Seandainya Saya Jadi Pemain Timnas Indonesia

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Seandainya Saya Jadi Pemain Timnas Indonesia

Jujur saja, saya sudah tak sabar kembali memakai seragam timnas lagi. Kembali bertemu rekan-rekan, seluruh staf pelatih, manajer dan, tentu saja kembali bersua dengan Coach Shin Tae-yong.

Siapa yang tak ingin memakai lambang Garuda di dada? Ketika saya berada di lapangan dan Indonesia Raya berkumandang, itu adalah momen di mana saya merasakan haru dan getar yang tak saya rasakan di lain tempat, di lain momen.

Mendengar ribuan suporter ikut bernyanyi di tribun adalah momen yang membuat saya semakin terpacu untuk memberikan apa yang saya punya dan apa yang saya mampu di atas lapangan untuk negara.

Sebentar lagi Piala AFF 2022. Setelah menjadi finalis di edisi terakhir, di tangan Coach Shin, saya yakin Indonesia akan buka puasa juara setelah 31 tahun.

Siapa yang bilang dua laga melawan Curacao kami bermain jelek? Tidak ada! Kami bisa mengalahkan peringkat ke-84 dunia itu dengan permainan yang menarik, bukan? Itu modal yang sangat bagus untuk mengalahkan Vietnam dan Thailand!

Mimpi saya menjuarai AFF akan jadi nyata. Saya akan memakai lambang Garuda, dan mengangkat trofi AFF, hal yang tak bisa dicapai pemain-pemain idola saya, yakni Bambang Pamungkas, Kurniawan Dwi Yulianto, Ponaryo Astaman, dan Elie Aiboy.

Jika saya juara bersama timnas, klub saya akan pamer. Foto saya akan mereka pasang di halaman media sosial mereka. Pengikut sosial media mereka naik, sebagaimana pengikut saya.

Saya sudah menantikan waktu di mana saya akan bersinar dan di era Coach Shin-lah saya mendapatkannya.

Tapi ada kabar buruk. Coach Shin mengancam mundur jika Pak Ketua Umum PSSI Iwan Bule mundur. Saya sedikit merasa khawatir karena selain sebentar lagi ada turnamen Piala AFF dan adik-adik U-20 akan bermain di Piala Dunia dan Piala Asia. Tim senior juga akan bermain di Piala Asia setelah vakum selama 15 tahun.

Saat ini saya sedang menganggur. Maksud saya, liga diliburkan karena Tragedi Kanjuruhan.

Saya setuju liga diliburkan. Ini sudah bukan perkara sepakbola lagi. Ini perkara akal sehat. Bagaimana bisa kami tetap bermain sepakbola sementara ada masalah kehidupan di tempat kami mencari makan? Setiap gol yang kami buat, setiap kemenangan yang kami rayakan, setiap kekalahan yang kami derita; semuanya, tidak ada yang sebanding dengan nyawa.

Perkara Coach Shin mengancam ikut mundur kalau Pak Ketum PSSI Iwan Bule mundur, saya juga menyayangkan sebagaimana sebagian suporter. Sebagai seorang pemain timnas Indonesia, tentulah saya ingin tetap bermain di bawah arahan Coach Shin dan juara bersama Coach Shin.

Tapi, lagi-lagi, ini bukan permasalahan juara belaka. Ini permasalahan serius Federasi yang belum mampu membentuk iklim yang sehat. Sejak saya meniti karir di kancah profesional, sudah banyak suporter yang meninggal.

Sebagai pemain, saya berharap industri yang menghidupi saya dan banyak orang lain ini bisa berlangsung dengan sehat, transparan, dan melindungi semua orang tanpa kecuali. Saya tak ingin industri sepakbola selalu menumpahkan darah. Sudah terlampau sering saya dan para pemain-pemain lain memakai pita hitam atau mengheningkan cipta sebagai bentuk belasungkawa. Saya tak ingin memakai pita hitam dan berbelasungkawa lagi untuk kematian suporter.

Seandainya Pak Iwan Bule mundur dan Coach Shin pun ikut mundur, ya silahkan. Di dunia sepakbola, pelatih datang dan pergi soal biasa. Saya sendiri sudah beberapa kali ganti klub.

Saya kira, banyak sekali pelatih bagus yang nanti mau melatih timnas. Soal Federasi, Tragedi Kanjuruhan memang membuktikan mereka harus belajar berpikir, harus berlatih, belajar menerima, seperti kami-kami ini yang ikhlas ketika diganti entah karena cedera atau karena strategi pelatih.

Buat apa kita meminta Coach Shin untuk bertahan sedangkan ada permasalahan yang lebih serius di tubuh sepakbola Indonesia?

Bagi saya Garuda tak lagi bermakna ketika kita terus memaafkan orang-orang yang seharusnya kita salahkan. Sepakbola dan Garuda di dada tak lagi penting selama peraturan-peraturan sepakbola tak pernah diurus dengan tulus, dengan suci, dengan setia; sebagaimana para suporter itu mengorbankan harta dan waktu untuk datang ke stadion.

Dulu, ketika saya masih kecil, saya cukup sering datang ke stadion. Saya menyaksikan botol-botol dilempar ke dalam lapangan dan perkelahian. Tragedi Kanjuruhan, bagi saya, adalah lanjutan dari peraturan-peraturan yang tak ditegakkan dengan baik.

Di Kanjuruhan pada Sabtu malam itu, ada banyak anak-anak yang meninggal. Saya beruntung karena ketika saya datang ke stadion, saya masih baik-baik saja. Tapi siapa yang bertanggung jawab atas kematian anak-anak itu? Yang mungkin di antaranya adalah calon pesepakbola hebat bagi Indonesia, yang bermimpi untuk bisa membela lambang Garuda di dada.

Terima kasih, Pak Iwan Bule. Saya menghargai Anda sebagai sama-sama manusia yang juga bisa hidup lewat sepakbola.

Untuk Coach Shin, terima kasih pula saya ucapkan atas ilmu yang telah Coach berikan pada saya. Tentu akan sangat berguna bagi saya sebagai pemain sepakbola.

Dan asal Coach Shin tahu, banyak sekali orang yang mencintai sepakbola Indonesia dan timnas, tak hanya Pak Iwan Bule seperti yang Coach tulis di Instagram. Saya harap Coach Shin tidak menutup mata bahwa orang-orang yang menuntut Pak Iwan Bule mundur adalah orang-orang yang juga sangat mencintai sepakbola Indonesia.

Saya siap untuk tak bertanding selama Tragedi Kanjuruhan belum benar-benar tuntas. Saya suatu kali ingin datang kembali ke sana, bermain melawan Arema FC dengan teriakan-teriakan suporternya yang membahana, meski Kanjuruhan tak pernah sama lagi setelah tragedi.

Komentar