus AAFA cukup dominan di dalamnya. Para pengurus USFA, meski mendaku sebagai asosiasi sepakbola AS, tetap tidak bisa menjadikan sepakbola sebagai olahraga yang diterima masyarakat AS. Mereka justru bertahan dengan identitas mereka sebagai imigran di tengah suasana penciptaan jatidiri AS sedang giat-giatnya.

Ketika sepakbola mulai dimainkan oleh orang-orang AS di awal abad 20, mayoritas yang memainkan adalah pelajar-pelajar di kampus. Di kampus-kampus itulah sepakbola mulai dimainkan dalam lingkup kecil, di tengah dominasi basket, atletik, dan American football. Sayangnya, USFA tidak melihat hal ini sebagai potensi untuk mengembangkan sepakbola Amerika.

USFA mengadakan kompetisi pada 1914 yang bernama National Open Cup Competition. Turnamen tersebut diikuti oleh klub-klub amatir, semi-profesional, maupun profesional, yang berkompetisi selama satu musim. Klub-klub profesional tentu saja mendominasi, seperti Bethlehem Steel FC, yang menjuarai empat dari enam musim pertama.

Pada 1923, National Open Cup Competition diubah menjadi National Challenge Cup, sekaligus menandai dipisahnya kompetisi bagi klub amatir dan profesional. Klub yang berlaga memang masih kental dengan cita ras etnik, namun para pemain tidak lagi terikat pada etniknya, di mana orang Italia bisa saja bermain untuk klub Jerman atau Irlandia, begitu pula sebaliknya. Fleksibilitas itu sayangnya tidak membantu melunturkan imej sepakbola dari etnik tertentu.

Lekatnya sepakbola dengan imigran Inggris, gagalnya mengkonversi peluang pengembangan sepakbola melalui kampus-kampus, serta persaingan antar-pengurus dan rasa eksklusivitas para pengurus merupakan hal-hal yang membuat sepakbola di AS tidak berkembang pesat layaknya basket, bisbol, American football, ataupun hoki es.

Namun demikian, perlahan, AS membangun sepakbolanya dengan lebih baik. Titik baliknya ketika AS menjadi tuan rumah Piala Dunia 1994 dan dua tahun berselang lahirlah MLS. Sebelum MLS lahir, sepakbola AS sebenarnya sudah punya bekal yang cukup. Andrei S. Markovits dan Steven L. Hellerman dalam jurnal berjudul Soccer in America: A Story of Marginalization, sejak 1950-an, sepakbola telah menjadi olahraga favorit di sekolah menengah Amerika, baik sebagai olahraga antar sekolah yang terorganisir maupun sebagai permainan rekreasi.

Sejak 1980, sepakbola telah mengalami peningkatan besar dalam jumlah pemain, baik laki-laki maupun perempuan yang berada di bawah usia 18 tahun di sekolah dan liga klub remaja. Hal itu jauh melampaui peningkatan peserta bisbol dan bola basket dalam kegiatan serupa.

***

Akhir-akhir ini, prestasi sepakbola Amerika tak buruk-buruk amat. Di level regional, Amerika menjadi juara Concacaf Gold Cup dan Concacaf Nations League di tahun 2021, dengan mengalahkan Meksiko dengan skor yang sama, 1-0.

Amerika membawa skuad muda ke Qatar. Rataan usia skuad mereka adalah 25 tahun dan 175 hari (termuda dalam sejarah keikutsertaan AS di Piala Dunia). Hanya DeAnder Yedlin yang punya pengalaman tampil di Piala Dunia, sementara bagi pemain lainnya, ini akan jadi pengalaman pertama.

Gregg Berhalter pelan-pelan mengubah skuad Amerika yang awalnya dihuni pemain-pemain yang berada di usia senja, kini dihuni oleh skuad muda yang cukup menjanjikan. Di kualifikasi zona Concacaf, Amerika berada di peringkat ketiga, di bawah Meksiko dan Kanada, sehingga otomatis melaju ke Qatar.

Dengan kekuatan itu, Amerika menjadi salah satu negara yang kemungkinan akan menjadi kuda hitam (underdog) di Piala Dunia 2022, meski hanya meraih hasil imbang di laga pertama melawan Wales.

Orang Amerika menyukai underdog. Lebih dari segalanya, kami menyukai khayalan bahwa kami adalah yang tertindas. Ini adalah salah satu dari banyak kontradiksi mendasar dari karakter nasional Amerika: Kami menuntut (dan percaya kami akan terus-menerus mempertahankan) semua jebakan dan kekuatan “Imperium Amerika”, tetapi persepsi diri kami dengan tegas adalah pemberontak yang penuh semangat dan lapar.

Paragraf di atas merupakan penggalan tulisan Will Leich, penulis Amerika, dalam esai yang berjudul The World Cup is the Only Real American Underdog Story. Leich menyebut bahwa AS tidak menjadi underdog di cabang olahraga lain kecuali sepakbola pria.

“Saya sering menyebut fandom sepakbola AS sebagai "hipster patriotisme" - karena hal itu mencerminkan dengan tepat apa yang sering dipura-purakan oleh orang Amerika. Tidak ada konteks lain di luar sepak bola internasional adalah kekuatan global Brasil, Argentina, Belgia, sedangkan Denmark dan AS sebagai pemula yang berani. Untuk sekali ini, memainkan peran underdog bukanlah sebuah kepura-puraan. Dan ini membuat tim nasional jauh lebih menyenangkan untuk disemangati,” ujar Leich.

AS tergabung ke dalam grup B, bersama Inggris, Wales, dan Iran. Jadi, AS akan bertemu dengan Inggris, negara yang menjadi nenek moyang sepakbola modern, dan olahraga yang pernah dijauhi masyarakat AS pada suatu masa.

Komentar