Mencontoh Inggris Dalam Pembenahan Sepakbola (Bagian II)

Cerita

by redaksi

Mencontoh Inggris Dalam Pembenahan Sepakbola (Bagian II)

Pertanggungjawaban otoritas dalam sepakbola salah satunya adalah dengan memberikan pengamanan yang terbaik di saat menonton pertandingan. Keselamatan penonton menjadi nomor satu dalam hal ini. Bagaimana masyarakat akan tertarik dengan olahraga ini, jika dalam benaknya terbayang kerusuhan dan berdesak-desakan ketika menonton sepakbola?

Stadion sepakbola menjadi tempat penting bagi suporter, tempat ini seakan menjadi situs suci yang wajib disambangi setiap pekannya. Dengan segala atribut klub yang mereka miliki, suporter dengan sukacita akan merelakan waktunya untuk menonton klub kecintaannya. Sialnya, kecintaan berlebih terkadang berujung dengan pertukaran pukulan dan pertumpahan darah.

Isu tersebut yang menjadi inti dari kebencian Perdana Menteri Inggris 1997-1990, Margaret Thatcher, kepada suporter. Ia bersikukuh, pasca tragedi demi tragedi berdarah di stadion, akan menekan tingkat hooliganisme.

Dari Tragedi Hillsborough pada tahun 1989, Inggris mulai memiliki gambaran jalan yang harus mereka tempuh untuk menciptakan ekosistem sepakbola yang lebih bisa dinikmati oleh semua kalangan.

Setahun berselang dari Tragedi Hillsborough, stadion-stadion di Inggris mengalami perubahan yang begitu signifikan. Dalam laporan yang dikerjakan oleh Peter Murray Taylor untuk kebenaran Tragedi Hillsborough, ia menjelaskan beberapa hal yang harus dibenahi di stadion-stadion yang ada.

Pertama, menyoal pagar pembatas di stadion. Kedua, pintu evakuasi. Lalu, yang ketiga, tentang tribun berdiri. Hal-hal tersebut paling menonjol dari hasil laporan Taylor, yang juga diamini oleh Pemerintah Inggris dan Federasi Sepakbola Inggris (FA).

Keselamatan menjadi acuan kuat untuk melakukan perubahan ini, terbukti beberapa klub Inggris mulai melakukan perubahan untuk stadionnya. Tercatat Stadion Deva milik Chester City sebagai pionir untuk stadion yang seluruh tribunnya menggunakan all-seater.

Membangun Wajah Stadion di Inggris Menjadi Lebih Ramah

Berkat penelusuran fakta yang dilakukan oleh Taylor, stadion-stadion di Inggris memulai perubahannya ke arah yang lebih aman. Nyawa memang lebih penting daripada sekadar memikirkan keuntungan dari hasil tiket penonton.

Pasca dipublikasikannya Taylor Report di tahun 1990, stadion-stadion di Inggris sudah tidak menggunakan tribun berdiri. Sebelum terjadi tragedi yang kelam itu, para suporter yang hadir ke stadion bebas memilih tempat di mana ia akan menyaksikan pertandingan. Namun, kini semuanya sudah berubah. Suporter yang hadir harus duduk sesuai dengan nomor tempat duduk yang tertera pada tiket mereka.

Hal itu merupakan perubahan yang signifikan bagi sepakbola Inggris. selain dari masalah tempat duduk, pagar pembatas yang sebelumnya berada di area tribun mulai ditiadakan.

Langkah untuk menghilangkan pagar pembatas juga untuk memudahkan evakuasi ketika terjadi situasi yang tidak diinginkan, seperti kerusuhan suporter atau terjadi kebakaran di area tribun. Stadion pun harus dilengkapi dengan CCTV yang sedia untuk mengawasi area-area penonton dan ditambah dengan ruang kontrol untuk mengawasinya.

Ruang pengawasan tersebut diisi oleh komandan keamanan yang tersambung dengan para steward dan polisi yang berjaga. Tujuannya agar memudahkan komunikasi mereka dalam menentukan pencegahan ketika situasi sudah tidak kondusif.

Sebenarnya, suporter Inggris tidak setuju dengan penggunaan tribun all-seater. Para suporter menganggap penghapusan tribun berdiri di stadion akan menghilangkan atmosfer menonton sepakbola di stadion dan akan membuat biaya menonton pertandingan semakin mahal.

Dari penolakan tersebut, kampanye “safe standing” mulai digaungkan oleh Federasi Suporter Sepakbola Inggris dan Wales (FSF). Hasil survey yang dilakukan oleh organisasi Football Fan Research (FFR) pada 2009 memperlihatkan 92% dari dua ribu lebih responden menginginkan tribun berdiri di stadion.

Pada 2019, Pemerintah Inggris menjanjikan akan melaksanakan usulan tersebut. Berselang dua tahun, inisiatif itu baru terlihat sinarnya. FSF mengumumkan bahwa mereka akan memberikan kesempatan kepada klub Liga Inggris untuk menjalan uji coba penggunaan safe standing. Klub-klub yang mencoba hal itu di antaranya: Liverpool, Chelsea, Wolverhampton, Manchester United dan Tottenham Hotspur.

Mereka merancang dan menguji coba penggunaan rail seat dalam tribun mereka. Proyek tersebut merujuk pada tribun stadion milik klub di Jerman. Penggunaan rail seat menyesuaikan dengan regulasi UEFA dengan membuka kunci pada rel. Teknologi ini diyakini dapat menjawab kebutuhan dari sisi keamanan dan atmosfer suporter karena pembatas pada setiap barisnya membuat suporter memiliki ruang seperti ketika duduk.

Hasil Investigasi yang Dibukukan Menjadi Panduan

Sepakbola Inggris memiliki buku panduan untuk stadion yang akan menyelenggarakan pertandingan olahraga, terkhusus juga untuk sepakbola. Buku panduan itu disebut “Green Guide” atau "Panduan Hijau”; namanya diambil dari sampul buku yang berwarna hijau.

Tetapi, isi buku panduan tersebut tidak sesimpel penamaannya. Dari panduan itu terdapat aturan-aturan wajib dan fleksibel yang harus diikuti oleh pemilik stadion (merujuk pada kebijakan otoritas lokal dan infrastruktur stadion).

Jika otoritas lokal memasukkan ketentuan lain dari "Green Guide" ke dalam sertifikasi keselamatan, harus dijelaskan apakah ketentuan itu wajib dipatuhi secara mutlak atau dengan fleksibilitas diskresi (bebas mengambil keputusan dalam situasi yang dihadapi).

Sebagai contoh, "Green Guide" menetapkan bahwa jalan untuk arus penonton (kerumunan besar) sebaiknya sekian meter, jika otoritas lokal mengharuskan dalam sertifikasi keselamatannya untuk klub mematuhi rekomendasi "Green Guide" terkait ukuran tertentu.

"Green Guide" merupakan hasil dari kesimpulan atas rekomendasi-rekomendasi dari investigasi setiap terjadinya kasus dalam pertandingan. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1973, panduan ini dikeluarkan setelah Tragedi Ibrox di tahun 1971 yang menewaskan banyak korban.

Lalu kembali dibuat ulang dan diperbaharui pada tahun 1986 setelah Tragedi Valley Parade di 1985, dan kembali dicetak ulang pada 1990 setahun berselang dari Tragedi Hillsborough. Kemudian edisi selanjutnya tayang pada tahun 1997 dan selanjutnya pada tahun 2008, saat ini buku tersebut sudah edisi keenam yang dirilis pada tahun 2018.

Buku panduan ini berlaku untuk keselamatan penonton di semua pertandingan olahraga, terlepas dari berlakunya sertifikat keselamatan atau tidak. Pengelolaan lapangan ini memiliki tanggung jawab utama untuk keselamatan penonton dan oleh karena itu harus menerapkan rekomendasi dari buku "Green Guide" untuk mencapai kondisi aman.

Dalam menetapkan tanggung jawab untuk sertifikat keselamatan dilimpahkan pada otoritas penasihat keselamatan lokal, otoritas tidak diragukan lagi untuk memiliki dua alasan yang masuk akal; pertama, karena semua lapangan olahraga berbeda dalam tata letak dan lingkupnya, pengetahuan lokal harus digunakan secara bijaksana dalam menetapkan dan memantau syarat dan ketentuan. Kedua, badan lokal dapat merespons dengan cepat setiap masalah yang mungkin timbul.

Implementasi panduan ini telah menjadi acuan bagi sepakbola profesional di Inggris karena merupakan persyaratan utama dari sertifikat keamanan stadion. Masing-masing klub (dipantau oleh otoritas pemerintah setempat) wajib memastikan bahwa stadion harus mematuhi semua aspek dari buku "Green Guide".

Otoritas lokal bertanggung jawab untuk memastikan bahwa stadion mematuhi pedoman yang ditetapkan dalam “green guide” dan harus melakukan penilaian rutin terhadap stadion. Dalam laporan Taylor Report pun, Taylor menyoroti klub untuk bertanggung jawab atas manajemen keamanan stadionnya.

Pada tahun 1991, Pemerintah Inggris menunjuk badan baru yaitu, Football Licensing Authority (FLA). Badan ini dibentuk untuk mengawasi keamanan stadion di Inggris dan Wales, untuk memantau pengawasan otoritas lokal atas keselamatan penonton di lapangan internasional, pada tahun 2011 Sports Ground Safety Authority (SGSA) didirikan untuk membangun keberhasilan FLA dan peran penting yang dilakukan untuk membuat keselamatan penonton di lapangan sepakbola Inggris.

Bisakah Sepakbola Indonesia Meniru Hal Itu?

Jika merujuk pada Tragedi Kanjuruhan sebagai bom waktu yang meledak hebat, maka semestinya itu menjadi tonggak perubahan untuk sepakbola Indonesia.

Indonesia harus belajar banyak dari cara Inggris mampu membangun ekosistem sepakbolanya seperti sekarang ini. Mulai dari federasi sepakbolanya yang membuka mata, melihat semua berdasar kacamata kemajuan sepakbola yang diharapkan masyarakat dan bukan sebagai alat transportasi politik, hingga pemerintah yang memberikan jalan untuk pembenahan sepakbolanya.

Pemerintah Indonesia sendiri telah bergerak. Selain membentuk tim investigasi, Presiden Joko Widodo juga menjelaskan akan meruntuhkan Stadion Kanjuruhan dan membangun ulang stadion sebagai contoh stadion di Indonesia yang sesuai dengan arahan dari FIFA.

“Stadion Kanjuruhan akan dibangun ulang sebagai contoh standar stadion dengan fasilitas-fasilitas yang baik, menjamin keselamatan penonton, maupun pemain dan juga suporter,” sebut Jokowi, seperti yang dikutip Tempo.

Selain membuat rancangan mengenai stadion yang menjunjung tinggi keselamatan, perlu ada tim khusus terkait sertifikasi keselamatan dan keamanan di stadion. Tim ini dibentuk di luar federasi. Tim independen yang rutin mengecek kesiapan stadion, serupa yang dilakukan di Inggris. Apalagi, salah satu faktor terjadinya Tragedi Kanjuruhan adalah PT LIB abai dalam melakukan verifikasi stadion secara berkala. mereka terakhir melakukan verifikasi Stadion Kanjuruhan pada 2020. Bentuk buku “Green Guide” Inggris juga semestinya bisa Indonesia adopsi sebagai pedoman untuk menekankan keselamatan dan keamanan di stadion.

Kendati demikian, perbaikan fisik saja tidak cukup. Perlu perubahan yang menyeluruh dalam situasi seperti ini. Dimulai dengan mengikuti rekomendasi TGIPF: ketua Umum PSSI dan jajaran Exco mundur sebagai tanggung jawab moral.

Seluruh otoritas terkait harus sesegera mungkin bertanggung jawab terhadap kematian suporter, termasuk yang pernah terjadi di masa lalu. Hanya dari langkah awal itu sepakbola Indonesia bisa memulai perubahan untuk masa depan yang lebih baik.

Komentar