Sportwashing Qatar Sebelum Piala Dunia 2022

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Sportwashing Qatar Sebelum Piala Dunia 2022

Qatar ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 pada 2010. Setelah penetapan itu, Qatar mencoba mem-branding dirinya sebagai negara yang secara aktif terlibat dalam urusan sepakbola global. Pada 2011, melalui Qatar Sports Investment, Tamim bin Hamad Al Thani sebagai Emir Qatar mengakuisisi Paris Saint Germain (PSG).

Di tahun yang sama, Qatar Foundation menjadi sponsor FC Barcelona. Perusahaan asal Qatar seperti Qatar Airways, mulai menjadi sponsor beberapa klub. Apa yang dilakukan Qatar tersebut bisa dibaca sebagai usaha sportwashing.

Sportwashing merupakan sebuah upaya yang dilakukan korporasi atau lembaga tertentu untuk mengaburkan kesalahan yang mereka lakukan melalui olahraga. Dalam konteks Qatar, sportwashing dilakukan untuk mengalihkan pemberitaan isu buruh migran.

Qatar mencoba membentuk citra yang berbeda dengan mengakuisisi PSG. PSG telah mendominasi sepak bola Prancis setidaknya satu dekade terakhir dan telah mendatangkan beberapa pemain bintang dengan harga tinggi, seperti Mbappe dan Neymar.

Menurut Kyle Fruha, Alfred Archer dan Jake Wojtowicz dalam penelitian berjudul Sportwashing: Complicity and Corruption, dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia, Qatar dapat menikmati hubungan dekat dengan sepakbola sebagai olahraga yang sangat populer di dunia, yang akan menggantikan jenis informasi lain tentang Qatar.

Namun demikian, usaha Qatar itu tidak sepenuhnya berhasil. Keluarga Al Thani membuat pengawasan yang ketat setelah Qatar terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia. Havard Stamnes Søyland dalam disertasinya yang berjudul Qatar`s Sport Strategy: A case of sports diplomacy or sportwashing? menyebut bahwa hak politik di Qatar semakin berkurang. Keluarga Al Thani, melalui Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al Thani memegang kekuasaan mutlak tanpa kebebasan pemilu atau partai oposisi.

Pembentukan International Centre for Sport Security (ICSS) yang berkantor di Qatar juga menunjukkan adanya upaya sportwashing. Lembaga yang baru didirikan pada 2010 itu dibentuk untuk memerangi korupsi dalam olahraga, sementara itu mereka bekerja untuk mengawasi Piala Dunia 2022 yang kental dengan kasus suap.

Selain dalam bidang politik yang nir-oposisi, laporan-laporan berbagai lembaga seperti Amnesti Internasional dan Human Right menunjukkan bahwa Qatar mempekerjakan pekerja migran dengan tidak manusiawi.

Human Rights Watch, misalnya, mewawancarai 93 pekerja migran yang bekerja untuk 60 majikan dan perusahaan yang berbeda antara Januari 2019 dan Mei 2020. 93 pekerja itu melaporkan beberapa bentuk penyalahgunaan upah oleh majikan mereka seperti lembur yang tidak dibayar, pemotongan sewenang-wenang, gaji yang tertunda dan dipotong, gaji yang tidak dibayar, atau nilai gaji yang tidak sesuai kontrak.

Protes Terhadap Sponsor Asal Qatar Sebelum Piala Dunia

Pada 2018, suporter Bayern Munich memprotes kerja sama klub dengan Qatar Airways dengan alasan kemanusiaan atas meninggalnya para buruh di Qatar, serta isu suap yang melatarbelakangi terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Para suporter itu menganggap dua hal itu bertentangan dengan dengan nilai moral klub.

Suporter FC Barcelona pun melakukan hal yang sama. Qatar Foundation adalah sponsor pertama Barca pada 2011 setelah sekian lama tidak ada nama sponsor yang menempel di jersei mereka. Kerja sama antara Barcelona dengan perusahaan asal Qatar (Qatar Foundation dan Qatar Airways) terjalin hingga 2017.

Tidak hanya klub, beberapa orang pun diprotes karena seolah berpihak kepada Qatar. Xavi Hernandez adalah salah satunya. Pelatih Barcelona itu pernah mengatakan bahwa masyarakat Qatar merupakan masyarakat yang baik. Victor Guitterz, seorang atlet polo air Spanyol, mengatakan bahwa Xavi membela sebuah negara absolut yang anti terhadap homoseksual.

Pep Guardiola, yang dikenal sebagai pendukung Catalonia pun pernah dikritik lantaran dianggap membela Qatar. Pada 2010, Pep menyebut Qatar merupakan negara yang ramah dan pada 2017 ia menyebut Spanyol sebagai negara yang otoriter.

Surat kabar The Sydney Morning Herald pernah menyebut Tim Cahill melakukan “gol bunuh diri yang memalukan” lantaran diangkat menjadi duta besar resmi Negeri Kanguru untuk Piala Dunia 2022, padahal Australia dikalahkan Qatar dalam tahap pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2022.

Piala Dunia Sebagai Sportwashing

Qatar akan menjadikan ajang Piala Dunia sebagai bukti bahwa mereka kini mampu menjadi negara yang aktif dalam dunia sepakbola dunia setelah melakukan serangkaian diplomasi dengan mensponsori berbagai klub.

Dalam konteks yang berbeda, Argentina pernah menjadikan Piala Dunia sebagai ajang membentuk citra kepada dunia bahwa pemerintahan militer di negara tersebut adalah pemerintahan yang aman dan berhasil.

Pada 1966, FIFA menetapkan Argentina menjadi tuan rumah Piala Dunia 1978. Dua tahun sebelum Piala Dunia digelar, rezim militer pimpinan Jorge Rafael Videla menggulingkan Isabel Peron, istri Juan Peron, Presiden Argentina berhaluan sosialis yang meninggal mendadak.

Lazimnya rezim militer, Videla pun tidak segan menyingkirkan kelompok-kelompok yang bertentangan dengannya. Aktivis dan mahasiswa diculik. Simpatisan Isabel Peron diculik dan dihabisi. Kejahatan tersebut coba ditutupi dengan mengesankan bahwa Piala Dunia 1978 merupakan keberhasilan rezim militer Videla.

Rezim Videla mencoba melancarkan usaha-usaha untuk mempermudah laju tim Tango. Usaha tersebut seperti merancang agar Argentina bermain pada malam hari di saat para rival bermain waktu siang atau sore. Selain itu, di babak delapan besar yang belum menggunakan sistem knock out seperti sekarang, Argentina harus menang dari Peru dengan skor lebih dari empat agar bisa menggeser Brazil dan melaju ke partai puncak.

Saat turun minum, Videla dan rekannya bernama Henry Kissinger, masuk ke ruang ganti Peru. Argentina unggul 2-0. Selepas itu, Argentina mampu menang denga skor 6-0 dan melaju ke partai final menghadapi Belanda.

Sebelum berlaga di partai puncak, Belanda diterpa isu penggunaan doping dan mendapat ancaman. Johan Cruyff pun mendapat ancaman dari rezim Videla. Argentina berhasil menjadi juara di rumah sendiri dengan cara-cara kotor.

Sama seperti protes berbagai suporter klub terhadap sponsor asal Qatar, sekelompok ibu-ibu yang kehilangan anaknya karena diculik oleh rezim Videla berkumpul di Plaza de Mayo, sebuah lapangan di depan Istana Kepresidenan Casa Rosada untuk melakukan aksi protes. Protes itu mulai dilakukan pada 1977, dan puncaknya adalah ketika mereka melakukan aksi serupa bersamaan dengan kick off Piala Dunia 1978 pada 1 Juni.

Dari situlah jurnalis yang meliput Piala Dunia melihat para ibu yang melakukan aksi di Plaza de Mayo. Kekejaman pemerintahan Videla pun meluas ke luar negeri.

***

Ajang Piala Dunia memang ajang bergengsi, di mana negara tuan rumah akan menjadi sorotan. Apa yang dilakukan oleh Qatar merupakan sebuah bukti bahwa sepakbola, terlebih Piala Dunia, akan selalu berkelindan dengan agenda-agenda politik negara.

Komentar